DL - Ada dua kalimat penting untuk diamati di artikel di bawah ini: 1. ..... gandum yang dijadikan tepung terigu hampir seluruhnya harus diimpor. Beras sebagai makanan pokok rakyat masih diimpor. Demikian pula kedelai, jagung, dan gula terus diimpor. 2. ....... dijalankan banyak negara yang pertaniannya maju, seperti China, Taiwan, India, Vietnam, Jepang, Amerika Serikat, dan negara-negara di Eropa. Negara-negara itu membela habis-habisan petaninya, jauh berbeda dengan Indonesia yang hanya sibuk di teori dan retorika.
Bila Indonesia tidak mau melaksanakan yang nomor dua, ya jangan mengharap yang nomor satu. Bila nomor satu tidak dikuasai, ya Indonesia tidak punya bargaining position untuk berbicara di tingkat dunia. Kalau memaksakan diri untuk berbacot juga, ya paling-paling ditertawakan dunia luar, ihik ihik. SUARA PEMBARUAN DAILY -------------------------------------------------------------------------------- "Land Reform" Harus Segera Dijalankan Pembangunan rumah yang menggunakan lahan pertanian kian marak seperti yang terjadi di Desa Sindang Mulya, Cibarusah, Kabupaten Bekasi. Sejumlah kalangan mengusulkan agar petani-petani kecil diberikan lahan untuk dijadikan areal pertanian yang menguntungkan. ekstensifikasi lahan pertanian, terutama persawahan, yang terukur harus dilakukan. Itulah pesan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kepada para gubernur, bupati, dan wali kota. Pemerintah menyediakan sekitar sembilan juta hektare lahan tidur yang bisa dimanfaatkan para petani. Namun, yang sebenarnya ditunggu rakyat bukan hanya perhatian dan retorika tapi implementasi. Ketua Umum Dewan Tani Indonesia (DTI) Ferry Juliantono dan Koordinator Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) Witoro, menyatakan, sangat mendukung penyediaan lahan untuk petani sebagai implementasi dari reforma agraria yang sudah lama diusulkan. Namun, penetapan lahan itu harus jelas, termasuk lokasi dan sistem kepemilikannya, agar tidak menimbulkan masalah di kemudian hari. Mereka mengusulkan segera dijalankannya reforma agraria maupun land reform, antara lain berupa pemberian lahan kepada petani kecil sebagai hak guna usaha untuk digarap menjadi lahan pertanian yang menguntungkan. Sebenarnya, komitmen dari pemerintah sudah ada walaupun awalnya ragu-ragu karena trauma masa lalu. Pemerintah sudah memiliki Undang-undang Agraria Tahun 1960 yang mengatur soal land reform. Undang-undang yang bagus itu pernah disalahgunakan pada tahun 1965 untuk menyerahkan semua lahan milik orang lain ke petani, sehingga terjadi kerusuhan. Undang-undang ini masih relevan dan bisa diterapkan karena menguntungkan petani kecil serta ketahanan pangan nasional. Ferry mengungkapkan, TAP MPR IX Tahun 2001 juga sudah mengamatkan kepada pemerintah untuk melaksanakan pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam untuk kemakmuran rakyat. Badan Pertanahan Nasional (BPN) bersama instansi terkait juga sudah menyusun draf Keputusan Presiden (Keppres) tentang penetapan objek dan subjek serta pembaruan agraria. Keppres itu diharapkan dapat segera diberlakukan agar permasalahan lahan pertanian tidak semakin merugikan semua pihak. Petani memang tidak bisa dilarang menjual tanahnya, apalagi harga hasil pertanian selalu ditekan. Sebaliknya, pemilik lahan tidak bisa dipaksa harus memanfaatkan lahannya untuk menghasilkan tanaman pangan yang kerap tidak menguntungkan. Objek land reform antara lain mencakup tanah yang dikuasai negara namun tidak produktif, serta tanah yang dikuasai pribadi tapi tidak produktif. Objek land reform juga mencakup tanah yang dikuasai perusahaan, baik swasta maupun BUMN namun tidak produktif. Tanah terakhir inilah yang akan dimanfaatkan untuk lahan pertanian abadi dan dibagikan kepada petani penggarap. Ferry dan Witoro mendesak segera dilaksanakannya reforma agraria dan land reform jika Indonesia ingin membangun pertanian yang kuat dan memakmurkan rakyat. Hal ini sudah dijalankan banyak negara yang pertaniannya maju, seperti China, Taiwan, India, Vietnam, Jepang, Amerika Serikat, dan negara-negara di Eropa. Negara-negara itu membela habis-habisan petaninya, jauh berbeda dengan Indonesia yang hanya sibuk di teori dan retorika. Alih Kepemilikan Ferry juga mengingatkan, selain alih fungsi lahan juga terjadi alih fungsi kepemilikan. Di Karawang, misalnya, sekitar 50 persen sawah yang terhampar di daerah lumbung padi nasional itu kini dimiliki oleh orang kota yang tidak peduli pada pertanian. Lahan persawahan di Karawang dimiliki orang-orang kaya Jakarta hanya untuk investasi dan sewaktu-waktu bisa berubah fungsi menjadi lahan perkantoran, perumahan, industri, dan perdagangan. Salah satu indikator petani Karawang bukan lagi pemilik lahan tapi hanya sebagai penggarap adalah meningkatnya penerima program beras untuk masyarakat miskin (raskin). Sekarang, Karawang menjadi penerima raskin terbesar di Jawa Barat. Hal seperti ini kemungkinan terjadi di daerah lain. Hal itu adalah ironi yang harus menjadi perhatian presiden dan kabinetnya agar Indonesia tidak terperosok lebih dalam, sebagai negara agraris berlahan subur, yang akhirnya menjadi pengimpor bahan pangan terbesar di dunia. Faktanya, gandum yang dijadikan tepung terigu hampir seluruhnya harus diimpor. Beras sebagai makanan pokok rakyat masih diimpor. Demikian pula kedelai, jagung, dan gula terus diimpor. Akhirnya dimunculkan program-program yang menguras uang rakyat, antara lain subsidi langsung maupun tidak langsung. Padahal, subsidi pupuk misalnya, belum tentu dinikmati mereka yang disebut petani kecil pemilik lahan, karena 70 persen dari mereka adalah buruh tani. Sebagian lagi hanya memiliki lahan di bawah satu hektare. Rata-rata kepemilikan tanah petani di Indonesia hanya 0,25 hektare, yang dalam skala ekonomi jelas tidak menguntungkan. [S-26] -------------------------------------------------------------------------------- Last modified: 27/11/06
27pemb1t.gif
Description: GIF image