refleksi: Apakah pembangunan mesjid di Taiwan perlu mendapat izin kementrian agama dan organisasi-organisasi Kongfuchu Taiwan, seperti halnya dengan pembangunan gereja di Indonesia harus didapat persetujuan Depag dan penduduk di sekitar serta organisasi FPI, MMI, etc?
REPUBLIKA Kamis, 16 Nopember 2006 Islam di Taiwan dan TKI Oleh : Azyumardi Azra Migrasi orang-orang dari satu wilayah ke wilayah lain hampir selalu menjadi salah satu faktor penting dalam penyebaran agama, khususnya Islam. Migrasi memang bukan sekadar perpindahan orang, tetapi juga tradisi sosial-budaya dan agama yang mereka pegang dan hidupi. Dan perkembangan Islam di Taiwan dalam kaitan dengan migrasi amat menarik. Gejala ini saya lihat ketika beberapa hari setelah Idul Fitri 1427 lalu menghadiri Festival Hari Raya Puasa Masyarakat Indonesia di Daan Park Taipei, Taiwan. ''Masyarakat Indonesia'' dalam acara ini tidak lain hampir 100 persen adalah tenaga kerja Indonesia (TKI), yang datang dari Taipei, dan kota-kota lain seperti Kaohsiung dan Longgang. Menurut perkiraan Salahudding Ma Chao-yeng, pengurus Grand Mosque Taipei, sekitar 20 ribu TKI hadir dalam festival tersebut, yang diisi ceramah agama empat anggota delegasi dari Indonesia. Atas undangan Asia Foundation in Taiwan (AFIT), saya (dalam kedudukan sebagai rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta) bersama Dr Endang Turmudi (NU), Dr Anisah Basleman (al-Irsyad) dan Surya Madya (Yayasan Haji Karim Oei), mendapat kesempatan sangat baik berjumpa, memberi ceramah agama, dan berdialog tidak hanya dengan para TKI, tetapi juga dengan para pemimpin dan tokoh Muslim Taiwan, termasuk imam dan khatib yang asli Cina. Sejarah Islam di Taiwan terkait banyak dengan gejolak pertarungan pemerintahan Kuomintang pimpinan Chiang Kai Sek (CKS) dengan Komunis Cina yang berakhir dengan kekalahan CKS, yang membuatnya hijrah ke Taiwan pada 1949 dan mendirikan pemerintahan Republic of China, yang lebih dikenal sebagai Taiwan. Bersama CKS sekitar 1,3 juta orang berpindah dari mainland Cina ke Taiwan, termasuk di antaranya sekitar 20 ribu Muslimin. Mereka ini kemudian mendirikan dua organisasi The Chinese Muslim Association dan Chinese Muslim Youth League. Bisa dibayangkan kesulitan kaum Muslimin Cina Taiwan pada masa-masa awal ini; kontak dan hubungan mereka dengan kaum Muslimin di Cina mainland terputus, dan mereka hidup di lingkungan sosial budaya yang dalam banyak hal tidak kompatibel dengan ajaran dan nilai Islam. Meski begitu, kaum Muslimin Cina akhirnya pada 1960-an berhasil membangun Grand Mosque Taipei dan Masjid Longgang. Kedua masjid yang berarsitektur Timur Tengah ini tidak hanya menjadi pusat keagamaan dan sosial budaya kaum Muslimin Cina, tetapi juga merupakan landmark kehadiran Islam di Pulau Taiwan yang kini berpenduduk sekitar 23 juta jiwa. Kini terdapat enam masjid di berbagai kota di seluruh Taiwan dengan populasi kaum Muslimin sekitar 50 ribu orang. Kehadiran TKI yang umumnya Muslim segera terlihat dalam institusi Islam Taiwan; dari segi jumlah saja, diperkirakan kini terdapat antara 60 ribu sampai 70 ribu orang, dan sebagian besar mereka bisa dipastikan beragama Islam. Di kedua masjid tersebut, Masjid Agung Taipei dan Masjid Longgang, misalnya tanda-tanda dan petunjuk masjid tidak hanya dalam bahasa Mandarin, tapi juga dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Di Masjid Agung Taipei, panggilan azan dengan nada yang indah sering dilantunkan TKI. Bahkan, di Masjid Longgang, para TKI Muslim mendapat ruang khusus dari pengurus masjid untuk menyelenggarakan kegiatan pengajian dan majelis taklim. Para TKI Muslim, menurut para pengurus masjid di Taipei dan di Longgang, telah menambah semarak Islam di Taiwan. Tidak jarang mereka terkesan dengan sikap keislaman kalangan TKI; tetapi sering pula mereka khawatir bahwa para TKI Muslim akan terkikis keimanan dan keislaman mereka dalam lingkungan sosial, budaya, dan ekonomi Taiwan yang pada dasarnya sangat permisif. Para TKI bukan tidak menyadari kekhawatiran tersebut. Karena itu, mereka membentuk kelompok-kelompok pengajian. Bahkan, berusaha mendatangkan dai dari Tanah Air. Cuma sayang, biayanya sangat mahal. Mereka bercerita pernah mendatangkan dai dari Jakarta yang membawa rombongan tujuh orang yang menghabiskan dana urunan dari upah mereka yang pas-pasan sekitar Rp 200 juta untuk tiket, akomodasi, dan honor. Padahal, kalau dai datang satu atau dua orang saja, dana yang dikeluarkan paling banter sepersepuluhnya saja. Ternyata dai kita kian mahal saja. Sejak mau berangkat ke Taiwan, para TKI memang telah menghadapi tantangan berat. Menurut penuturan mereka, PJTKI yang mengirim mereka, misalnya, tidak mengizinkan membawa peralatan shalat. Alasannya, para majikan mereka tidak ''berkenan'' dengan orang yang terbungkus kain putih. Karena itu, dalam dialog pengajian dengan TKI di Masjid Agung Taipei, Ustadzah Anisah dan Ustadz Surya Madya menyarankan kepada para TKW untuk memakai mukena yang tidak berwarna putih. Kaum Muslim Cina Taiwan mengharapkan lahirnya generasi baru kepemimpinan mereka, yang memiliki pengetahuan Islam yang memadai untuk mengelola lembaga-lembaga mereka. Jika Islam Indonesia ingin memainkan pengaruh lebih besar, kinilah waktu untuk mewujudkannya dengan menyantuni saudara-saudara seiman seislam di Taiwan.