BIOSKOP-BIOSKOP TUA DI JAKARTA 
 HAMPIR TIDAK ADA LAGI
  
 Oleh: Asep Kambali
  
 Tetapi cerita mengenai keberadaannya telah menjadi riwayat yang mengagumkan 
sekaligus lucu. Dongengan orang tua yang lahir di era awal abad 20-an merupakan 
saksi sekaligus mereka yang merasakan bagaimana film-film gagu (bisu) itu 
ditayangkan. Diiringi musik orkes dan ditemani kacang atau ubi rebus menambah 
indah suasana nonton kala itu. Yang menyebalkan, ketus seorang kakek di 
bilangan pasar baru, "kenapa tempat duduk antara laki ma perempuan harus 
dipisah, jadi kaga enak dah, hehehe" 
  
 Bioskop jaman baheula mula-mula di sekitar Lapangan Gambir (kini Monas). 
Bangunannya menyerupai bangsal dengan dinding dari gedek dan beratapkan 
kaleng/seng. Setelah selesai pemutaran film, bioskop itu kemudian dibawa 
keliling ke kota yang lain. Bioskop ini di kenal dengan nama Talbot (nama dari 
pengusaha bioskop tsb). Bioskop lain diusahakan oleh seorang yang bernama 
Schwarz. Tempatnya terletak kira-kria di Kebon Jahe, Tanah Abang. Sebelum 
akhirnya hancur terbakar, bioskop ini menempati sebuah gedung di Pasar Baru. 
Ada lagi bioskop yang bernama De Callone (nama pengusahanya) yang terdapat di 
Deca Park. De Callone ini mula-mula adalah bioskop terbuka di lapangan, yang 
dijaman sekarang disebut "misbar", gerimis bubar. De Callone adalah cikal bakal 
dari bioskop Capitol yang terdapat di Pintu Air. 


 Bioskop-bioskop lain seperti, Elite di Pintu Air, Rex di Kramat Bunder, Cinema 
di Krekot, Astoria di Pintu Air, Centraal di Jatinegara, Rialto di Senen dan 
Tanah Abang, Surya di Tanah Abang, Thalia di Hayam Wuruk, Olimo, Orion di 
Glodok, Al Hambra di Sawah Besar, Oost Java di Jl. Veteran, Rembrant di Pintu 
Air, Widjaja di Jalan Tongkol/Pasar Ikan, Rivoli di Kramat, dan lain-lain 
merupakan bioskop yang muncul dan ramai dikunjungi setelah periode 1940-an. 
  
 Film-film yang diputar di dalam bioskp tempo dulu adalah film gagu alias bisu 
atau tanpa suara. Biasanya pemutaran di iringi musik orkes, yang ternyata 
jarang "nyambung" dengan film.  Beberapa film yang kala itu yang menjadi 
favorit masyarakat adalah Fantomas, Zigomar, Tom MIx, Edi Polo, Charlie Caplin, 
Max Linder, Arsene Lupin, dll.  
  
 Jaman sekarang, bioskop-bioskop itu telah menjadi kenangan. Ada yang gedungnya 
hancur dihancurin, terbakar atau dibakar, beralih fungsi, bahkan sama sekali 
lenyap ditelan moderenisasi kota. 
  
 Salah satu bioskop tua yang sedang heboh di perbincangkan adalah bioskop 
Megaria (dahulu bernama Metropole). Bioskop yang dibangun tahun 1949 ini 
diresmikan oleh Mohammad Hatta (?). Cek dan ricek ke pengelola gedung, ternyata 
bioskop yang masih utuh itu benar-benar tidak akan di bongkar. Malahan 
baru-baru ini gedung bioskop itu dicat ulang. Syukurlah... ! 
  
 Han Awal, seorang arsitek senior papan atas Indonesia mengungkapkan, sayang 
kalau sampai bioskop itu hilang, secara arsitektur bioskop ini memiliki ciri 
yang khas. Tak berbeda dengan Pia Alisjahbana, sesepuh dari Badan Pelestarian 
Pusaka Indonesia, yang menyayangkan jika bioskop ini sampai lenyap. Waktu 
kecil, Pia pernah mersasakan keramaian bioskop ini. Karena rumahnya yang tidak 
jauh dari Megaria. Persis di seberang Jalan yang kini menjadi Kantor BII (?) 
Pemerhati Sejarah Indonesia dari Belanda, Max de Bruijn pun senada, jika sampai 
hancur tamatlah riwayat bioskop tua di Jakarta. Begitulah kata mereka yang 
ditemui penulis di sela-sela Pembukaan Pameran dan Launching Buku F.J.L Ghijsel 
(Arsitek Belanda Kelahiran Tulung Agung yang mendesain Gedung Statsion BeOS) di 
Gedung Arsip Nasional Jl. Gajah Mada, Jakarta Pusat. 
  
 Beberapa hari yang lalu, penulis juga di Konfirmasi oleh Aorora Tambunan 
(Kepala Dinas Kebudayaan & Permuseuman DKI Jakarta) bahwa Pemda DKI, TIDAK akan 
"melenyapkan" bioskop Megaria itu. Bahkan Lola (panggilan akrab Aurora 
Tambunan) pun sangat tidak setuju jika Megaria dibongkar. Kasus ini merebak 
sejak "polling" yang disebar pertama kali di millist nya cita-cinta yang 
kemudian diforward ke Milist Komunitas Historia dan millist lain. Beruntung 
hasil polling itu ternyata seratus persen masyarakat menentangnya. 
  
 Lola  menambahkan, Pemda DKI siap bekerja sama dengan Komunitas Historia dalam 
menjaga dan melestarikan Warisan Sejarah dan Budaya yang ada di Jakarta. Lola 
bahkan menghimbau agar kita semua kritis, partisipatif dan positif thinking 
dalam menghadapi pesoalan heritage ini. Dukunglah pemerintah, karena pemerintah 
tidak akan ada artinya tanpa dukungan masyarakat. Tandasnya.  
  
 Kita tunggu dan semoga saja bukan dongengan sebelum tidur!
  
 Salam Lestari!
 AK


  KPSBI-HISTORIA

  Phone: (021) 7044-7220, Mobile: 0818-0807-3636
  [EMAIL PROTECTED], [EMAIL PROTECTED]
  http://kpsbi-historia.blogdrive.com

 
---------------------------------
Cheap Talk? Check out Yahoo! Messenger's low PC-to-Phone call rates.

Kirim email ke