Merindukan Ulama Pewaris Nabi
Fokus April 1st, 2007 
M. Amien Rais, dalam Cakralawa Islam, (1999) memberikan contoh kecil sikap 
ulama yang menganggap politik tidak harus dikaitkan dengan moralitas. Suatu 
saat, ia bertanya kepada seseorang yang dikenal sebagi kiai-politikus tentang 
kepindahannya dari satu parpol ke parpol yang lain. Jawabannya ternyata 
mengejutkan. Katanya, politik itu merupakan urusan dunia yang hanya main-main 
dan permainan saja; sambil mengucapkan dengan fasih firman Allah Swt.: Wa mâ 
hadzihi al-hayât ad-dunyâ illâ lahw[un] wa lâ'ib[un] (Tiadalah  kehidupan dunia 
ini kecuali main-main  dan permainan belaka) (QS al-Ankabut [29]: 64).


Cerita kecil ini merupakan salah satu cerminan pandangan yang menyedihkan dari 
sebagian  ulama. Secara tidak sadar, sang ulama sebenarnya sudah terjebak 
dengan pemikiran sekular, yang memisahkan agama dari kehidupan politik. Jadilah 
politik menjadi kehilangan pedoman. Prinsip "asal meraih kekuasaan; 
mempertahankan kekuasaan" menjadi lebih dominan dibandingkan dengan prinsip 
"mengurus rakyat berdasarkan syariah".


Jebakan sekularisme ini juga bisa tampak dari pandangan beberapa ulama yang 
justru menghindar sama sekali dari dunia politik. Muncul anggapan bahwa politik 
itu kotor, sementara agama itu bersih; tidak pantas ulama memasuki dunia kotor 
seperti itu. Ulama seharusnya ada di masjid, pesantren dan majelis taklim. 
Kajian politik-seperti mengoreksi kebijakan penguasa yang membuat rakyat 
menderita atau intervensi asing yang mengancam negara-di masjid-masjid atau di 
majelis-mejelis taklim pun dianggap mengotori agama. Islam akhirnya disempitkan 
sebatas moralitas (akhlak) atau ibadah  ritual seperti shalat, zakat, shaum 
atau haji. Yang lebih menyedihkan, ulama seperti ini justru akrab dengan 
penguasa tanpa memberikan kritik terhadap kezalimannya. Jadilah sang ulama 
menjadi sebatas 'tukang doa' bagi penguasa, yang secara tidak langsung 
memberikan legitimasi terhadap kezalimannya.


Sistem sekular yang diadopsi oleh negara selama ini berperan besar 
mengkerdilkan peran ulama. Pendapat ini antara lain dilontarkan oleh MR Kurnia  
dari Lajnah Siyasiyah HTI. Menurutnya, selama  ini ulama dipisahkan dari peran 
politiknya. Selama 350 tahun masa penjajahan, ditambah lebih dari 60 tahun 
pasca kemerdekaan, Islam dan ulama dimarjinalkan. Dimunculkanlah anggapan bahwa 
politik itu kotor. "Padahal politik  Islam itu jernih dan mulia karena 
mengurusi urusan rakyat dengan syariah," tegasnya.


Sistem sekular juga telah membuat ulama menjadi semacam 'tukang cuci'. Kalau 
ada kesalahan yang dilakukan oleh masyarakat atau pejabat, akhlak yang rusak, 
yang disalahkan ulama. Padahal penyebabnya justru karena penerapan sistem 
sekular dan pejabat yang tidak amanah. "Bagaimana mungkin menyalahkan ulama 
atau agama, sementara aturan agama dicampakkan dan ulama dimarjinalkan? Yang 
harus diisalahkan justru adalah sistem sekularnya," tegas Kurnia.


Terang saja fatwa ulama atau nasihat ulama tidak cukup untuk menyelesaikan 
persoalan karena tidak memiliki kekuatan hukum. Jadilah nasihat atau fatwa 
sekedar pilihan, bisa dipakai atau dibuang sesuai dengan kepentingan penguasa. 
"Selama hukumnya bukan berdasarkan syariah Islam, fatwa atau pendapat yang 
berdasarkan syariah Islam tidak akan dipakai, yang ada adalah asas manfaat," 
lanjut Kurnia.


Sayangnya, ulama yang terjun ke politik pun tidak mencerminkan aktivitas 
politik Islam yang sebenarnya. Alih-alih membawa perubahan dalam sistem 
politik, sang ulama justru terseret arus;  berprilaku tidak jauh berbeda dengan 
politisi sekular lainnya. Kondisi seperti ini semakin menyebabkan ulama 
kehilangan kepercayaan dari masyarakat. Muncullah kemudian pernyataan yang 
salah, "Begitulah kalau ulama terjun ke politik. Seharusnya ulama itu ngurus 
pesantren atau masjid saja."


Di sisi lain, ulama tidak jarang dipakai oleh penguasa untuk membenarkan 
tindakannya  atau dimanfaatkan politisi untuk meraih suara. Setiap menjelang 
Pemilu atau Pilkada ulama dibujuk dengan tawaran kekuasaan atau harta untuk 
mendukung calon tertentu. Memang, ada yang menolak tawaran ini, namun banyak 
juga yang menerimanya tanpa melihat apakah sang calon pantas dipilih 
berdasarkan syariah Islam atau tidak. Tragisnya, setelah mereka terpilih, sang 
ulama pun ditinggalkan. 


Pihak asing juga memanfaatkan peran ulama. Ulama tertentu dipakai untuk 
menyuarakan kepentingan dan kebijakan asing. Mereka banyak dilibatkan untuk 
menyuarakan liberalisasi ajaran Islam. Ilmu ulama kemudian dipakai untuk 
memutarbalikkan ayat al-Quran agar sejalan dengan kepentingan Barat. Muncullah 
pendapat dari sang ulama yang tidak lebih merupakan corong asing seperti, 
"tidak ada negara Islam", atau "negara tidak wajib menerapkan syariah Islam", 
dll. Pikiran-pikiran sekular ini kemudian dihiasi dengan ayat-ayat al-Quran 
ataupun hadis sehingga seakan-akan berasal dari Islam.


Dalam perang melawan terorisme yang merupakan agenda AS, ulama pun dipakai. 
Dengan memfaatkan suara  ulama, umat Islam dikelompokkan menjadi 
moderat-radikal, liberal-fundamentalis, tekstual-konstektual, dan 
istilah-istilah lain yang pada intinya berupaya memecah-belah umat Islam. Jihad 
pun disempitkan maknanya hanya pada pengertian bahasa: bersungguh-sungguh. 
Jihad secara syar'i, yang bermakna perang, yang sesungguhnya merupakan 
kewajiban utama, lalu dianggap sebagai sebuah kejahatan. 

Umat Memerlukan Ulama yang Sadar Politik
Tampaknya umat Islam semakin kehilangan ulama yang memiliki kesadaran politik 
yang tinggi dengan komitmen memperjuangkan syariah Islam dan nasib umat. Ketika 
BBM dinaikkan oleh penguasa yang kemudian menambah kemiskinan rakyat, tidak 
banyak ulama yang mengkritiknya. Padahal kalaulah seluruh ulama turun ke jalan 
melakukan koreksi keras terhadap penguasa bersama rakyat, tentu penguasa akan 
lebih banyak mempertimbangkan kebijakannya. Ulama seharusnya berperan penting 
dalam politik, yakni politik yang berorientasi pada pemeliharaan urusan-urusan 
umat berdasarkan syariah Islam. Ketidakhirauan ulama terhadap politik akan 
sangat berbahaya. Penguasa akan semakin sewenang-wenang tanpa ada yang 
mengingatkan. Umat pun akan semakin rusak akibat sistem politik yang jauh dari 
syariah Islam.

Di samping itu, diamnya ulama terhadap kebijakan politik penguasa yang jauh 
dari Islam, akan semakin menambah penderitaan masyarakat. Kebijakan liberalisi 
ekonomi, privatisasi, kapitalisasi pendidikan dan kesehatan seharusnya dilawan 
dan dihentikan oleh ulama karena membahayakan dan mengancam kesejahteraan umat. 
Ulama juga harus mentang keras intervensi asing atau bahkan kerjasama penguasa 
dengan pihak asing yang berakibat pada keterjajahan bangsa dan negara ini. 
Akibat diamnya ulama, hilanglah kepercayaan masyarakat  terhadap ulama panutan. 
Penguasa pun semakin merasa benar akan tindakannya karena tidak ada ulama yang 
mengoreksinya.

Karena itu, dalam pandangan KH Muhammad al-Khaththat, Sekjen FUI (Forum Umat 
Islam), ulama seharusnya tampil ke depan mengawal masalah-masalah umat dan 
keislaman. Di antaranya dengan mendidik umat lewat pembahasan masalah aktual 
yang dilihat dari sudut pandang Islam. "Ulama harus rajin mengikuti 
perkembangan politik, baik nasional maupun internasional. Dengan begitu, mereka 
mampu menyadarkan umat untuk memahami setiap persoalan dari persfektif Islam," 
ujarnya.

Sejarah umat Islam telah mencatat, ketika ulama masih memiliki kesadaran 
politik yang tinggi, umat ini berdiri kokoh dengan kejayaannya.

Sejarah Emas Perjuangan Ulama Indonesia
Sejarah Indonesian pun sesungguhnya dihiasai dengan tinta emas perjuangan para 
ulama dalam membebaskan bangsa ini dari penjajahan dan membangun masyarakat 
islami. Para ulama di Indonesia terlibat langsung dalam pembentukan institusi 
politik di Indonesia pada masa-masa kesultanan Islam. Pada tahun 808 H (1404 M) 
berangkatlah sembilan ulama dari berbagai tempat di wilayah Daulah Khilafah 
atas sponsor Sultan Muhammad Jalabi dari Kesultanan Turki Utsmani ke Tanah Jawa 
melalui Kesultanan Samudera Pasai untuk berdakwah.

Pada periode berikutnya, antara tahun 1421-1436 M datang tiga dai ulama ke Jawa 
menggantikan dai yang wafat. Mereka adalah Sayyid Ali Rahmatullah putra Syaikh 
Ibrahim dari Samarkand (yang dikenal dengan Ibrahim Asmarakandi) dari ibu Putri 
Raja Campa-Kamboja (Sunan Ampel), Sayyid Ja'far Shadiq dari Palestina (Sunan 
Kudus), dan Syarif Hidayatullah dari Palestina cucu Raja Siliwangi Pajajaran 
(Sunan Gunung Jati).

Pada masa penjajahan di Nusantara, para ulama pun ikut berjuang mengusir 
penjajah. Tuanku Imam Bonjol adalah ulama yang pada tahun 1812-1837 di 
Minangkabau memimpin  Perang Paderi 1812-1837 melawan Belanda. Tahun 1825-1830 
di Jawa, Pangeran Diponegoro memimpin Perang Diponegoro atau Perang Jawa, juga 
lawan penjajah Belanda, dalam rangka mengembalikan nilai-nilai keislamaan dalam 
tatantan kehidupan masyrakt Jawa. Konsep Perang Jawa ini adalah perang sabil. 
Penjajah Portugis, saat Masuk ke Sunda Kelapa, dihadang oleh Fatahillah 
(Menantu Syarif Hidayatullah/Sunan Gunung Jati). Di Makasar, Sultan Hasanuddin 
juga melakukan perlawanan global melawan penjajah.

Di Aceh, pada 1879-1904, terjadi Perang Aceh, yakni antara Kesultanan Aceh 
melawan Penjajah Salibis Belanda. Bagi masyarakat Aceh, perang tersebut 
merupakan perang sabil (Perang di jalan Allah), karena melawan kape (orang 
kafir) Belanda.  Kekuasaan pelaksanaan perang dipimpin oleh ulama dan 
uleebalang seperti Teungku Chik Di Tiro Muhammad Saman (Wilayah Aceh Barat dan 
Aceh Pidie), Teungku Chik Di Paya Bakong bersaudara, Teungku Syeh Ibnu Hajar, 
Tengku Chik Di Paya Bakong Chatib, Teungku Chik Di Paya Bakong Seupot Mata 
(wilayah Aceh Utara dan Aceh Timur), Teuku Cut Ali (Aceh Selatan), dan 
lain-lain.

Pada tanggal 16 Oktober 1905 berdirilah Sarekat Islam, yang sebelumnya Sarekat 
Dagang Islam. Inilah mestinya tonggak kebangkitan Indonesia, bukan Budi Utomo 
yang berdiri 1908 dengan digerakkan oleh para didikan Belanda. Lalu tahun 1912, 
KH Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah dengan melakukan gerakan sosial dan 
pendidikan. Sejatinya KH Ahmad Dahlanlah sebagai bapak pendidikan. Pada 17 
September 1923  KH Zamzam mendirikan Persis (Persatuan Islam) di Bandung. 
Melalui organisasi ini, beliau berusaha mengembalikan kaum Muslim pada al-Quran 
dan al-Hadis; menghidupkan jihad dan ijtihad; membasmi bid'ah, khurafat, 
tahayul, taklid dan syirik; serta memperluas tablig dan dakwah Islam. Pada 31 
Januari 1926, KH Abdul Wahab Hasbullah dan KH Muhammad Hasyim Asy'ari 
mendirikan Nahdhatul Ulama (NU) di Surabaya.

Perjuangan para ulama berlanjut dalam penyusunan konstitusi negara. Perjuangan 
Islam berhasil dengan menetapkan pemerintah wajib menjalankan syariah Islam 
bagi umat Islam. Di antara tokoh Islam yang menandatanganinya adalah Abikoesno 
Tjokrosujoso (Partai Syarikat Islam Indonesia), Abdul Kahar Muzakir 
(Muhammadiyah), Haji Agus Salim (Partai Penyadar), dan KH A. Wahid Hasyim 
(Nahdhatul Ulama).  Diproklamasikanlah kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 
1945.  Ternyata, usianya hanya 1 hari.  Sebab, pada 18 Agustus 1945 tujuh kata 
'dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya' dalam 
Piagam Jakarta dicoret oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia.  Kejadian 
yang menyolok mata ini, dirasakan umat Islam sebagai suatu permainan sulap yang 
diliputi kabut rahasia.

Pasca kemerdekaan, para ulama yang tergabung dalam Masyumi mengelurakan seruan 
jihad. Masyumi  mengatakan, 60 juta rakyat siap berjihad (7 November 1945). Hal 
yang sama diserukan oleh ulama NU dengan keluarnya resolusi jihad. Poros 
perjuangan pun dipimpin oleh para ulama dan pesantren. Perjuangan ulama terus 
berlanjut hingga kini.

Geliat perjuangan politik ulama mulai menggeliat lagi saat ini. Dalam Kongres 
Umat Islam Indonesia IV di Jakarta (22/05/2005) secara tegas ulama menyerukan 
kembali pada syariah Islam sebagai solusi bagi persoalan bangsa. Dalam 
Musyawarah Nasional (Munas) MUI ke-VII yang diselenggarakan di Jakarta tanggal 
26-29 Juli 2005 juga dikeluarkan fatwa yang sangat jelas dan tegas tentang 
haramnya sekularisme, liberalisme, dan plurasme. Fatwa ini menimbulkan reaksi 
hebat dari kelompok liberal.

Sebagai wujud aktivitas politik, Ketua Komisi Dakwah MUI KH Hussein Umar 
mendorong Pemerintah agar terus mengganyang korupsi, termasuk menyarankan untuk 
membuka kembali kasus-kasus BLBI yang telah merugikan negara ratusan triliun. 
Masalah kedua yang harus dihadapi serius adalah budaya pornografi dan 
pornoaksi. Masalah ketiga adalah perjudian.

Para ulama dulu telah menunjukkan amal salihnya. Bagaimana dengan ulama 
sekarang? Jubir HTI Muhammad Ismail Yusanto berharap, ulama akan semakin 
terdorong untuk sungguh-sungguh berjuang bagi tegaknya kehidupan Islam yang 
diatur oleh syariah. "Ulama harus menanamkan tauhid pada umat dan di atasnya 
dibangun kesadaran politik yang akan mendorong umat untuk melakukan perubahan 
ke arah Islam," harap Ismail. 




[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke