KOMPAS - Selasa, 02 Januari 2007
Ambisius tapi Tidak Muluk-muluk Nasrullah Nara China berambisi menjadi negara adikuasa, paling tidak dalam bidang ekonomi. Berpenduduk 1,3 miliar jiwa atau terbesar di dunia, Negeri Tirai Bambu tersebut terus menanamkan pengaruhnya di berbagai belahan dunia. Pemikir dan pemimpin karismatik China, Mao Zedong, sadar bahwa penduduk yang besar bisa berarti pisau bermata dua: jadi pendorong atau malah beban kemajuan. Namun, yang pasti, komitmen di bidang pendidikan yang dicanangkan sejak dua dekade lalu, kini konsisten dijabarkan oleh pemerintah dan warganya untuk memberdayakan penduduk tanpa mimpi muluk-muluk. Zhou Dan (17) adalah salah satu dari 1,3 miliar penduduk China yang sadar akan hal itu. Sebagai calon angkatan kerja, gadis remaja asal Tibet itu migrasi ke Beijing untuk menyiapkan diri sebagai calon pekerja profesional. Tak ingin mewarisi profesi ayah-bundanya, Han Zei-Zhou Hung Mao, yang hidup sebagai peternak di hamparan gurun, Zhou Dan giat belajar kecakapan hidup berupa keterampilan sulaman dan jahit-menjahit di Sekolah Kejuruan Seni dan Budaya Nasional Beijing. Bersama 1.700 siswa lainnya dan di bawah pengasuhan 200 guru, Zhou juga belajar merakit hantaran perangkat pesta dan suvenir. Sekolah yang juga dikenal sebagai Yanjing Professional Cultural School Beijing tersebut adalah salah satu obyek kunjungan rombongan Direktorat Pendidik dan Tenaga Kependidikan Pendidikan Non-Formal (PTK-PNF) Depdiknas ke China, pertengahan Desember 2006. Melibatkan para mitra Direktorat PTK-PNF, termasuk asosiasi profesi dan birokrat pendidikan luar sekolah dari daerah-daerah, rombongan mengunjungi berbagai institusi di Beijing dan Guangzhou. Tujuannya, membuka wawasan akan pentingnya sertifikasi, standardisasi, penajaman substansi, dan profesionalisme tenaga pendidik dan kependidikan nonformal menyongsong era globalisasi. Dipimpin Direktur PTK-PNF Erman Syamsuddin, rombongan juga mengunjungi Sekolah Unggulan Nomor 39 Beijing, Hanban (Badan Internasional Bahasa Mandarin), Universitas Teknologi China Selatan, Universitas Jinan, Pusat Perawatan Kesehatan Tradisional, serta Asosiasi Kerja Sama Internasional untuk Pendidikan. "Pemangku kepentingan harus bisa melihat pentingnya mutu dan relevansi pendidikan berpijak pada kehidupan nyata," ujar Nasrullah Yusuf, salah satu ketua asosiasi profesi terkait. Budaya dan ekonomi Mendengar embel-embel "kultural" di sebuah sekolah di pusat Kota Beijing, seketika muncul bayangan akan kentalnya ajaran-ajaran bermuatan budaya adiluhung Tiongkok. Ternyata meleset. Bertitik berat pada aspek budaya, tidak berarti Yanjing Professional Cultural School Beijing mengedepankan aspek budaya dan menafikan aspek-aspek teknis. Ajaran-ajaran budaya adiluhung Tiongkok bahkan hampir tak ditemukan dalam pembelajaran di kelas. Ini karena, materi semacam etos kerja keras, disiplin, dan antikorupsi sudah dengan sendirinya terajarkan dari kehidupan asrama hingga aktivitas di lingkungan sekolah. Begitu pun kesadaran akan penampilan fisik yang tangguh sudah menjadi "makanan" sehari-hari. Semua sekolah di China mewajibkan muridnya latihan olahraga sejam sebelum pelajaran dimulai. Soal-soal teknis, taruhlah seperti urusan masak- memasak, ikut menjadi salah satu bagian penting yang harus didalami oleh siswa, di samping menekuni bidang seni budaya. "Semua aspek kehidupan tak lepas dari estetika yang berakar- berurat pada budaya, seni, dan tradisi. Itu kemudian berimbas pada kegiatan ekonomi yang menopang penghidupan manusia," papar Fan Hong, wakil kepala sekolah tersebut. Penjelasan itu menegaskan bahwa kebudayaan dan ekonomi hendaklah bersinergi menopang kehidupan. Kebudayaan adalah jembatan bagi manusia untuk mengaktualisasikan diri dan kehidupannya. "Pendidikanlah kuncinya," ujar Fan Hong, perempuan yang menekuni profesi guru sejak tamat ilmu kependidikan di Institut Politik Pemuda China tahun 1990. Fan Hong mengarahkan siswanya untuk menyuguhkan makanan dan minuman hasil kreasi siswa. Tamu bahkan disambut dengan seni pertunjukan berupa tari, kungfu, dan rebana yang mencerminkan kesenian etnik minoritas seperti komunitas Muslim. Meski belum profesional, secara bergilir kelompok pertunjukan di sekolah tersebut kerap diminta mengisi acara- acara pementasan seni budaya di berbagai gedung kesenian. Komitmen pendidikan Tujuan umum pengembangan pendidikan di China tak lepas dari prinsip-prinsip dasar pembangunan ekonomi. Kerangka dasar sistem pendidikan disesuaikan dengan keperluan gerakan modernisasi sosialis, dan diarahkan pada tuntutan abad ke-21 dengan merefleksikan karakteristik dan nilai-nilai Tiongkok. Hal itu meletakkan hubungan yang jelas antara pendidikan dan pembangunan ekonomi. Juga tercermin bahwa pengembangan ekonomi bergantung pada kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta peningkatan mutu angkatan kerja. Komitmen itu dijabarkan melalui pekerjaan-pekerjaan praktis agar terjamin pengembangan moral, intelektualitas serta fisik para pelakunya sebagai generasi penerus. Bagaimana mendidik 1,3 miliar penduduk menjadi potensi untuk mewujudkan sebagai negara adikuasa, adalah tantangan yang sedang dijawab oleh Pemerintah China. "Kuncinya, tidak semua peserta didik harus jadi teknokrat, apalagi muluk-muluk jadi politisi," ungkap Arianto Surojo, Sekretaris III Bidang Sosial dan Budaya Kedubes RI di Beijing. Pernyataan Arianto merupakan cerminan atas maraknya pendidikan teknik dan kejuruan, atau sejenisnya, di China sejak tahun 1980-an sampai sekarang. Generasi muda yang kini menjalani pendidikan untuk perbaikan taraf hidup tidak mendewakan universitas dan muluk-muluk berpikir jadi pemikir, politisi, lalu mengincar kursi di lembaga pemerintah. Kesempatan untuk memperbaiki taraf hidup terbuka di semua sektor swasta tanpa harus berjejal-jejal ikut tes pegawai negeri. Seorang pemuda dari daerah tertinggal, seperti Mongol, kini untuk "maju" tak harus masuk SMA atau universitas. Bila perlu, tanpa sekolah formal pun dia bisa membekali diri dengan keterampilan yang sesuai kebutuhan masyarakat dan lekat dengan akar tradisi. Contohnya, pusat- pusat pertunjukan tari, kungfu, dan opera di Beijing, Guangzhou, dan Senzhen, lebih banyak dihuni murid yang menyerap ilmu di kuil-kuil tradisional. Aksi akrobatik mereka diakomodasi oleh perusahaan biro perjalanan untuk disuguhkan kepada wisatawan asing dan domestik. Minat kawula muda China untuk menekuni pendidikan teknik, kejuruan—formal maupun nonformal—terus meningkat. Tahun 1990, jumlah siswa pada seluruh jenis sekolah teknik dan kejuruan di China mencapai 6,048 juta, 45,7 persen dari keseluruhan siswa pada lembaga setingkat. Jumlah itu empat kali lipat dibandingkan awal 1980- an. Tahun 2000-an ini diperkirakan perbandingan rasio antara siswa sekolah umum dan kejuruan, teknik—atau sejenisnya—sudah 40:60 atau 30:70. Selain berpenduduk terbesar , China juga merupakan salah satu negara terluas di dunia. Wilayah seluas 9,7 juta kilometer persegi ini terhampar di Asia Timur sampai bersinggungan dengan negara- negara Eropa Timur, termasuk negara-negara pecahan Uni Soviet. Tak aneh jika ideologi Marxisme-Leninisme ikut mewarnai iklim sosial politik, ekonomi, dan budaya negeri ini. Tokoh panutan seperti Mao Zedong sadar betul bahwa penduduk dan wilayah yang terbesar di dunia bisa bagaikan pisau bermata dua. Jika salah kelola justru bisa berpaling jadi bumerang dan membuat China hanya jadi ladang bulan-bulanan kapitalisme Barat. Paman Mao tak ingin rakyatnya terpuruk. Dan, sebagaimana sifat orang Tiongkok untuk menghormati tokoh dan pemimpin masa lalu, Pemerintah Republik China—melalui Departemen Pendidikan setempat—berkomitmen menjadikan pendidikan sebagai sarana pemberdayaan masyarakat di semua sektor. Semua layanan pendidikan dibiayai oleh negara, terutama menyangkut pembiayaan dan manajemen. Kontrol sosialisme menjadikan pungutan dari masyarakat hanya bersifat pendukung. Namun, urusan substansi dan muatan pendidikan diserahkan kepada sekolah. Berbeda dengan di Indonesia, di mana semangat otonomi membuat negara melepaskan tanggung jawabnya. Akibatnya, sekolah kebablasan bergantung pada pungutan dari masyarakat. Etos dan karakter Komitmen tak hanya tampak dalam bidang ekonomi, yang kemajuannya relatif terukur. Dalam bidang-bidang yang tak terukur—seperti etos, moral, dan karakter—pun China tak ketinggalan. Setidaknya itu tampak dalam satu-dua tahun terakhir di tengah pesatnya persiapan negara itu jadi tuan rumah Olimpiade 2008. Tak hanya pembangunan fisik berupa stadion dan perkampungan atlet yang menjulang. Transformasi cabang olahraga pun sangat pesat. Siaran televisi, khususnya saluran olahraga, hampir tiap malam menyiarkan persiapan atlet China dalam cabang rugbi dan basket. Dua cabang yang selama ini sangat populer di Amerika Serikat, ingin ditumbuhkan di China. Institusi pendidikan olahraga prestasi pun mengontrak pelatih dari AS. "Lewat olahraga yang mengglobal, bisa ditanamkan dalam alam bawah sadar penduduk dunia bahwa China adalah adikuasa sejati," ujar Yi Yaoyong, salah satu wakil dekan dari Universitas Teknologi China Selatan. Kiranya tak salah jika kita perlu banyak berguru ke China. Kerja sama pengajaran bahasa Mandarin sebagai bagian transformasi budaya, misalnya, hendaknya tidak sebatas dalam pendidikan formal seperti yang telah berlangsung di SMA dan sejumlah perguruan tinggi dalam 2-3 tahun terakhir. Sasaran pengiriman relawan bahasa Mandarin dari China perlu diperluas ke lembaga pendidikan nonfomal, tanpa terbatas pada SMA dan universitas tertentu. Bahasa Mandarin sudah menjadi bahasa perdagangan dan pergaulan internasional. Ketulusan Pemerintah China untuk mengirimkan relawannya tanpa digaji, akankah dibiarkan mubazir? Itu bergantung pada komitmen pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan para pemangku kepentingan di negeri ini...