Aha... Ada yg kebakaran 'bulu ketek' rupanya..hahaha... Pertama, saya sampaikan bahwa 'PatanYali' itu adalah nama julukan atau nick name saya, jadi tidak diadopsi dari mana-mana... 'PatanYali' itu adalah sebuah 'singkatan'... Anda nggak perlu tau apa artinya... Dan jangan sekali kali 'mempermainkan' nama itu karena sangat keramat, nanti anda bisa kena *diare verbal* yang sangat akut... Berfikirlah, jangan cuman bisa ngedumel... Negara dan industri pendidikan telah banyak mengeluarkan investasi pada org-org seperti anda, bukan untuk ngedumel... Wayout?... hehehe... 'On-line image' kota darimana PatanYali berasal bisa ditentukan buruk atau tidak, dan itu terletak diujung jari-jari 'PatanYali' sendiri... Banyak situs mengenai kota saya, bahkan milik pemerintah yg mungkin telah memakan uang rakyat ratusan juta rupiah itu, tapi ternyata hanya seperti 'kodok dalam tempurung' karena rupa-rupanya tidak bisa ter-hyperlinked serta terakses dari berbagai situs website luar negri. Dan, satu satunya situs mengenai kota tersebut, yg dapat diakses lebih dari 35 situs manca negara (semakin berkembang) adalah situs milik PatanYali... So, bisakah para 'Cheerleader' (contohnya anda) melakukan hal yang sama?... Nggak usah skala Global, dan skala Negara, coba anda lakukan hal itu dalam 'cityscale' aja tanda dana rakyat dan Negara.... I -seriously- challange you... gimana, berani?....I dont think so... Para 'cheerleaders' dan 'mister flinstone' hanya memikirkan 'status' - 'symbols' - 'institution' masing masing... And he expecting a way out from me?... Hahahaha... Kalau anda -terlebih dahulu- membudayakan budaya malu untuk *buang handuk*, mungkin baru saya mau menunjukkan *way out*... Dengan *berfikir* dan melakukan metode *psike-navigasi* si PatanYali berhasil menaklukkan kemiskinan bagi dirinya sendiri, tanpa berharap makan gaji dari Negara... Tidak seperti para 'cheerleaders' dan 'mister flinstone' yg makan gaji dari industri pendidikan... Apesnya, industri pendidikan itu diberi makan oleh generasi muda bangsa yg -justru- masa depannya masih berwarna hitam kelam, sekelam kopi pahit pekat tanpa susu... Maka, seandainya saya adalah seorang yang makan gaji dari institusi baik negara atau industri pendidikan *univer-shit-ass* (contohnya anda) maka saya akan MALU BESAR mengharapkan 'way out' dari seorang 'peminum kopi'. ... (Hingga disini, anda coba bayangkan seorang yg berjubah kebesaran akademik, lengkap dengan berkoper-koper kertas ijazah kebudayaan ditangannya, clingak-clinguk mencari warung kopi kumuh ditengah carut marut kebisingan kota... Katanya dia minta 'way out' dari salah satu tukang minum kopi, di warkop kumuh tersebut....) Sementara diberbagai milis, kerjaan orang ini cuman ngedumel, tanpa ada pemikiran originil sama sekali... Inilah salah satu bukti bahwa 'berfikir' itu bukan 'budaya' orang Indonesia. Yang justru dipertontonkan oleh seorang akademisi budaya dari institusi/industri pendidikan tersohor dalam Negri... Meminjam kata kata Chavez: The devil is at home... Pertanyaan kembali saya lemparkan kepada para pembaca, apakah kata 'Home' disini bisa diproyeksikan sbg: Industri Pendidikan di Indonesia ??? Kasihan bangsaku!!! Kopitalisme http://kopitalisme.tk http://kopitalisme.blogspot.com
manneke <[EMAIL PROTECTED]> wrote: Wah teori yang sangat original! Sayang di balik kehebatan kata-katanya dan sikap overconfident penulisnya yang keracunan kafein, tak tampak adanya cara berpikir yang ajeg dan runtut. Memang benar kata Anda, Idonesia tak punya budaya berpikir. Contoh konretnya ya seperti yang kita liat di tulisan Anda ini. Ngomong-ngomong, selama mengamati posting-posting Anda yang sifatnya hit-and-run dan cut-and-paste itu, belum pernah saya liat adanya solusi kecuali pameran kehebatan diri atau ngomel-ngomel kaya suami nggak dibikinin kopi ama istrinya di pagi hari. He he he... May CULTURE be with you manneke -----Original Message----- > Date: Thu Nov 30 23:32:24 PST 2006 > From: "Well... I am: SeksPeare" <[EMAIL PROTECTED]> > Subject: Re: [mediacare] "Ketegangan antar yang Global dengan Lokal" > To: mediacare@yahoogroups.com > > Sekarang kenapa tidak bertanya pada diri anda sendiri: What can you do about > it... Jawaban yg anda sodorkan itu bukan hal baru dan bukan rahasia lagi... > Yg akan terjadi -sesuai budaya Indonesia- adalah mencari-cari alasan, dan > berputar putar soal gaji tak cukuplah, perlu memperbaiki nasib-lah, baru > keteteran mencari paradigma baru melalui seminar-lah, dan bla..bla..bla.. > lainnya. > > Sehingga saya berkesimpulan bahwa *Berfikir* itu -memang- bukanlah budaya > orang Indonesia'. keilmuan sosial dan filsafat -saya sinyalir- hanyalah > barang hafalan dan komodity industri pendidikan, sementara generasi muda > bangsa hanyalah target marketing belaka... Simple is that. > > Bagaimana tidak? Jika dunia 'Industri Pendidikan' terisi oleh species > 'Cheerleaders' dan 'Mister Flinstone'?... 'Kesadaran masyarakat' tidak lepas > dari faktor 'berfikir' dan jika mereka kemudian menjadi malas berfikir, maka > kedua 'species' ini semestinya dipertanyakan tanggung jawab > sosial-intelektualnya... Apalagi jika selama ini mereka digaji oleh Negara. > > Salam > > Kopitalisme > http://kopitalisme.tk > http://kopitalisme.blogspot.com > > > Rudy Prabowo <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > Jawabnya : "Pendidikan", sebenarnya kalau diikuti dari tulisan pertama, > essensinya adalah "Pendidikan". > Kalu orang bodoh, apa yg dia lakukan itu hasilnya juga boleh. > > Input : Bodoh+Bodoh-----------------Proses----------------->> tambah Bodoh > (ouput) > > Maka "Jikalau orang bodoh kumpul sama orang bodoh, dua-duanya akan msuk > kedalam Jurang! > > "Well... I am: SeksPeare" <[EMAIL PROTECTED]> wrote: > Quote: Bagaimanakah jalan keluarnya supaya terdapat dialektika yang aktif > antara global dan yang lokal dapat diciptakan, penuh persahabatan dan > perdamaian :)) Pikirkanlah itu......... End of quote. > > Kopitalisme: > Kalau anda baru berkata 'Pikirkanlah itu'... Maka saya berpendapat bahwa > betapa tertinggalnya 'kesadaran' masyarakat kita. Tetapi, lantas apakah > 'rakyat' dan 'masyarakat' yg perlu disalahkan? Tunggu dulu... Yg saya > pertanyakan adalah: KEMANA SAJA para 'sosiolog' dan 'budayawan' akademistik > yg nota bene digaji oleh Negara selama ini???... Apakah terseok-seok pergi > mencari 'paradigma baru' dimeja-meja seminar, karena kebakaran bulu > ketek???... You THINK about it... > > Saya amati hingga tahun kemarin (2005), topik 'Globalisasi' ini seakan akan > hanya dibicarakan oleh kaum 'ekonom'. Jadi, pertanyaan saya diatas sangatlah > mendasar... > > Apakah 'Kopitalisme' hanya berkoar-koar mengkritik di media online? > 'Kopitalisme' bisa saja menunjukkan arsip 'eksperimental' > aktifitas-kreatifitas sejak dari bagaimana berdemonstrasi yg damai, > sistematis dan terarah, secara 'lokal' dalam mensikapi issue 'global', hingga > pada fase peletakan dasar-dasar pemikiran maupun kebijakan-kebijakan yg > mengikutinya... Jadi 'Kopitalisme' tidak mengkritik sebelum terlebih dahulu > melakukan 'eksperiment'... > > Jadi, siapa yg 'terlambat' dan siapa yg tidak 'berfikir'...??? Tanyalah diri > anda sendiri. > > May FUN be with you... > > Kopitalisme --------------------------------- Everyone is raving about the all-new Yahoo! Mail beta.