Siaran Pers JATAM, 16 Desember 2006

MENJUAL INDONESIA LEWAT RUU PENANAMAN MODAL

Penanaman modal, khususnya modal asing akan segera mendapat “karpet merah”, melalui RUU Penanaman Modal (RUUPM). RUU berisi 23 pasal ini, hanya menitikberatkan bagaimana mengundang pemodal sebanyak-banyaknya dan melayani mereka bak majikan. Berbagai kemewahan disediakan. Mulai kemudahan berbagai bentuk pajak, pembebasan lahan, bebas memindahkan modalnya kapan dan dimanapun, hingga bebas nasionalisasi Sementara biaya eksternalitas penanaman modal selama ini, diantaranya ribuan konflik lahan, pelanggaran HAM, perusakan lingkungan dan pemiskinan selama ini, tidak sedikitpun menjadi rujukan penyusunan RUU PM oleh pemerintah. Maupun pembahasannya oleh DPR RI.

Tahun 2005 jumlah modal asing yang masuk ke dalam negeri mencapai USD 8,55 miliar yang dinvestasikan pada 785 proyek. Selama Januari hingga Oktober 2006, jumlah modal asing bertambah USD 4,48 miliar yang dinvestasikan pada 770 proyek. Anehnya kondisi ini selalu di sampaikan kepada publik sebagai pertumbuhan investasi yang terus merosot. Bahkan untuk menggalang invetasi, setidaknya telah 34 kali kunjungan keluar negeri dilakukan SBY – JK tahun ini. Perbaikan investasi dijadikan alasan mempercepat keluarnya RUU PM, setidaknya pada Februari 2007 nanti. Dengan alasan yang sama Bank Dunia juga ikut mendesak RUU ini segera dikeluarkan.

Hitung-hitungan terhadap manfaat modal, khususnya modal asing selama ini patut dipertanyakan. Apalagi pengurus negara tak pernah menghitung biaya eksternalitas, berupa biaya dan nilai oportunitas sosial dan lingkungan yang dibebankan kepada rakyat di kawasan dimana penanaman modal beroperasi. Khususnya investasi industri ekstraktif yang menjadi andalan negara sejak lama. Biaya eksternalitas bisa dengan mudah dijumpai hampir disemua titik-titik investasi industri ekstraktif dalam bentuk pemiskinan, pelanggaran HAM dan perusakan lingkungan. Mulai dari Exxon Mobil di NAD, Laverton Gold di Sumatera selatan, Chevron, Rio Tinto dan KPC di Kalimantan timur, Arutmin di Kalimantan selatan, Aurora Gold di Kalimantan tengah, PT INCO di Sulawesi selatan, Expan Tomori di Sulawesi tengah, Antam Pomalaa di Sulawesi tenggara. Juga Newmont di Sulawesi utara dan Sumbawa, PT Arumbai di Nusa Tenggara Timur, juga Newcrest, PT Anggai dan PT Elka Asta Media di Maluku utara, Pertamina di Babelan Bekasi, Lapindo di Sidoarjo hingga Freeport dan Beyond Petroleum (BP) Tangguh di Papua.

Segala upaya yang dilakukan pengurus negara untuk mengundang investasi mengekstraksi bahan tambang dan migas sebesar-besarnya. Hingga tahun 2005 terdapat 1830 ijin pertambangan mineral dan batubara serta sedikitnya 202 blok migas, yang sebagian besar dikuasai asing. Dari 66 blok migas yang berproduksi sebagian besar diekspor hanya untuk melipat gandakan devisa negara. Tindakan ini telah melahirkan krisis energi yang berujung merugikan rakyat. Kontrak-kontrak jangka panjang migas telah melahirkan krisis migas di NAD yang ditandai dengan tutupnya PT Kertas Kraft Aceh, PT Pupuk Iskandar Muda dan Asean Aceh Fertilizer. Yang tak lama kemudain disusul krisis gas di Kaltim dan dikawasan lainnya. Belakangan krisis listrik juga terjadi menyusul krisis gas ini, menguatkan bukti rapuhnya ketahanan energi bangsa ini.

Pengurus negara lebih suka menerapkan kebijakan suku bunga relatif tinggi. Akibatnya investasi portofolio menjadi pilihan pemodal dan menjadikan Indonesia sebagai ajang spekulasi investasi-investasi jangka pendek. Terbukti jumlah modal yang bergerak di Bursa Saham Jakarta hingga akhir 2005 mencapai 801,25 triliun, dengan lebih dari 4 juta transaksi, yang dijalankan oleh 336 emiten. Angka ini 10 kali lebih besar dari jumlah investasi asing yang masuk pada tahun 2005. Kondisi ini membuat perekonomian Indonesia rentan terhadap transaksi spekulasi dan perpindahan uang keluar.

Bagaikan keledai bodoh yang siap jatuh ke lubang yang sama. Tak sedikitpun pelajaran dari kasus-kasus dan masalah yang terjadi sepanjang 40 tahun, sejak berlakunya UU Penanaman Modal Asing tahun 1967 diatas menjadi rujukan pemerintah dan DPR RI untuk melakukan reorientasi penyusunan RUU PM. Dimana hampir semua pasalnya sangat terbuka agar dapat menarik modal sebanyak-banyaknya. Tak ada perlakuan berbeda antara investasi asing dan domestik, tak ada pembatasan penguasaan sektor publik. Tidak ada pengaturan investasi dikaitkan dengan national interest. Termasuk pengaturan yang ditujukan untuk pengembangan dan perlindungan sektor, hingga dikaitkan dengan pengembangan wilayah, alih teknologi hingga pengembangan UKM. Bahkan semangat liberalisasi yang berlebihan melahirkan pasal-pasal sangat tegas tentang peluang investor melakukan transfer dan repatriasi secara bebas dan jaminan bebas nasionalisasi. Melihat subtansi RUU PM yang disusun pemerintah dan mengikuti rapat pembahasannya di Komisi VI DPR RI, terasa sekali pengurus negara hanya bersiap mengundang pemodal sebesar-besarnya, tanpa kehendak mengaturnya.

Oleh karenanya, JATAM mendesak pemerintah dan DPR RI menghentikan sementara pembahasan RUU PM. Dan selanjutnya, DPR RI meminta pemerintah mengajukan RUU PM dengan reorientasi baru dan proses pelibatan publik yang mencukupi. Sementara pemerintah harusnya segera melakukan reorientasi penanaman modal di Indonesia. Penanaman modal kedepan tidak boleh lagi mengancam keselamatan, produktivitas rakyat dan lingkungan serta membahayakan ketahanan negara. [selesai]

Kontak Media : Siti Maimunah hp.  0811920462,  Jevelina Punuh hp. 08156022337

Reply via email to