*Assalamualaikum Warahmatullah Wabaraktuh.*
**
*Sekedar sharing, barangkali bermanfaat bagi kita semua.*
**
*Wasslamualaikum Warahmatullah Wabarakatuh.*

-----------

Kali pertama saya mendengar pengakuan dari Ema, mahasiswa semester IV di
Fakultas Sastra Universitas Diponegoro. Suatu kali ia diajak seorang
temannya bernama Ratih untuk membeli flash disk di Java Supermall, salah
satu mall terbesar di kota Semarang. Teman Ema itu bilang, ada pameran
komputer di sana. Tanpa curiga, Ema menerima ajakannya.

Sesampainya di Java Supermall Ema diperkenalkan dengan teman Ratih yang
secara tak sengaja bertemu dengan mereka. Beberapa saat mereka terlibat
perbincangan. Tak lama kemudian datang dua orang teman Ratih. Salah satunya
adalah teman lama Ratih di SMA. Salah seorang dari kedua teman Ratih itu
kemudian bilang, hendak memperkenalkan Ratih dan Ema dengan seorang teman
dari Jakarta. Namanya Wawan. Wawan ini telah beberapa kali mengikuti seminar
tentang Islam hingga ke Malaysia. Tak lama kemudian datanglah orang yang
dimaksud.

"Nah, mumpung lagi ketemu sama mas Wawan gimana kalau kita ngobrol sebentar.
Soalnya dia banyak pengalaman. Sayangkan kalau kesempatan ini dilewatkan,"
kata teman Ratih yang baru saja dikenalkan kepada Ema itu.

Mereka menuju ke restoran siap saji Mc Donald. Di sini Wawan menyampaikan
pengalamannya selama mengikuti seminar tentang islam di beberapa tempat di
tanah air hingga ke luar negeri.

"Anda muslim? Apa yang anda banggakan dari negara Indonesia ini?" Wawan
membuka diskusi.

Menurut Wawan negara Indonesia bukan negara yang ideal bagi umat muslim.
Produk-produk hukum yang ada bukan merupakan hukum Islam. Sebagai muslim
yang taat, maka kita perlu menegakkan syariat Islam. Satu-satunya yakni
dengan membentuk negara Islam. Untuk itu, kita perlu melakukan jihad
menjadikan negara Indonesia sebagai negara Islam.

Wawan memberikan penjelasan dengan penuh semangat. Kata Ema, seperti orang
yang tengah mempresentasikan bisnis MLM. Sesekali ia membuka Al Qur'an
berukuran saku dan membacakan dalil-dalil untuk mendukung argumentasinya.

Dikatakan Wawan jika kita sepakat, maka kita perlu berjihad. Berjihad secara
total, tidak setengah-setengah. Rela memberikan apa yang kita cintai untuk
berjuang di jalan Allah.

"Sekarang, berapa kemampuan anda untuk bershodaqoh di jalan Alloh," tanya
Wawan.

"Tiga juta," jawab salah seorang.
"Tujuh juta," jawab lainnya.

Kini giliran Ema. Ia masih terdiam. Ia tak membawa uang sebesar itu.

"Sekarang, barang apa yang paling anda cintai. Jika anda mengaku sebagai
umat muslim, maka kapanpun harus bersedia menyedekahkan untuk di jalan
Alloh," tanya Wawan lagi.

"Radio. Salah satu barang milik saya yang saya sukai adalah radio," jawab
Ema dengan lugu.

Tapi jawaban Ema itu dimentahkan oleh Wawamn. Menurutnya radio bukan barang
yang layak untuk sedekah, selain barang itu kini tak ada di tangan Ema,
nilai nominal radio relatif rendah. "Yang sekarang anda bawa?" tanya Wawan
lagi.

Ema merasa terpojok. Satu-satunya barang yang dibawanya, yang paling
disukainya, tak lain adalah Hand Phone Nokia N-Gage. Tapi dia berat untuk
melepaskannya. Ini handphone satu-satunya.

"Handphone," jawab Ema, setengah terpaksa.
"Tapi, handphone ini bukan milik saya. Ini punya kakak saya. Ia yang
membelinya. Saya harus minta ijin dulu kepada kakak saya," jawabnya memberi
alasan. Sebenarnya ia tak rela jika harus memberikan handphone itu, entah
untuk jihad di jalan tuhan. Maka ia sebisa mungkin mencari alasan.

"Tidak, kalau anda mau sodaqoh tak boleh ditunda-tunda. Harus segera," jawab
Wawan. Ia kemudian membacakan dalil yang menerangkan bahwa Nabi Muhammad
bersedekah dengan memberikan harta miliknya yang sebenarnya sangat
disayangi.

Maka, dengan berat hati Ema pun menyerahkan Handphone itu. Salah seorang
mengatakan Handphone itu akan digadaikan. Uangnya nanti akan digunakan untuk
keperluan jihad di jalan Alloh. Beberapa saat kemudian, kurang dari 15
menit, seorang yang menggadaikan handphone itu kembali. Katanya, sudah
beres. Eva mulai curiga, "kok secepat itu," pikirnya.

"Sekarang, anda harus segera membersihkan diri. Saya ajak anda untuk
hijrah," kata Wawan. Hijrah kemana? Ke suatu tempat, di sana Ema akan
dibersihkan diri. Hmm....

"Tapi saya harus pulang ke kos dulu. Saya belum bawa apa-apa. Saya perlu
persiapan," kata Ema.

Lagi-lagi jawaban Ema ditolak. Dikatakan, jika hendak bertaubat maka harus
dilaksanakan dengan segera, tak boleh ditunda-tunda. Anjuran hijrah ini
katanya seperti yang dilakukan oleh Rosulullah saat berhijrah dari Makkah ke
Madinah.

Salah seorang bilang kepada Ema jika dirinya akan diajak pergi ke Jakarta.
Dari Java Supermall mereka kemudian mereka menuju ke stasiun kereta api
Poncol. Sore menjelang maghrib mereka tiba di stasiun. Mereka memesan tiket
kereta yang berangkat pukul 18.00, tapi rupanya tiket yang dimaksud sudah
habis dipesan. Jam keberangkatan selanjutnya sekitar pukul 21.00. Artrinya
mereka masih harus menunggu beberapa jam lagi.

Ema merasa ada yang tak beres. Ia meminjam handphone Ratih untuk menghubungi
pacarnya. Selang beberapa menit kemudian sang pacar menelponnya dengan nada
marah-marah setelah mengetahui Ema hendak pegi ke Jakarta. Tak lama kemudian
sang pacar datang ke stasiun menemui Ema dan memarahinya. Ema diajaknya
pulang. Teman Ema dan orang yang hendak mengajaknya ke Jakarta itu kabur
entah kemana.

****
Mendengar cerita Ema itu, saya mulai curiga, ada yang tak beres dengan
"gerakan jihad" yang hendak membawa Ema ke Jakarta itu. Pertama, ajakan itu
terkesan memaksa. Kemudian, konsep shodaqoh itu saya artikan sebagai
pemerasan. Lantas, jihad macam apa itu?

Saya menduga Ratih telah menyusun skenario untuk mempertemukan Ema dengan
teman-temannya. Mulanya mengajak untuk membeli flash disk, di tempat yang
dimaksud sudah disiapkan teman-teman yang akan memberikan presentasi kepada
Ema tentang konsep Khilafah Islamiyah(Negara Islam). Ini jelas cara yang
picik, licik, yang dipakai untuk sebuah tujuan berjuang di jalan kebenaran.

"Apa kamu tertarik dengan konsep negara Islam," tanya saya kepada Ema.
"Saya penasaran, saya ingin tahu," jawab Ema, mahasiswa yang masih lugu soal
wacana Islam ini.

Saya katakan, apa perlunya mendirikan negara Islam. Apakah untuk menjadi
seorang muslim kita harus hidup di negara Islam. Apa di Indonesia sekarang
muslim tak bisa menjalankan sholat, tak bisa melakukan ibadah?

Saya ajak dia kembali mengenang sejarah masuknya agama Islam ke tanah air.
Waktu itu agama Islam dibawa oleh para pedagang dari Arab. Mereka
menyebarkan Islam di daerah-daerah yang disinggahinya. Setahap demi setahap,
agama Islam mulai berkembang di daerah pesisir. Sementara itu, di daerah
lain, daerah perkotaan, pegunungan, yang belum dijamah oleh para pedagang
Arab itu masih banyak yang memeluk kepercayaan Hindu-Budha.

"Kau ingat bagaimana Wali Songo memperkenalkan agama Islam kepada masyarakat
Jawa. Masyarakat yang menurut Cliffort Geertz dibedakan ke dalam tiga
golongan: Santri, Abangan, dan Priyayi," tanya saya kepada Ema.

Dalam menyebarkan agama Islam Wali Songo, terutama yang dimotori oleh Sunan
Kalijaga menggunakan cara-cara yang begitu lentur, melalui pendekatan budaya
dan kesenian. Ia menggunakan kesenian wayang untuk menyebarkan agam Islam.
Tokoh-tokoh perwayangan yang sebelumnya dikenalkan dalam kebudayaan
Hindu-Budha itu, diganti dengan tokoh-tokoh yang ada di sejarah islam.
Kalijaga tak hendak membuang budaya yang selama ini telah melekat di
masyarakat Jawa itu dengan menggantikannya dengan syariat Islam. Ia memakai
cara-cara yang lunak, menyusupi budaya lama itu dengan nilai-nilai Islam.
Ibarat tempurung, ia tak memecah tempurung itu, tapi ia cuma membuang
isinya, dan mengisinya kembali dengan nilai-nilai dan ajaran Islam.

Dengan pemahaman Islam ala Sunan Kaljaga itu, menjadi Islam tak harus dengan
menggunakan aturan-aturan yang saklek seperti di Arab, seperti yang tertulis
di Al Qur'an. Agama Islam di Indonesia tak harus seperti yang ada di Arab.
Agama mengenal budaya, agama bukan milik satu masyarakat berdasar letak
geografis, tapi agama bisa masuk ke jenis masyarakat dengan jenis kultur dan
budaya apapaun. Dan siapapun bisa menjadi Islam, termasuk orang Jawa yang
masih percaya terhadap sedekah laut, misalnya.

****
Siapa teman yang mengajak Ema untuk menjadi jemaah yang hendak mendirikan
negara Islam itu?

Saya terkejut bukan main mengetahui bahwa orang yang mengajaknya adalah
orang yang saya kenal. Yunior saya, yang saya kenal memiliki latar belakang
pesantren, dan beberapa kali terlibat diskusi soal pluralisme. Dan ternyata
tak cuma Ema, masih ada korban-korban lainnya, Fauzi, Fani, Fatima, yang
diantaranya sudah ada yang telah terlibat lebih jauh, telah dibawa ke
Jakarta untuk dibersihkan. Modus yang dipakai hampir sama, dari mereka
membuat janji bertemu di toko buku, di rumah makan; kemudian dikenalkan
kepada teman; bershodaqoh alias memeras; diajak hijrah ke Jakarta; dicuci
otak dan sepulangnya menjadi tertutup, sering menghilang dan lain-lain.

Dari korban bernama Fani saya dapat cerita bagaimana dia sampai di Jakarta (
(tapi belum bisa dipastikan, apakah benar di Jakarta. Cuma waktu itu korban
menumpang kereta juruasan Jakarta, kemudian dijemput mobil, entah dibawa ke
mana). Ia bersama Adi, diduga pemain lebih dulu yang mengajak Ratih,
menumpang kereta kelas ekonomi. Ia berangkat dari Semarang lepas pukul 24.00.
Tiba di Jakarta menjelang subuh. Seturun dari kereta ia dijemput sebuah
mobil. Ia diminta menutup mata hingga sampai di tempat tujuan. Tibalah ia di
suatu ruangan tertutup. Di sana ia "dicuci-otaknya".

Dari Fani pula saya tahu gerakan Islam itu dinamai NKA (Negara Karunia
Allah), kadar keislaman dan ubudiyah mereka. Mereka menafsir ayat-ayat Al
Qur'an secara sepotong-potong untuk kepentingan mereka. Bahkan mereka tampak
tak mengusai ilmu tafsir. Bani Israil dikatakan berasal dari kata Bani yang
berarti anak, Isra+lail yang berarti perjalanan malam. Bagi anda yang
mengetahui ilmu tafsir, pasti akan tertawa dengan penafsiran jemaah NKA ini.

Anggota Jemaah NKA yang mengaku hendak mendirikan Negera Islam itu dalam
ubudiyahnya ternyata tak melakukan syariat Islam. Sepulang dari Jakarta,
tempat yang disebutnya sebagai tempat hijrah mensucikan diri, Fani diajak ke
satu tempat, yang saya duga di daerah Semarang atas, tepatnya Ngesrep yang
terletak tak jauh dari Kampus Undip Tembalang. Entah atas pengaruh apa, Fani
waktu itu yang diminta menutup mata ketika diboncengkan motor tak mencoba
untuk mencari tahu hendak ke mana dia dibawa pergi. Ia tak mencoba membuka
mata untuk mencari tahu. Apa mungkin ada pengaruh magis?

Setiba di suatu tempat, yang mirip tempat kos, dia bertemu dengan beberapa
perempuan yang semuanya tak mengenakan Jilbab. Dia bertanya, kenapa tak
mengenakan jilbab. Dijawab, mereka yang sedang berjihad tak diwajibkan
memakai Jilbab. Begitu pula, ketika Fani bertanya kenapa mereka tak Sholat,
dijawab orang yang lagi berjihad sholatnya sudah ditanggung oleh Imam. Kita
ini lagi dalam kondisi darurat, seperti perang, kata lainnya. Baru setelah
berhasil mendirikan Negara Islam, kita wajib menjalankan syariat Islam. Tak
jauh dari kos perempuan itu, selang 100-an meter Fani dibawa ke tempat kos
pria.

Apakah anda bisa menerima alasan itu, apakah alasan itu masuk akal?

Imam, siapa imam mereka. Kondisi darurat perang, perang melawan siapa.
Jihad, jihad untuk apa?

Saya cemas, saya tak rela membiarkan kejadian ini berlarut-larut. Saya tak
ikhlas menyaksikan korban-korban berjatuhan atas dasar mendirikan negera
Islam dan berjihad di jalan Allah. Bagi saya, itu alasan politis, alasan
yang sangat tolol, pemerasan, pendangkalan ajaran agama!

Dari cerita beberapa teman di kampus, dua orang yang kini diduga telah
menjadi bagian dari jemaah Negara Islam, yang disebutnya Negara Karunia
Alloh (NKA) itu kini dalam kesehariannya menjadi aneh. Ia menjadi tertutup.
Beberapakali mereka menghilang, tak menampakkan batang-hidungnya di kampus.
Padahal sebelumnya mereka tak seperti itu.

Suatu hari saya merencanakan skenario untuk menjebak dua orang itu. Saya
minta salah seorang korban untuk membuat janji bertemu di kampus. Saya ingin
mengajaknya diskusi. Tanpa rencana seperti ini, sulit bagi saya untuk bisa
bertemu dengannya. Jam terbangnya sekarang sudah cukup tinggi. Ia cuma
sesekali nongol di kampus. Itupun saya duga untuk mencari mangsa baru.

Saat Adi sedang menunggu korban, saya menghampirinya. Saya pura-pura tak
tahu. Saya ajak ngobrol hal remeh-temeh. Kemana saja kok jarang keliahatan.
Gimana kabarnya. Saya singgung-singgung soal kondisi di Indonesia yang
belakangan bermunculan gerakan-gerakan fundamentalisme Islam. Baru kemudian,
saya minta dia untuk memberikan pengakuan atas apa yang dia lakukan selama
ini.

Tapi, dia tak mau mengakuinya. Dia terus berkelit, kendati sudah ketangkap
basah.

"Oke, kamu tak mau mengakuinya, tak masalah. Kukira kau saat ini sedang
punya masalah. Jangan anggap aku ini musuhmu. Aku tetap menganggapmu sebagai
teman, sebagai adikku. Kapanpun kau akan mengajak diskusi, aku siap.
Kapanpun kau butuh perlindungan, aku siap bahkan untuk menggerakkan semua
teman-teman di kampus untuk melindungimu," kataku kepada Adi.

Saya berkata demikian, karena saya merasa ada sesuatu yang disembunyikan.
Dia memang tampak begitu tenang. Bisa saja dia sudah dicuci otaknya,
sehingga seolah-olah ia tak sadar dengan apa yang dilakukannya kini. Atau
sebenarnya dia sadar, tapi dia takut untuk keluar dari komunitas itu, karena
ancaman yang mengerikan. Saya bisa menyimpulkan ini dari beberapa korban
yang telah memberikan pengakuan kepada saya. Waktu itu mereka ketakutan
karena sudah terlanjur memberikan biodata lengkap, termasuk nama orang tua
dan alamat rumahnya. Beberapa kali para korban itu menerima SMS dari anggota
NKA. Korban diminta untuk tetap berkomunikasi dan tetap menjaga rahasia.
Adakah ancaman yang mengerikan jika korban membuka rahasia itu ke orang di
luar kumintas NKA? Mungkin saja!

Dari pengakuan Ema dan para korban lainnya, serta modus-modus yang digunakan
oleh orang-orang yang hendak mengajak korban, saya menduga mereka yang
menamakan aktivis NKA itu tak jauh beda dengan jemaah Negara Islam Indonesia
(NII) yang telah meresahkan banyak orang. Dari penelusuran di internet,
ternyata sudah banyak korban semacam Ema dengan modus yang sama. Sudah
banyak laporan dari keluarga korban ke pihak kepolisian. Lalu kenapa
sindikasi ini hingga kini masih terus berkembang? Ada dugaan kuat, NII ini
punya backing inteljen ataupun TNI. Silakan baca di
sini<http://swaramuslim.net/EBOOK/html/014/index1.htm>.
****

Sumber :
http://hanyaudin.blogspot.com/2007/04/negara-islam-yang-meresahkan.html


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke