SOEKARNO BERNHARDNYAH WARTAWAN SENIOR??

GODAM MEMANG PUNYAK KEJELIHAN,

dan hehehe,tengkiyuh miss Idakhouw,

dikau menulungku,buat membukak kedoknyah

ituh satu wartawan senior..

YANG KUBILANG,KOK KAMU INIH

JEBLOG BANGET SIH..KEWARTAWANANNYAH>

Mosok beritah2 sakbelah dan nyampah ituh

kau jadiken PENGOMPOR BANGSAH?

Sedangken persualan bujangnyah Kompas ituh,

kenapah di blow upnyah,sakbagae

URUSAN NASIONAL YANG BERBANGHAYAH

BUAT KONDISIH SENTIMEN NAN DANGKAL..

DENGEN NUANSAH SARA NAN KOMPAS KONTOLIK ITUH?

bener2 daku hengran,atas kecetekannyah

NALAR SAK-URANG KAMPIUNAN DI MEDAN LAGAH?

jadi tamtunyah pernyataan ASAL NYANTAPNYAH

WARTAWAN BAYARAN ULER IJOH INIH..

dari miss idahkouw, saksungguhnyalah

memberiken kredit lagih buat

PARA PEMBACAK MENINGLAE KEJEBLOGANNYAH

KUALITIH SI WARTAWAN SENIOR INIH...

kalaut maneh teh..ieu!!Mass..

salam buat miss idah!!


--- In mediacare@yahoogroups.com, "idakhouw" <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
>
> Sudah lama tidak memperhatikan komentar2 Danny Lim, namun menjadi
> kaget luar biasa ketika menemukan rekan Satrio Arismunandar 
memforward
> komentar si Lim ini (bhw poligami Soekarno tidak pernah diprotes
> masyarakat Indonesia) di milis lain --> artinya pengetahuan si Lim 
yg
> dangkal ini ditelan mentah2 saja. Wah bahaya juga yah....
> 
> Ida Khouw
> 
> -------------------
> 
> "Namun, apa yang terjadi setelah Indonesia merdeka?
> Soekarno kembali
> mengkhianati gerakan perempuan dengan melakukan
> poligami dengan Hartini.
> Sejak itu, gerakan perempuan semakin sadar bahwa
> agenda perempuan sering
> tergilas oleh kepentingan yang dianggap lebih besar,
> yaitu kepentingan
> "bangsa" (Christine Doran, Women and Nationalism,
> 1990)"
> 
> 
> Poligami dan Krisis Gerakan Islam
> 
> Yuniyanti Chuzaifah
> Mahasiswa S2 Islamic Studies (INIS) Universitas
> Leiden, Belanda
> 
> "Banyak pandangan dan perilaku keagamaan para ulama,
> kiai, dan
> gerakan-gerakan Islam di Tanah Air yang masih
> berorientasi 'laki-laki' dan
> jauh dari semangat pembelaan perempuan."
> 
> "Yang lebih ironis, justru ketika perempuan menjadi
> korban ketidakadilan
> akibat poligami --saat ia harus sengsara dan menderita
> psikis-- hukum
> Islam tidak menganggapnya sebagai sebuah persoalan."
> 
> POLIGAMI masih menjadi bahan perdebatan panjang di
> Tanah Air.
> Kelompok-kelompok Islam tekstual tetap saja berteguh
> bahwa poligami adalah
> "ajaran Islam" yang tidak bisa ditawar. Saya pun
> teringat sebuah dialog
> politik menjelang pemilu pascareformasi. Pada waktu
> itu ada beberapa
> parpol Islam yang menawarkan janji: kalau partainya
> terpilih, PP 10/74
> tentang larangan poligami bagi pegawai negeri akan
> dicabut karena
> bertentangan dengan Islam.
> 
> Saya juga kerap mendengar nada-nada heroik dari
> mubalig atau mubaligah
> yang mengatakan bahwa istri yang saleh adalah istri
> yang mau "dipoligami" .
> Di Lombok, NTB, ada kepercayaan yang diajarkan seorang
> Tuan Guru bahwa
> barang siapa rela dimadu, nanti akan m endapat bendera
> Fatimah dan masuk
> surga. Argumen lain yang juga sering dipakai adalah
> jumlah perempuan lebih
> banyak daripada laki-laki. Karena itu, untuk
> memberdayakan dan memberi
> jatah perempuan agar mendapat pasangan, poligami pun
> menjadi solusinya.
> 
> Argumen yang menyatakan bahwa Islam mengajarkan
> poligami sulit diterima.
> Adalah fakta bahwa Nabi Muhammad sendiri sampai tiga
> kali menolak memberi
> izin kepada Ali bin Abi Thalib untuk "memoligami"
> Fatimah Azzahra,
> putrinya. Hadis ini sangat valid karena p erawi-perawi
> besar, seperti
> Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tarmidzi, dan Ahmad,
> meriwayatkannya dengan
> redaksi yang sama persis.
> 
> Berbagai studi historis dan empiris memperkuat
> bantahan itu. Studi Leila
> Ahmed (Women, Gender, and Islam, 1992) tentang sistem
> perkawinan pra-Islam
> menunjukkan bahwa poligami justru berakar dari tradisi
> raja-raja yang
> bertujuan melanjutkan dinasti. Kalau istri pertama
> tidak mempunyai anak,
> seorang raja sah untuk mengambil istri berikutnya yang
> dipelihara di dalam
> harem. Contohnya, harem Raja Assyrian (abad ke-12 SM)
> yang menyimpan 40
> perempuan. Selain itu, ada juga Raja Sasanian Khusrau
> I, tidak lama sebe
> lum ditaklukkan Islam, yang mempunyai 12.000 perempuan
> di dalam haremnya.
> Dengan latar seperti itu, restriksi Islam untuk
> mengawini maksimal empat
> istri merupakan langkah revolusioner.
> 
> Namun, hasil penelitian Robertson Smith, Kinship and
> Marriage in Early
> Arabia, menemukan banyak perempuan Arab pra-Islam
> justru lebih punya
> posisi tawar karena tradisi matrilineal dan matriarkat
> yang berlaku di
> Arab ketika itu. Masyarakat Arab pra-Islam, menurut
> Smith, bahkan sempat
> mengembangkan tradisi poliandri, yaitu perempuan
> mempunyai kekuasaan untuk
> mengawini laki-laki lebih dari satu dan perempuan
> inilah yang menentukan
> siapa bapak si anak yang dikandungnya.
> 
> Motgomerry Watt dalam Muhammad at Medina (1956)
> menyebut tradisi
> matrilineal itu bergeser secara perlahan ke arah
> patrilineal beriringan
> dengan masa kelahiran Muhammad dan berlanjut pada masa
> konsolidasi Islam.
> Pertumbuhan komersial di Makkah selama abad V-VI dan
> perkembangan gaya
> hidup menetap suku Qurays mengubah pola kepemilikan
> komunal menjadi pola
> dagang individual, yaitu kekayaan diakumulasi menjadi
> harta pribadi.
> Semenjak itu, laki-laki berkepentingan untuk
> menurunkan harta kekayaannya
> kepada anak keturunannya. Proses ini memberi arti
> penting terhadap peran
> bapak atau laki-laki.
> 
> Argumen bahwa perempuan lebih banyak dari laki-laki,
> karena itu perlu
> pemberdayaan lewat jalur poligami, juga menyesatkan.
> Jumlah perempuan
> pemilih dalam Pemilu 1999 memang dilaporkan mencapai
> 57%, sedikit lebih
> besar dibanding jumlah pemilih laki-laki. T api,
> kelebihan jumlah tersebut
> sama sekali tidak serta merta merepresentasikan jumlah
> perempuan yang
> membutuhkan perkawinan untuk pemberdayaan dirinya.
> Mungkin sebagian besar
> dari jumlah tersebut adalah perempuan berusia senja,
> atau menurut kategori
> sosia l layak kawin tapi memilih tidak kawin.
> 
> Dalam pergerakan Islam di Tanah Air, debat
> soal poligami juga
> sudah menjadi sejarah panjang. Isu ini bahkan sempat
> menjadi pemicu
> konflik serius antara organisasi Islam dan non-Islam
> sejak masa kolonial.
> Pemerintah Belanda hampir mengegolkan Undang-Undang
> (UU) Antipoligami ini. Tapi, gerakan perempuan
> menyadari bahwa Belanda
> tengah melancarkan strategi devide at impera, sehingga
> mereka berkompromi
> dengan Soekarno untuk menunda pengesahan undang-undang
> tersebut demi
> mengeliminasi konflik antara kelompok Islam dan
> non-Islam, serta
> berkonsentrasi kepada pengusiran penjajahan. Soekarno
> menengahi dengan
> memberi janji: apabila imperialisme terusir, persoalan
> perempuan akan
> selesai.
> 
> Namun, apa yang terjadi setelah Indonesia merdeka?
> Soekarno kembali
> mengkhianati gerakan perempuan dengan melakukan
> poligami dengan Hartini.
> Sejak itu, gerakan perempuan semakin sadar bahwa
> agenda perempuan sering
> tergilas oleh kepentingan yang dianggap l ebih besar,
> yaitu kepentingan
> "bangsa" (Christine Doran, Women and Nationalism,
> 1990).
> 
> Isu poligami dan nasib perempuan pada masa Orde Baru
> lebih parah. PP 10/74
> yang melarang poligami terhadap pegawai negeri
> disahkan berdasarkan
> argumen yang jauh dari kepentingan pemberdayaan
> perempuan. Argumen yang
> berkembang di balik penerbitan PP ini ad alah agar
> pegawai negeri tidak
> korupsi. Alasannya, apabila pegawai negeri
> diperbolehkan kawin lebih dari
> satu, tingkat kebutuhan akan meningkat dan berpotensi
> untuk korupsi.
> Dengan terkuaknya banyak kasus istri simpanan para
> pejabat publik, juga
> dengan ak utnya korupsi selama Orde Baru, hal itu
> menunjukkan bahwa PP
> 10/74 pada praktiknya telah gagal, baik untuk
> melindungi perempuan maupun
> mengikis budaya korupsi.
> 
> Namun, kegagalan itu jelas bukan an-sich kesalahan
> rezim pemerintahan.
> Debat terakhir soal poligami yang dipicu tuntutan dari
> organisasi
> Persatuan Islam menunjukkan bahwa kesalahan lebih
> banyak diidap gerakan
> Islam. Persatuan Islam tidak sendiri. Banyak p
> andangan dan perilaku
> keagamaan para ulama, kiai, dan gerakan-gerakan Islam
> di Tanah Air yang
> masih berorientasi "laki-laki" dan jauh dari semangat
> pembelaan perempuan.
> 
> Persyaratan poligami yang tertuang dalam Kompilasi
> Hukum Islam (KHI) bisa
> disebut sebagai contoh. Di situ disebut tiga syarat
> dibolehkannya
> poligami: istri tidak dapat menjalankan kewajiban
> sebagai istri, istri
> mendapat cacat badan atau penyakit yang tida k dapat
> disembuhkan, dan
> istri tidak dapat melahirkan keturunan.
> 
> Di bagian definisi kewajiban istri yang tertuang dalam
> Pasal 83 KHI juga
> tercantum bahwa kewajiban utama seorang istri ialah
> berbakti lahir dan
> batin kepada suami di dalam batas-batas yang
> dibenarkan hukum Islam.
> Selain itu, istri pun harus menyelenggarak an dan
> mengatur keperluan rumah
> tangga sehari-hari dengan sebaik-baiknya.
> 
> Berbagai syarat dan definisi di atas jelas tidak adil
> buat perempuan.
> Posisi perempuan menjadi sangat rentan. Justru karena
> sakit, cacat, atau
> tidak bisa berketurunan, yang notabene bukan
> keinginannya, KHI justru
> mengesahkan seorang perempuan untuk "dipol igami".
> Bahkan, hal yang sama
> juga sah dilakukan bila si istri dianggap tidak mampu
> menjalankan
> kewajibannya sebagai istri. Padahal, definisi
> kewajiban itu sendiri sangat
> bias gender dengan ukuran-ukuran yang mendomestikasi
> dan menyubordinasikan
> perempuan .
> 
> Yang lebih ironis, justru ketika perempuan menjadi
> korban ketidakadilan
> akibat poligami --saat ia harus sengsara dan menderita
> secara psikis--
> hukum Islam tidak menganggapnya sebagai sebuah
> persoalan. Padahal, banyak
> kasus yang bisa dijadikan contoh betap a seorang
> perempuan hilang
> kepercayaan diri, hilang ingatan, hilang ketahanan
> tubuh, dan hilang nyawa
> karena korban poligami. Sayangnya, terhadap semua
> korban itu, hukum Islam
> maupun hukum positif tidak bisa menjerat sang
> laki-laki atau sang suami
> sebagai pelaku kejahatan.
> 
> --- In mediacare@yahoogroups.com, Danny Lim <danny.lim@> wrote:
> >
> > SOEKARNO DAN BERNHARD
> > Oleh Danny Lim
>


Kirim email ke