Siaran Pers 13 Desember 2006 JATAM WALHI
KELIR
"BYE BYE BUYAT" MASUK NOMINASI FILM TERBAIK FFI 2006
Film dokumenter selama ini cenderung terkesan membosankan, meskipun sarat
fakta. Bahkan tidak jarang mengungkap kejadian yang penting diketahui
publik namun belum tersampaikan lewat media mainstream. Banyaknya festival
yang memberi ruang pada film dokumenter menjadi tantangan bagi para sineas
film untuk menghasilkan karya yang tidak saja sarat makna, namun juga
diterima publik. Salah satunya adalah Film Bye Bye Buyat (B3), yang pada
tanggal 16 Nopember 2006 diumumkan sebagai salah satu nominasi film
dokumenter terbaik di ajang Fetival Film Indonesia 2006.
Membuat karya dokumenter yang enak ditonton bukan pekerjaan mudah mengingat
film dokumenter biasanya terinspirasi oleh suatu kejadian tertentu, yang
boleh jadi sama sekali tidak ada urusannya dengan selera 'pasar hiburan'.
Yang membedakan antara film, dalam konteks ini adalah film dokumenter
dengan laporan jurnalistik atau sekedar dokumentasi, adalah bukan sekedar
fakta, tetapi ada cara bertutur cerita (storytelling) dengan struktur film
sebagai alat terkuatnya.
Di sinilah sutradara muda, Erik Wirawan dan para pembuat film Bye Bye Buyat
berusaha membuat film ini memiliki karakter yang kuat, serta mengolahnya
menjadi sesuatu yang layak ditonton. Bye Bye Buyat yang diproduksi bersama
oleh JATAM dan KELIR Nusantara baru-baru ini mendapatkan penghargaan
sebagai nominator di dua festival yaitu The American Conservation Film
Festival 2006 dan Festival Film Indonesia (FFI) 2006.
Melalui Bye-bye Buyat, film berdurasi 35 menit ini warga Buyat ingin
memberikan pesan agar publik selalu waspada terhadap resiko buruk industri
pertambangan. Persoalan kemudian muncul ketika kalangan industri tambang
menyatakan karya ini sebagai propaganda sepihak dibandingkan sebuah
dokumentasi otentik yang layak ditampilkan kepada publik. Film ini pun
harus berhadapan dengan pencitraan perusahaan (corporate imaging) oleh
industri tambang.
Ranah film mulai menjadi media pencitraan perusahaan. Mulai dengan
mensponsori beberapa ajang festival dan perlombaan film dokumenter hingga
pembuatan film. Satu yang pasti, dengan banyaknya pengungkapan kasus
pertambangan maka semakin besar pula anggaran perusahaan untuk bidang
corporate imaging harus dikucurkan. Diantaranya untuk membuat
seminar-seminar, mensponsori event-event olahraga, hiburan, film, menyewa
konsultan PR, mantan jurnalis, dan juga tentunya para filmmaker. Cara ini
lebih murah dibanding harus mengakui bahwa bisnis mereka telah merugikan
rakyat dan menghancurkan lingkungan setempat. Dan memastikan bahwa mereka
akan bertanggung jawab untuk itu.
Kontak Media : Adi/JATAM 081511655911, Erik/KELIR
081511536933, Torry/WALHI 0811383270
Catatan untuk Editor:
1. Karya film Dokumenter, sedikit berbeda dengan laporan jurnalistik.
Menurut Jhon Grierson, film dokumenter adalah creative treatment of
actuality, yang pada akhirnya bukan hanya berupa fakta-fakta yang berada di
permukaan, tetapi harus lebih dalam mengambil angle baru dari sebuah
masalah yang cukup lama. Tapi bisa juga mengambil persoalan baru yang belum
pernah diangkat. Begitu banyaknya subjek dan persoalan yang ada
disekeliling kita, mau tidak mau kita harus menentukan pilihan dan sikap.
Pilihan tersebut dapat ditafsirkan pada hal-hal teknis produksi film
seperti pengambilan gambar hingga tahap editing, terutama dalam memilah
shot dan menentukan juxtaposisi shot. Penentuan sikap dan posisi dari
seorang pembuat film adalah kunci dari fokus penceritaan sebuah film,
tetapi perlu diingat bahwa yang membedakan antara film, dalam konteks ini
adalah film dokumenter dengan laporan jurnalistik atau sekedar dokumentasi,
adalah bukan sekedar fakta, tetapi ada cara bertutur cerita (storytelling)
dengan struktur film sebagai alat terkuatnya.
2. Setidaknya persoalan korporasi yang menganggap film yang tidak mereka
kehendaki dan dianggap propaganda yang menyudutkan mereka, sebenarnya telah
terjawab dengan sendirinya. Karena, mereka pun menggunakannya sebagai
perangkat corporate imaging, baik dengan menggunakan film cerita,
dokumenter, bahkan terang-terangan dengan menayangkan iklan di televisi,
yang mampu menjangkau pemirsa lebih luas. Sedangkan film-film yang
menentang perilaku dan kebijakan korporasi tersebut justru berada pada
ruang-ruang terbatas. Selain itu, kerja-kerja korporasi juga menggunakan
agen-agen media dan budaya yang mereka sebar sehingga film-film yang kontra
dengan mereka kemudian akan dibatasi, dengan cara apapun.