Jayus Mengaku Saksikan Penguburan Korban Talangsari 1989

Bandarlampung-RoL--Jayus, salah satu tokoh di balik tragedi Talangsari--GPK
Warsidi--di Way Jepara-Lampung 7--8 Februari 1989, delapan belas tahun lalu,
mengaku menyaksikan sendiri adanya ratusan korban meninggal yang dimakamkan
di sekitar Talangsari akibat kejadian itu. 

Jayus kembali mengungkapkan seputar peristiwa Talangsari akibat serangan
aparat militer itu, pada peluncuran buku dan diskusi kasus Talangsari di
Bandarlampung, Senin. 

Menurut Jayus, pada saat kejadian tanggal 7 Februari 1989 sejak subuh
sekitar Pkl. 04.30 WIB, lokasi sekitar kompleks pengajian jemaah Warsidi di
sana telah dikepung aparat militer bersenjata. Mereka kemudian diberondong
dengan senjata. 

Pada sekitar Pkl. 08.00 WIB, umumnya penghuni rumah dan pondokan di sana
telah habis dan yang tertinggal hanya nampak para orangtua, perempuan dan
anak-anak yang bertahan tetap berada di dalam rumah-rumah di sana. 

Jayus menyebutkan, saat itu justru rumah-rumah tersebut dibakar, sehingga
para penghuninya umumnya tewas dengan kondisi pondokan telah hangus. 

"Sulit saya melupakan kejadian itu sampai sekarang, karena terus
terbayang-bayang," cetus Jayus. 

Dia menuturkan, para korban umumnya dalam kondisi terbakar hangus hanya
tinggal tulang belulang saja. 

Para korban itu kemudian dikuburkan sehari setelah kejadian hingga beberapa
hari kemudian. 

Jayus menyebutkan, paling tidak selama tiga hari itu, setidaknya tiap hari
dapat dikuburkan sekitar 50-an korban meninggal dunia walaupun proses
penguburan juga belum sempurna, karena beberapa bagian tubuh diantaranya
masih kelihatan. 

Penguburan juga dilakukan kepada para korban yang ditemukan berserakan di
sekitar persawahan, sungai, jalan-jalan di sekitar tempat kejadian. 

"Tindakan aparat keamanan saat itu sangat biadab dan tidak
berperikemanusiaan," tutur Jayus pula. 

Setelah kejadian itu, lokasi sekitar pengajian Warsidi di Talangsari ditutup
total oleh aparat TNI, hingga 5--6 bulan kemudian areal tersebut tidak boleh
dimasuki masyarakat sekitar. 

Jayus mendesak agar kasus Talangsari itu dapat diusut secara tuntas,
sehingga para pelaku yang bertanggungjawab terhadap kematian sekitar ratusan
orang--versi resmi pemerintah menyatakan yang meninggal hanya sekitar 29
orang--dapat diadili secara hukum. 

Namun tokoh lain dalam tragedi Talangsari itu, Sukardi maupun Sudarsono
mengakui bahwa saat itu di kompleks pengajian Warsidi tengah beraktivitas
kelompok militan Islam yang bertujuan akhir untuk mendirikan cikal bakal
Negara Islam Indonesia (NII). 

Mereka mengaku tidak dapat berkompromi dengan aparat pemerintah dan aparat
keamanan yang beberapa kali mengundang dan mengajak mereka berdialog dan
menjelaskan aktivitas di sana. 

Justru mereka yang minta camat dan Danramil (Kapten Sutiman yang tewas
akibat tindakan warga) untuk datang bertemu penghuni pondokan yang kerap
didatangi santri dan warga dari beberapa daerah di luar Lampung itu. 

Kematian Danramil Way Jepara seusai mendatangi kompleks pengajian itu,
diduga memicu tindakan aparat militer (TNI) kemudian mengambil tindakan
keras terhadap mereka. 

Namun menurut Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak
Kekerasan (Kontras) Usman Hamid, dengan dalih adanya Danramil yang tewas
akibat ulah warga Talangsari maupun sikap mereka yang dianggap membangkang
dengan pemerintah dan aparat saat itu, bukanlah alasan yang dapat
membenarkan untuk melakukan penyerbuan secara militer. 

"Karena itu, siapapun yang terbukti melakukan kesalahan dan tindak pidana di
Talangsari saat itu, mesti dibawa ke pengadilan untuk diproses hukum secara
adil," ujar Usman Hamid pula. 

Penulis buku "Talangsari 1989, Kesaksian Korban Pelanggaran HAM Peristiwa
Lampung", Fadilasari yang juga jurnalis dan mahasiswa pasca sarjana Fak.
Hukum Universitas Lampung (Unila) berharap, dengan kesaksian para korban
Talangsari itu dapat menjelaskan kondisi sebenarnya saat peristiwa tersebut.


"Tidak ada tujuan politik atau motivasi untuk mengangkat masalah agama di
dalamnya, kecuali berusaha mengungkapkan kejadian sebenarnya secara obyektif
dan berimbang," tutur Fadilasari pula. antara/pur


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke