Kamis, 07 Desember 2006 Sisi Sadis Bocah Belia
Entah pengaruh buruk apa yang merasuki jiwa Irfan. Bocah berumur 11 tahun dan masih duduk di kelas 6 SD Desa Pethok, Kecematan Semen, Kabupaten Kediri, Jatim, yang terkenal pendiam itu tiba-tiba berperilaku sadis. Selasa (5/12), ia diketahui telah membunuh M Faisal Aminullah (6 tahun), teman sepermainannya yang masih duduk di bangku TK. Cara membunuh bocah itu pun terbilang biadab: menjerat leher dengan tali plastik dan menyayati tubuh korban sebelum meninggal. Yang menjadi korbannya adalah anak pertama pasangan Joni Dwi Cahyono (26 tahun) dan Dewi Ratnasari (22 tahun), warga Desa Pethok RT 02/03. Menurut keterangan para saksi di lapangan, Selasa (5/12) sekitar pukul 16.00 WIB korban masih terlihat bermain dengan Irfan. Namun, menjelang waktu shalat Mahgrib, Faisal tak kunjung pulang. Padahal, biasanya ia segera pulang dan berangkat mengaji di mushala. Hal itu pun membuat orang tua dan kakeknya segera mencari Faisal. Sekitar pukul 18.00 WIB, Faisal ditemukan oleh Suwardi (warga setempat), dengan keadaan sudah tak bernyawa di bagasi mobil VW di bengkel miliknya. Saat itu korban masih terjerat lehernya dan tubuhnya berdarah penuh luka sayatan. Penemuan mayat Faisal itu pun menggegerkan Desa Pathok. Tidak begitu lama polisi mengamankan Irfan untuk dimintai keterangan. Ini karena dia yang diketahui terakhir bermain dengan korban. Saat diminta keterangan polisi, Irfan sempat mengarang cerita mengenai pembunuhan itu. Irfan menyebutkan bahwa sore itu ada dua pria berboncengan sepeda motor menghampiri korban. Dua lelaki berhelm dan bercadar inilah yang menurut Irfan membunuh Fisal di bengkel Suwardi. Namun, ternyata cerita Irfan itu hanya karangan belaka. ''Setelah pemeriksaan saksi- saksi dan alibi, ternyata ada indikasi bahwa pelakunya adalah Irfan. Setelah kami tanya di Mapolres akhirnya ia mengakui sebagai pelaku,'' ujar Kapolres Kediri, AKBP Aries Wahyu Sutikno, Rabu (6/12). Irfan, lanjut Aries Wahyu, nekat membunuh korban karena merasa jengkel sering diejek. Dia juga menuturkan, saat itu korban sedang memanjat pohon kersen. Irfan meminta korban turun. Selanjutnya, pembunuhan sadis itu pun terjadi. Untuk menghilangkan jejak, pelaku pulang ke rumah ganti baju. Setelah mandi dan melepas bajunya yang belepotan darah, akhirnya mayat korban ditemukan. Namun, upaya itu sia-sia. Perilaku jahatnya tetap terbongkar. Sementara itu kebanyakan penduduk tidak percaya jika pembunuh Faisal adalah teman sepermainnya sendiri. Keluarga korban juga sangat kaget oleh kejadian tersebut. ''Saya sering melihat cucu saya bermain dengan Irfan. Saya melihat tidak ada gelagat apa-apa dengan dua bocah itu,'' kata Suhadi (57 tahun), kakek Faisal. Menurut Suhadi, Faisal masih terlihat bermain dengan teman-teman sebaya sebelum Ashar. Mereka bertiga mencari kersen di dekat bengkel. Bersama Irfan, mereka asyik memanjat pohon kersen. ''Saya tak menyangka jika Irfan yang masih kecil itu sudah menjadi pembunuh,'' tutur dia. Apalagi, ungkap Suhadi, kesehariannya Irfan tidak ada tanda-tanda sebagai bocah nakal. Ia pendiam dan penurut. ''Jadi, kami benar-benar heran. Bocah yang kelihatan baik itu, tiba-tiba saya ketahui sekarang sebagai seorang pembunuh,'' kata Suhadi yang berkali-kali mengaku heran. Para tetangga tersangka pelaku mengungkapkan bahwa Irfan termasuk bocah yang gemar melihat tayangan sinetron televisi yang sadis. Irfan setelah mengaji atau belajar selalu melihat tayangan-tayangan seperti itu. ''Mungkin, dari melihat tayangan itulah yang mempengaruhi cara berpikir Irfan ketika diejek temannya,'' kata Dewi, salah satu tetangga tersangka. Sementara itu, menurut pakar psikologi Unair Surabaya, Bagong Suyanto, pelaku pembunuhan ini lebih disebabkan oleh faktor initatif atau meniru. ''Entah lewat media apa dia melakukan peniruan itu,'' ujarnya. Menurut dia, tidak ada unsur perencanaan modus dalam kejahatan tersebut. Hal yang hampir sama juga diungkapkan Kepala Bagian Psikiatri Rumah Sakit Hasan Sadikin, Teddy Hidayat. Dia menjelaskan bahwa anak seusia Irfan, sudah punya kemampuan untuk menangkap dan meniru tayangan- tayangan yang dilihatnya. Jika selama ini terlihat diam, ungkap Teddy, kemungkinan besar, tersangka selalu memendam amarah yang dirasakannya. Makin lama, amarah itu pun terakumulasi dan sewaktu- waktu bisa meledak. Untuk kasus Irfan, dia menganggap bahwa selain sebagai tersangka, Irfan juga menjadi korban pengasuhan yang kurang lengkap. Untuk menangkal perilaku seperti itu, kata dia, sudah waktunya pihak berwenang melakukan deteksi dini anak-anak di sekolah. Mereka yang terdeteksi memiliki peluang untuk bertindak agresif atau menyimpang, perlu segera diberi treatment khusus. ''Misalnya anak yang cenderung diam, harus pelan-pelan diajari caranya untuk mengungkapkan perasaannya dengan berbicara,'' ujar dia menjelaskan. Perkembangan zaman, dinilainya membuat risiko munculnya perilaku agresif di kalangan anak-anak menjadi meningkat. Menurut dia, keluarga adalah benteng terakhir untuk menangkal pengaruh buruk yang menimpa anak-anak. Lima tahun pertama, dikatakannya, merupakan fase yang paling penting bagi pertumbuhan anak. Karena itu, dia menyeru agar para orang tua bisa benar-benar menjaga fase tersebut. ( edo/wot ) Sumber: (http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=274650 <http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=274650&kat_id=3> &kat_id=3)