________________________________

From: On Behalf Of sunantengah
Sent: Monday, March 26, 2007 12:50 PM
To: [EMAIL PROTECTED]
Subject: [INSISTS] artikelku yg merespon tulisan luthfi assyaukani
ditolak kompas
 
From: "Redaktur Opini" <[EMAIL PROTECTED] <mailto:opini%40kompas.co.id>
> View Contact Details 
View Contact Details Add Mobile Alert
To: "Henri Shalahuddin" <[EMAIL PROTECTED]
<mailto:henri_sa%40yahoo.com> >
Subject: Pengembalian artikel

Sdr Henri Shalahuddin

Disertai salam dan hormat,

Kami memberitahukan bahwa pada tanggal 10 Maret 2007 Redaksi 
Kompas 
telah menerima artikel Anda berjudul "Bentara: Liberalisme dalam 
Epistemologi Islam". Terima kasih atas partisipasi dan kepercayaan 
yang Anda 
berikan kepada Kompas.

Setelah membaca dan mempelajari substansi yang diuraikan di 
dalamnya, akhirnya kami menilai artikel tersebut tidak dapat dimuat 
di harian 
Kompas. Maaf, kami kesulitan tempat untuk memuat artikel Anda. 

Harapan kami, Anda masih bersedia menulis lagi untuk melayani 
masyarakat melalui Kompas, dengan topik atau tema tulisan yang aktual 
dan 
relevan dengan persoalan dalam masyarakat, disajikan secara lebih 
menarik.

Hormat kami, 

Sekretariat Desk Opini

C A T A T A N

Kriteria umum untuk artikel Kompas : 
1. Asli, bukan plagiasi, bukan saduran, bukan terjemahan, bukan 
sekadar 
kompilasi, bukan rangkuman pendapat/buku orang lain .
2. Belum pernah dimuat di media atau penerbitan lain, dan juga tidak 
dikirim bersamaan ke media atau penerbitan lain.
3. Topik yang diuraikan atau dibahas adalah sesuatu yang actual, 
relevan, dan menjadi persoalan dalam masyarakat.
4. Substansi yang dibahas menyangkut kepentingan umum, bukan 
kepentingan komuninas tertentu, karena Kompas adalah media umum dan 
bukan majalah 
vak atau jurnal dari disiplin tertentu.
5. Artikel mengandung hal baru yang belum pernah dikemukakan penulis 
lain, baik informasinya, pandangan, pencerahan, pendekatan, saran, 
maupun solusinya.
6. Uraiannya bisa membuka pemahaman atau pemaknaan baru maupun 
inspirasi atas suatu masalah atau fenomena.
7. Penyajian tidak berkepanjangan, dan menggunakan bahasa 
populer/luwes 
yang mudah ditangkap oleh pembaca yang awam sekalipun. Panjang 
tulisan 
3,5 halaman kuarto spasi ganda atau 700 kata atau 5000 karakter 
(dengan spasi) ditulis dengan program Words.
8. Artikel tidak boleh ditulis berdua atau lebih

berikut adalah artikel yg saya kirim ke kompas:

Liberalisme dalam Epistemologi Islam

Henri Shalahuddin, MA*

Dalam rangka ulang tahun JIL yang ke-6, DR. Luthfi Assyaukanie, 
pendiri JIL menulis artikel bertema "Dua Abad Islam Liberal" di kolom 
Bentara Kompas, 2/3/07. Dalam tulisannya, Luthfi sangat memuji paham 
liberalisme dan memberinya beberapa justifikasi dalam Islam. Bahkan 
dengan merujuk pemikiran Albert Hourani, Luthfi menandai kedatangan 
Napoleon Bonaparte untuk menjajah Mesir (1798) sebagai awal era 
liberal bagi bangsa Arab dan kaum Islam. Era liberal baginya adalah 
awal era kebangkitan kesadaran kaum muslim, di mana umat Islam bebas 
mengartikulasikan kesadaran budaya dan peradaban mereka. Sehingga 
sejak 1798, Islam liberal genap berusia 209 tahun.
Kebebasan menurut Luthfi adalah faktor utama kemajuan bangsa. 
Hilangnya kebebasan berarti hilangnya kebangkitan sebuah bangsa. 
Kebebasan berfikir sebagai perluasan arti kata liberal, kemudian 
disetarakan dengan konsep ijtihad dalam Islam. Artikel ini secara 
singkat akan membahas paham liberal dalam wacan Barat dan 
epistemologi Islam.

Makna Liberal
Ensiklopedi Britannica 2001 Deluxe edition CD-ROM, menjelaskan bahwa 
kata liberal diambil dari bahasa Latin liber, free. Liberalisme 
secara etimologis berarti falsafah politik yang menekankan nilai 
kebebasan individu dan peran negara dalam melindungi hak-hak 
warganya. Makna senada juga terdapat dalam Wikipedia, the free 
encyclopedia.
Sejarah liberalisme --termasuk juga liberalisme agama, adalah tonggak 
baru bagi sejarah kehidupan masyarakat Barat dan karena itu, disebut 
dengan periode pencerahan, (Western Enlightenment). Perjuangan untuk 
kebebasan mulai dihidupkan kembali semasa zaman Renaissance di 
Italia. Paham ini muncul ketika terjadi konflik antara pendukung-
pendukung negara kota yang bebas (free city states) melawan pendukung 
Paus.
Liberalisme lahir dari sistem kekuasaan sosial dan politik sebelum 
masa Revolusi Perancis, sistem merkantilisme, feudalisme dan Gereja 
Roman Katolik. Liberalisme pada umumnya meminimalkan campur tangan 
negara dalam kehidupan sosial. Sebagai satu ideologi, liberalisme 
bisa dikatakan berasal dari falsafah humanisme yang mempersoalkan 
kekuasaan Gereja semasa zaman Renaissance dan juga dari golongan 
Whings semasa Revolusi Inggris yang menginginkan hak untuk memilih 
raja dan membatasi kekuasaan raja; menentang sistem merkantilisme dan 
bentuk-bentuk agama kuno dan berpaderi. Liberalisme anti-statis, 
seperti yang diperjuangkan oleh Frederic Bastiat, Gustave de 
Molinari, Herbert Spencer, dan Auberon Herbert, adalah aliran ekstrim 
yang dikenal dengan anarkisme (tidak ada pemerintahan) ataupun 
minarkisme (pemerintahan yang kecil yang hanya berfungsi sebagai "the 
nightwatchman state"). Liberalisme selalu menentang sistem kenegaraan 
yang didasarkan pada hukum agama.
Oxford English Dictionary menerangkan bahwa perkataan liberal telah 
lama ada dalam bahasa Inggris dengan makna "sesuai untuk orang bebas, 
besar, murah hati (befitting free men, noble, generous)" dalam seni 
liberal. Pada awalnya, liberalisme bermaksud "bebas dari batasan 
bersuara atau prilaku", seperti bebas menggunakan dan memiliki harta, 
atau lidah yang bebas (liberal with the purse, or liberal tongue), 
dan selalu berkaitan dengan sikap yang tidak tahu malu. Bagaimanapun, 
bermula sejak 1776-1788, oleh Edward Gibbon, perkataan liberal mulai 
diberi maksud yang baik, yaitu "bebas dari prejudis dan bersifat 
toleran". Maka pengertian liberal pun akhirnya mengalami perubahan 
arti dan berkembang menjadi kebebasan secara intelektual, berpikiran 
luas, murah hati, terus terang, sikap terbuka dan ramah 
(intellectually independent, broad-minded, magnanimous, frank, open, 
and genial).
Prinsip dasar liberalisme adalah keabsolutan dan kebebasan yang tidak 
terbatas dalam pemikiran, agama, suara hati, keyakinan, ucapan, pers 
dan politik (an absolute and unrestrained freedom of thought, 
religion, conscience, creed, speech, press, and politics). Di samping 
itu, liberalismme juga membawa dampak yang besar bagi sistem 
masyarakat Barat, di antaranya adalah mengesampingkan hak Tuhan dan 
setiap kekuasaan yang berasal dari Tuhan; pemindahan agama dari ruang 
publik menjadi sekedar urusan individu; pengabaian total terhadap 
agama Kristen dan gereja atas statusnya sebagai lembaga publik, 
lembaga legal dan lembaga sosial.
Dalam liberalisme budaya, paham ini menekankan hak-hak pribadi yang 
berkaitan dengan cara hidup dan perasaan hati. Liberalisme budaya 
secara umum menentang keras campur tangan pemerintah yang mengatur 
sastera, seni, akademis, perjudian, seks, pelacuran, aborsi, keluarga 
berencana (birth control), alkohol, ganja (marijuana) dan barang-
barang yang dikontrol lainnya. Negara Belanda, dari segi liberalisme 
budaya, mungkin adalah negara yang paling liberal di dunia.
Sedangkan liberalisme ekonomi mendukung kepemilikan harta pribadi dan 
menentang peraturan-peraturan pemerintah yang membatasi hak-hak 
terhadap harta pribadi. Paham ini bermuara pada kapitalisme melalui 
laisse-faire (pasar bebas).

Kerancuan Epistemologi
Merujuk apa yang telah didefinisikan di atas, sebenarnya pemakaian 
istilah "Islam Liberal" sangat rancu, bahkan cenderung kontradiktif 
baik dari sisi etimologi, terminologi maupun epistemologi. Dari sisi 
etimologi tidak satupun kata "Islam" berkonotasi pada makna kebebasan 
seperti yang dijelaskan pada makna kata "Liberal". Sebab kebebasan 
dalam Islam senantiasa merujuk pada kata "ikhtiyar", yaitu kebebasan 
memilih yang berakar pada kata "khair" (baik). Dengan demikian, 
kebebasan dalam Islam hanya terbatas pada hal-hal yang bersifat baik, 
sehingga seorang Muslim tidak dibebaskan untuk berbuat yang tidak 
baik.
Sedangkan istilah "Islam Liberal", seperti yang dipaparkan oleh DR. 
Ugi Suharto dalam situs mufti selangor, pertama kali digunakan oleh 
para penulis Barat seperti Leonard Binder dan Charles Kurzman. Binder 
menggunakan istilah 'Islamic Liberalism', sementara Kurzman memakai 
istilah 'Liberal Islam'. Secara tersirat keduanya mempercayai bahwa 
Islam itu banyak; 'Islam Liberal' adalah salah satunya. Jadi 
istilah 'Islam Liberal' yang dimaksudkan disini adalah "Pemikiran 
Islam Liberal" yang merupakan satu aliran berfikir baru di kalangan 
umat Islam. Dalam konteks Indonesia sebuah disertasi yang ditulis 
oleh Greg Barton pada tahun 1995 tentang munculnya pemikiran liberal 
di kalangan pemikir Indonesia. Disertasi yang aslinya bertema: "The 
Emergence of Neo-Modernism: A Progressive, Liberal Movement of 
Islamic Thought" ini, lalu diterbitkan dalam edisi Indonesia atas 
kerjasama Paramadina, Yayasan Adikarya Ikapi, dan Ford Foundation 
pada tahun 1999.
Sebenarnya, analisa Luthfi tentang Islam Liberal lebih cenderung 
menyamakan problem Barat terhadap agamanya lalu melimpahkannya kepada 
Islam. Penggantian makna liberal dengan maksud yang sangat positif, 
seperti yang terjadi dalam perkembangan makna istilah ini di Barat, 
juga dilakukan Luthfi dengan menyandingkannya dengan konsep ijtihad. 
Padahal prinsip ijtihad dalam Islam bertentangan dengan paham 
liberal. Sebab kebebasan berijtihad tunduk pada beberapa kaedah dan 
persyaratan yang telah disepakati oleh kaum Muslimin, seperti 
kaedah: "la ijtihada fi l-qath'iyyat" (tidak ada ijtihad dalam 
masalah yang bersifat pasti), terlebih dalam pokok-pokok masalah 
ibadah dan akidah.
Kesimpangsiuran sejarah Islam Liberal, adalah bukti bahwa aliran ini 
tidak memiliki akar dalam sejarah Islam. Ahmad Sahal, seperti yang 
dikutip oleh Dawam Rahardjo, menisbahkan pemikiran Islam liberal 
dimulai sejak Umar bin Khattab, yang sering berbeda pendapat dengan 
Rasulullah mengenai masalah-masalah dunia. Jika klaim Sahal ini 
benar, maka usia Islam liberal bukan 2 abad, tetapi seusia dengan 
agama Islam itu sendiri, yaitu 15 abad.
Pemikiran Islam liberal sebenarnya berakar dari pengaruh pandangan 
hidup Barat dan hasil perpaduan antara paham modernisme yang 
menafsirkan Islam sesuai dengan modernitas; dan paham posmodernisme 
yang anti kemapanan. Upaya merombak segala yang sudah mapan kerap 
dilakukan, seperti dekonstruksi atas definisi Islam sehingga orang 
non Islam pun bisa dikatakan Muslim, dekonstruksi Al-Qur'an sebagai 
kitab suci, homoseksual, aturan waris dan sebagainya.
Islam liberal sering memanfaatkan modal murah dari radikalisme yang 
terjadi di sebagian kecil kaum Muslimin, dan tidak segan-segan 
mengambil hasil kajian orientalis, metodologi kajian agama lain, 
ajaran HAM versi humanisme Barat, falsafah sekularisme, dan paham-
paham lainnya yang berlawanan dengan Islam.
Dengan mengamati coraknya, maka dapat disimpulkan bahwa pemikiran 
Islam liberal adalah pemikiran liberal yang ditujukan kepada agama 
Islam. Oleh karena itu akan banyak membawa konsekwensi serius bila 
Islam Liberal dikategorikan sebagai bagian dari pemikiran atau 
madzhab Islam. Dengan demikian adanya liberalisme dalam Islam, 
sejatinya memperkuat hipotesa Ibnu Khaldun (1332-1406M) bahwa bangsa 
pecundang gemar meniru bangsa yang lebih kuat, baik dalam slogan, 
cara berpakaian, cara beragama, gaya hidup serta adat istiadatnya.

Penulis adalah dosen STID M. Natsir dan peneliti INSISTS Jakarta 


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke