Assalaamu'alaikum wa rahmatullahi wa barakaatuh

Berikut saya copy-kan sebuah artikel Islami.
Semoga bermanfaat & menambah ilmu bagi kita semua.

Wassalaamu'alaikum wa rahmatullahi wa barakaatuh

Note : harap turut menyebarluaskan risalah ini
--
Muhammad Haryo
http://anc.zendurl.com
--~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~
Jika email ini masuk folder spam/ bulk/ junk, harap tandai sebagai NOT spam/
bulk/ junk
--~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~

*Tanggapan Dan Bantahan Bagi Para Penentang As-Sunnah (Inkaarus Sunnah)*
Selasa, 24 April 2007 14:14:07 WIB
Kategori : As-Sunnah Dalam Islam
Sumber : http://almanhaj.or.id/index.php?action=more&article_id=2096

TANGGAPAN DAN BANTAHAN BAGI PARA PENENTANG AS-SUNNAH


Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas



[A]. BANTAHAN DAN TANGGAPAN DALIL PERTAMA
Tiga ayat yang dijadikan dalil oleh Inkaarus Sunnah (penentang As-Sunnah)
tidak dapat dijadikan hujjah atau dasar untuk menolak As-Sunnah. Menurut
Imam al-Auza'i rahimahullah bahwa yang dimaksud Al-Qur'an menerangkan segala
sesuatu, yakni menerangkan dengan penjelasan yang terdapat dalam As-Sunnah.
Sebagaimana dijelaskan dalam ayat lain bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa
sallam diberikan kewenangan oleh Allah untuk menerangkan Al-Quranul Karim
kepada umat manusia.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman.

"Artinya : Dan Kami turunkan Al-Qur'an kepadamu agar engkau jelaskan kepada
manusia tentang apa-apa yang diturunkan kepada mereka, agar mereka berfikir"
[An-Nahl : 44]

Kata Imam Asy-Syafi'i, "Istilah al-Bayan (tibyan) yang disebut dalam
Al-Qur'an mengandung berbagai makna yang mencakup pengertian pokok sebagai
sumber yang dijabarkan dalam berbagai cabang hukum (furu'). Hal ini
diterangkan dalam Al-Qur'an oleh Allah kepada makhluk-makhlukNya yang
mengandung berbagai segi

1). Ketentuan fardhu yang dicantumkan sebagai nash secara global, yaitu
wudhu', shalat, zakat, puasa, dan haji. Juga terdapat larangan berbuat keji
secara terang-terangan atau tersembunyi, seperti larangan zina,
minum-minuman keras, makan bangkai, ma-kan darah, dan daging babi. Demikian
pula disebutkan tata cara wudhu' dan sebagainya.

2). Ketentuan yang tegas dari firman Allah dalam Al-Qur'an dijelaskan
melalui lisan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Contohnya jumlah
raka'at shalat, nishab dan waktu zakat, serta ketentuan lainnya yang belum
dijabarkan dalam Al-Qur'an.

3). Ketentuan yang diundangkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam yang
tidak ada nashnya dalam Al-Qur-an wajib diikuti, karena Allah mewajibkan
hamba-hamba-Nya untuk taat kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
serta selalu berpedoman kepada hukumnya. Barangsiapa yang telah melaksanakan
ketentuan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, berarti ia menerima
ketentuan Allah.

4). Kewajiban yang dikenakan kepada hamba-hamba-Nya ini bertujuan agar
bersungguh-sungguh mencari keterangan itu, dan Allah menguji ketaatan mereka
dalam berijtihad sebagaimana ujian dalam hal-hal yang difardukan Allah
Subhanahu wa Ta'ala.

Selanjutnya Imam Asy-Syafi'i menjelaskan bahwa barangsiapa yang menjadikan
firman Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam Al-Qur'an sebagai sumber hukum, pasti
akan menjadikan As-Sunnah sebagai hujjah, karena Allah telah menjadikan
makhluk-Nya untuk mentaati Rasul-Nya.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

"Artinya : ..Apa yang diberikan Rasul kapadamu maka terimalah dia. Dan apa
yang dilarangnya bagimu maka tinggal-kanlah..." [Al-Hasyr: 7]

"Artinya : Maka demi Rabb-mu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman
sehingga mereka menjadikanmu hakim terhadap perkara yang mereka
perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka suatu
keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, mereka menerima dengan
sepenuhnya." [An-Nisaa': 65]

Orang-orang yang ingkar kepada As-Sunnah dengan menggunakan beberapa dalil
dari ayat yang mengingkari ayat-ayat lain yang memerintahkan taat kepada
Rasu-lullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, mereka adalah seperti orang-orang
yang di-sinyalir Allah dalam firman-Nya:

"Artinya : Apakah kamu beriman kepada sebagian al-Kitab dan ingkar terhadap
sebagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian
daripadamu, melain-kan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada hari Kiamat
mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat besar. Dan Allah tidak lengah
dari apa kamu perbuat." [Al-Baqarah : 85]

[B]. BANTAHAN DAN TANGGAPAN DALIL KEDUA
Adapun yang dimaksud dengan istilah hifzhudz dzikir dalam ayat 9 surat
al-Hijr:

"Artinya : Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan adz-Dzikra dan Kami pasti
memeliharanya." [Al-Hijr : 9]

Tidaklah terbatas pada perlindungan terhadap Al-Qur'an saja, melainkan
mencakup peraturan Allah serta peraturan yang diundangkan Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Allah menetapkan arti dzikr itu lebih umum dari hanya al-Qur'an saja.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

"Artinya : Tanyakanlah kepada ahli dzikir sekiranya kalian tidak
mengetahui." [An-Nahl: 43]

Yang dimaksud dzikir dalam ayat ini ialah orang yang memahami Dinullah dan
syari'at-Nya. Tidaklah diragukan lagi bahwa Allah menjamin Sunnah Rasul-Nya
sebagaimana Dia menjamin Kitab-Nya. Hal ini terbukti dari perjuangan ulama
yang telah menghabiskan usianya dalam menghafal, menyalin, mempelajari
Al-Qur'an dan As-Sunnah. Di samping itu mereka juga tidak lupa mengadakan
seleksi yang ketat terhadap As-Sunnah.

Imam Muhammad bin 'Ali bin Hazm yang terkenal dengan Ibnu Hazm berkata, "Di
antara para ahli bahasa dan syari'at tidak terdapat perbedaan faham bahwa
wahyu dari Allah merupakan ajaran yang diturunkan. Wahyu ini seluruhnya
dijamin oleh Allah Ta'ala. Segala yang termasuk dalam jaminan Allah pasti
tidak akan hilang atau menyimpang sedikit pun selama-lamanya, dan tidak akan
pernah muncul keterangan yang membatalkan wahyu tersebut".
Kemudian Ibnu Hazm menolak penafsiran kata dzikr dalam Al-Qur-an (Al-Hijr:
9) yang hanya diartikan sebagai Al-Qur'an saja. Ia berkata, "Pandangan
tersebut hanyalah dusta yang jauh dari pembuktian, dan bermaksud
mempersempit arti dzikr tanpa suatu dalil pun. Kata dzikr dalam ayat
tersebut ialah suatu nama yang berkaitan dengan segala yang diturunkan Allah
kepada Nabi-Nya, baik itu Al-Qur'an maupun As-Sunnah, dan As-Sunnah
merupakan wahyu sebagai penjelasan Al-Qur'an.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:

"Artinya :...Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur-an agar engkau menjelaskan
kepada manusia apa-apa yang diturunkan kepada mereka, agar mereka berfikir."
[An-Nahl: 44]

Jadi, nyatalah bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam diperintahkan
untuk menjelaskan kepada ummat manusia, karena banyak ayat-ayat dalam
Al-Qur'an yang hanya dicantumkan secara garis besarnya saja, seperti shalat,
zakat, puasa, haji, dan lain sebagainya. Dari bunyi lafazhnya, tidak dapat
kita ketahui apa sebenarnya yang dikehendaki Allah kepada kita selaku
hamba-Nya. Oleh karena itu, perlu dilengkapi dengan penjelasan dari Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam. Sekiranya penjelasan tersebut tidak ada atau
diabaikan begitu saja, maka sebagian besar syari'at yang difardhukan kepada
kita akan gugur, dan kita tidak mengetahui apa yang sebenarnya dikehendaki
Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan ayat-ayat tersebut (bila As-Sunnah tidak
dijamin).

Al-'Allamah Muhammad bin Ibrahim al-Wazir, setelah membaca ayat di atas
(Al-Hijr : 9), ia berkata: "Konsekuensi dari ayat ini ialah bahwa syari'at
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tetap terpelihara dan Sunnahnya
tetap dijaga Allah."

Di antara dalil yang menunjukkan bahwa Sunnah Nabi j terpelihara ialah Allah
menjadikan Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai penutup para
Nabi, dan syari'atnya sebagai penutup segala syari'at. Ummat manusia
dipe-rintahkan Allah agar beriman dan mengikuti syari'atnya sampai hari
Kiamat, dengan demikian batallah syari'at yang menyalahi syari'at beliau.
Allah tetapkan syari'at beliau serta memeliharanya, karena suatu hal yang
mustahil bila Allah mewajibkan hamba-hamba-Nya mengikuti syari'at yang telah
lenyap, atau tidak terpelihara. Dan ingat, ummat Islam telah sepakat bahwa
rujukan asasi bagi syari'at Islam adalah Al-Qur'an dan As-Sunnah. Karena
kita tidak bisa memahami Al-Qur'an dan menegakkan hujjah Allah dalam
mengadili hamba-hamba-Nya melainkan dengan risalah dan syari'at Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan ini sebagai pertanda bahwa pemeliharaan
Al-Qur-an tidak sempurna melainkan dengan dipeliharanya As-Sunnah. Ada satu
di antara kaidah ushul yang perlu kita ketahui, Syaikh Jamaluddin al-Qasimy
menjelaskannya bahwa hadits tersebut dari wahyu Allah Subhanahu wa Ta'ala


[C]. BANTAHAN DAN TANGGAPAN DALIL KETIGA
Dalam beberapa hadits shahih diungkapkan bahwa Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam tidak menyukai penulisan hadits, di antaranya hadits Abu
Sa'id al-Khudri yang dipakai hujjah oleh Inkarus Sunnah. Hadits tersebut
memang shahih, tetapi kita harus melihat hadits-hadits lain yang berkenaan
dengan masalah ini dan penjelasan dari para ulama. Imam an-Nawawi
menjelaskan hadits Abu Sa'id dengan membawakan beberapa pendapat, di
antaranya :

1). Larangan penulisan yang dimaksud ialah menuliskan hadits dengan
Al-Qur'an dalam satu lembaran, karena dikhawatirkan akan tercampur dengan
Al-Qur'an.

2). Larangan yang dimaksud khusus bagi orang yang kuat hafalannya supaya
tidak mengandalkan tulisan. Adapun orang yang tidak kuat hafalannya, maka ia
menulis.

3). Hadits Abu Sa'id yang melarang menulis hadits sudah mansukh dengan
hadits yang menyuruh untuk menulis.

Menurut Syaikh Ahmad Muhammad Syakir: "Jawaban yang benar adalah larangan
penulisan sudah dihapuskan (dimansukh) dengan hadits lain yang menyuruh
menulis hadits.

Hadits-hadits yang memerintahkan untuk menulis hadits (As-Sunnah):
[1]. Pada waktu Fathu Makkah (tahun 8H.) Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
berkhutbah, kemudian seseorang dari Yaman yang biasa dipanggil Abu Syah
berkata, "Ya Rasulullah, tuliskanlah untukku." Lalu beliau bersabda:
"Tuliskanlah untuk Abu Syah." [1]

Yang dimaksud, "Tuliskanlah untukku," kata Imam al-Auza'i ialah: "Ia minta
dituliskan khutbah yang ia dengar dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam." Dan kata Abu 'Abdirrahman, "Tidak ada satu hadits pun yang paling
sah tentang penulisan hadits selain hadits ini, karena Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam memerintahkan mereka (Shahabat) menuliskan khutbah yang ia
dengar dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.

[2]. Kata 'Abdullah bin 'Amr Radhiyallahu 'anhu sesuatu yang aku dengar dari
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, karena aku ingin menghafalnya,
kemudian orang-orang Quraisy melarangku sambil berkata, 'Apakah engkau tulis
semua yang kau dengar dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam,
sedangkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah manusia yang
bersabda di kala senang dan marah?' Lalu aku berhenti menulis, kemudian aku
menceritakan hal itu kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam,
kemudian beliau mengisyaratkan ke mulut beliau seraya bersabda:

ÃõßúÊõÈú¡ ÝóæóÇáøóÐöì äóÝúÓöí ÈöíóÏöåö ãóÇ íóÎúÑõÌõ ãöäúåõ ÅöáÇøó ÍóÞøñ.

"Artinya : Tulislah, demi Dzat yang diriku berada di Tangan-Nya, tidaklah
keluar dari mulutku ini melainkan yang haq." [2]

[3]. Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu berkata, "Tidak seorang pun dari
Shahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam yang lebih banyak hafalan
haditsnya selain aku, dan yang hampir sama banyaknya denganku adalah
'Abdullah bin 'Amr, karena ia menulis." [3]

Hadits-hadits di atas telah diamalkan oleh para Shahabat, Tabi'in, dan juga
ummat yang telah sepakat sesudah itu tentang bolehnya menuliskan hadits.
Semua itu menunjukkan bahwa hadits Abu Sa'id telah mansukh dan larangan Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam itu terjadi pada awal Islam, karena
dikhawatirkan tercampur antara Al-Qur-an dan As-Sunnah dalam penulisannya.
Sedangkan hadits Abu Syah terjadi pada Fathul Makkah (di akhir-akhir hayat
Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam), demikian juga hadits Abu Hurairah,
beliau masuk Islam pada tahun ke-7H, kemudian terjadi ijma' tentang
penulisan dan khabar yang demikian berupa khabar mutawatir 'amali dari
Salafush Shalih yang mudah-mudahan Allah meridhai mereka semua.

Riwayat-riwayat yang dibawakan oleh Inkarus Sunnah bahwa para Shahabat tidak
menyukai penulisan hadits, riwayat itu tidak sah, bahkan sebaliknya mereka
memerintahkan untuk menuliskan hadits.

Ada yang meriwayatkan bahwa Abu Bakar Radhiyallahu 'anhu melarang penulisan
hadits, menurut Imam adz-Dzahabi tidak sah riwayatnya, karena dalam
kenyataannya Abu Bakar Radhiyallahu 'anhu menulis hadits-hadits Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam demikian pula 'Umar, 'Ali, dan Zaid bin Tsabit
Radhiyallahu 'anhum yang diriwayatkan bahwa mereka melarang orang menuliskan
hadits, riwayatnya sangat lemah derajatnya. Jika pun seandainya ada riwayat
yang sah dari mereka akan larangan menuliskan hadits, justru dari mereka
pula banyak riwayat yang memerintahkan menuliskan hadits.

Penulisan hadits-hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam oleh para
Shahabat dapat kita lihat dari nukilan riwayat-riwayat berikut ini :

1. Abu Bakar ash-Shiddiq Radhiyallahu 'anhu pernah menulis surat kepada Anas
bin Malik yang isinya memuat hadits-hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam ketika Anas menjabat sebagai Amil di Bahrain.

2. 'Umar bin al-Khaththab Radhiyallahu 'anhu menulis hadits-hadits Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam dalam surat-surat resmi agar kaum muslimin
mengamalkannya. Dari Abu 'Utsman, ia berkata, "Kami bersama 'Utbah bin
Farqad (di Azarbaizan), lalu 'Umar mengirim surat kepadanya yang berisikan
beberapa hadits yang disabdakan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, di
antara surat-surat yang dikirimkan isinya ialah, bahwa Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

ãóäú áóÈöÓó ÇáúÍóÑöíúÑó Ýöí ÇáÏøõäúíóÇ áóãú íóáúÈóÓúåõ Ýöí ÇúáÂÎöÑóÉö.

"Artinya : "Orang-orang yang memakai sutera, maka ia tidak akan mendapatkan
bagian di akhirat." [4]

3. 'Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu 'anhu menganjurkan orang-orang
menuliskan hadits, dan terkadang mendiktekannya kepada mereka.

4. Zaid bin Tsabit radhiyallahu 'anhu, penulis wahyu, adalah juga Shahabat
yang pertama kali menulis tentang hadits-hadits faraidh.

Abu Ja'far bin Barqan berkata, "Seandainya Zaid bin Tsabit tidak menulis
hadits-hadits faraidh, sungguh yang demikian ini (ilmu faraidh) akan hilang
dari ummat ini.

5. Abu Ayyub al-Anshari Radhiyallahu 'anhu menulis surat kepada keponakannya
yang berisikan dengan hadits-hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam. [5]

6. Abu Umamah al-Bahili Radhiyallahu 'anhu membolehkan untuk menuliskan
hadits-hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. [6]

7. Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu adalah seorang Shahabat yang kepadanya
banyak para Shahabat dan Tabi'in menulis sari hadits Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam, karena beliau pernah dido'akan oleh Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam agar dapat menghafal hadits-hadits, dan
setelah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mendo'akannya ia tidak pernah
lupa. [7]

8. Anas bin Malik Abu Hamzah al-Anshari Radhiyallahu 'anhu adalah seorang
Shahabat yang bagus sekali dalam menulis hadits, sehingga Abu Bakar
Radhiyallahu 'anhu mengutusnya ke Bahrain. Dan Anas menganjurkan
anak-anaknya untuk menulis hadits.

Tsumamah bin 'Abdullah berkata, "Anas berwasiat kepada anak-anaknya, 'Wahai
anak-anakku ikatlah ilmu itu dengan tulisan.'"

9. 'Abdullah bin 'Amr bin al-'Ash Radhiyallahu 'anhu adalah termasuk
Shahabat yang banyak menulis hadits-hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa
sallam, dan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sendiri pernah
memerintahkan kepadanya agar menulis hadits-hadits beliau Shallallahu
'alaihi wa sallam sebagaimana yang sudah disebutkan riwayatnya. Hingga
hadits-hadits yang ditulisnya terkumpul dalam satu Shahifah ash-Shadiqah.

10. 'Abdullah bin az-Zubair Radhiyallahu 'anhu pernah menulis surat kepada
Qadhi 'Abdullah bin 'Utbah bin Mas'ud yang isinya memuat hadits-hadits
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. [8]

11. Mu'awiyah bin Abu Sufyan Radhiyallahu 'anhu juga pernah mengirim surat
kepada 'Aisyah Radhiyallahu 'anha agar ia menuliskan apa-apa yang didengar
dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, dan 'Aisyah pun
menuliskannya.

As-Sya'bi berkata, "Telah menceritakan kepadaku juru tulis Mughirah bin
Syu'bah, ia berkata, 'Mu'awiyah menulis surat kepadaku yang isinya:
'Hendaklah engkau tuliskan untukku hadits-hadits yang pernah engkau dengar
dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam .' Maka aku pun menuliskannya.'"

Di antara para Shahabat lainnya yang menulis hadits-hadits Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah:
12. Abu Rafi'.
13. Abu Sa'id al-Khudri.
14. Ubay bin Ka'ab al-Anshari.
15. Abu Musa al-Asy'ari.
16. Asma' binti Unais.
17. 'Usaid bin Hudhair al-Anshari.
18. Al-Barra' bin 'Azib.
19. Jabir bin Samurah.
20. Jarir bin 'Abdillah al-Bajali.
21. Jabir bin 'Abdillah bin 'Amr.
22. Hasan bin 'Ali.
23. Rafi' bin Khadij.
24. Zaid bin Arqam.
25. Subai'ah al-Aslamiyyah.
26. Sa'ad bin Ubadah al-Anshari.
27. Salman al-Farisi.
28. As-Saib bin Yazid.
29. Sahl bin Sa'ad as-Sa'idi al-Anshari.
30. Syaddad bin Aus bin Tsabit al-Anshari.
31. Samurah bin Jundub.
32. Syamghun al-Azdi al-Anshari.
33. Dhahhak bin Sufyan al-Kilaabi.
34. Dhahhak bin Qais al-Kilaabi.
35. 'Abdullah bin Abi Aufa.
36. 'Abdullah bin 'Abbas.
37. 'Abdullah bin 'Umar bin al-Khaththab.
38. 'Abdullah bin Mas'ud al-Hudzali.
39. 'Itban bin Malik al-Anshari.
40. Fathimah binti Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam .
41. Fathimah binti Qais.
42. Muhammad bin Maslamah al-Anshari.
43. Mu'adz bin Jabal.
44. Ummul Mukminin Maimunah binti Harits al-Hi-lalliyyah.
45. 'Amr bin Hazm al-Anshari.
46. An-Nu'man bin Basyir.
47. Abu Bakar ats-Tsaqafi Nufa'i bin Masruh.
48. Abu Syah.
49. Abu Hindin ad-Daari.[9]

Dari kalangan Tabi'in yang menuliskan hadits-hadits Rasulullah Shallallahu
'alaihi wa sallam adalah sebagi berikut:

1. Aban bin 'Utsman bin 'Affan.
2. Ibrahim bin Yazid an-Nakha'i al-Awar.
3. Abu Aliyah ar-Riyahi.
4. Amir bin Sharaahil bin 'Amr asy-Sya'bi al-Hamdani.
5. 'Umar bin 'Abdul 'Aziz.
6. 'Urwah bin az-Zubair.
7. Al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar ash-Shidiq.
8. Muhammad bin 'Ali bin Abi Thalib.
9. 'Ubaidah bin 'Amr as-Salmani al-Muradi.
10 Ayyub bin Abi Tamimah as-Sikhtiyaani.
11. Ma'imun bin Mihran.
12. Nafi' maula Ibnu 'Umar.
13. Manshur bin Mu'tamir. [10]

Dan masih banyak lagi para Tabi'in yang menulis hadits-hadits Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam langsung dari para Shahabat, dan untuk
kemudian mereka pun menganjurkan kepada para Tabi'ut Tabi'in untuk
menuliskannya, dan begitulah seterusnya sehingga membentuk suatu mata rantai
sampainya hadits-hadits itu kepada kita saat ini.

[Disalin dari buku Kedudukan As-Sunnah Dalam Syariat Islam, Bab V : Bantahan
Bagi Para Penentang As-Sunnah, Penulis Yazid Abdul Qadir Jawas, Penerbit
Pustaka At-Taqwa, PO.Box 264 Bogor 16001, Jawa Barat Indonesia, Cetakan
Kedua Jumadil Akhir 1426H/Juli 2005]
__________
Foote Note
[1]. Hadits shahih riwayat al-Bukhari (no. 2434), Muslim (no. 1355), Ahmad
(II/238) dan Abu Dawud (no. 3649), dari Shahabat Abu Hurairah Radhiyallahu
'anhu.
[2]. Hadits shahih riwayat ad-Darimi (I/125), Ahmad (II/162, 192) dan
al-Hakim (I/105-106) dan Abu Dawud (no. 3646).
[3]. Hadits shahih riwayat al-Bukhari (no. 113) dan ad-Darimi (I/125 no.
487).
[4]. Hadits shahih riwayat Ahmad (I/26), al-Bukhari (no. 5832) dan Muslim
(no. 2073).
[5]. HR. Ahmad (V/413)
[6]. HR. Ad-Darimi (I/127).
[7]. HR. Al-Bukhari (no. 119).
[8]. HR. Ahmad (IV/4).
[9]. Dirasaat fil Hadits an-Nabawy (I/92-142).
[10]. Dirasaat fil Hadits an-Nabawy (I/143-215).


[Non-text portions of this message have been removed]

Reply via email to