--- Budi Sucahyo <budi_sucahyo@ ...> wrote:

Cerita di Balik "Iklan Cover Belakang" Majalah Forum Keadilan

Entah sudah berapa edisi majalah Forum Keadilan
memajang "iklan satu halaman" yang ditempatkan di
cover belakang majalah (padahal sebelumnya “iklan” itu
telah muncul di halaman dalam). Kalau Anda sesekali
melihat majalah itu, cobalah tengok dan perhatikan
“iklan” yang dimaksud. Ya. Sebenarnya itu bukanlah
iklan komersial. Itu hanyalah sebuah “iklan” promosi
majalah ini. “Masih Banyak Tunggakan Hukum Belum
Diselesaikan” . Begitu kalimat di atas. Lalu,
terpampang sebuah cover majalah Forum Keadilan No.
10/26 Juni-2 Juli 2006. Dalam cover itu hanya ada
sebuah foto besar Gunawan Yusuf. Lalu, sebuah judul
yang bernada provokasi, “The King of Crime”.

Sekilas, tak ada yang istimewa dari “iklan” itu.
Namun, bagi saya, justru ini membuat tergelitik.
Mengapa “iklan” itu yang muncul (atau dengan kata lain
pengelola Forum memang sengaja membuat dan untuk
dimuat) secara berulang-ulang— tentu mungkin karena
majalah itu tidak mendapatkan iklan display lainnya
(tetapi kok harus iklan yang itu?). Kedua, mengapa
harus ditampilkan di cover belakang yang notabene
adalah halaman yang pasti dilihat pembaca (karena itu
harga iklan di halaman ini cukup mahal)? Tentu,
maksudnya agar iklan itu menarik perhatian orang.
Perlu pula dipersoalkan, dari segi etika jurnalistik,
judul yang dibuat pun sudah menjustifikasi, “The King
of Crime”. Apakah judul seperti ini yang diajarkan di
dunia jurnalistik?

Terlepas dari persoalan “layak tidaknya iklan” itu
(sudah pasti dilihat dari sisi manapun “iklan promosi”
tersebut sangat tidak layak), ternyata selidik punya
selidik “penampakan” iklan secara terus menerus di
majalah itu punya cerita tersendiri. Kisah ini saya
peroleh dari kalangan dalam majalah Forum Keadilan itu
sendiri. Jadi, pengelola Forum Keadilan memang sengaja
memajang iklan promosi itu dengan maksud untuk
mendiskreditkan alias “memeras” seseorang yang
berkaitan dengan sang “King of The Crime” tersebut.

Judul cover “King of Crime” majalah Forum Keadilan itu
adalah laporan utama majalah itu pada Juni 2006.
Munculnya cover story itu berawal ketika penanggung
jawab redaksi majalah Forum Keadilan, Priyono B.
Sumbogo, dihubungi oleh seseorang yang meminta agar
kasus penggelapan pajak PT Makindo Tbk tidak
diekspose. Orang tersebut menjanjikan imbalan yang
cukup menggiurkan, Rp 400 juta jika Majalah Forum
Keadilan tidak menulis kasus tersebut.

Tawaran orang itu tidak serta merta diterima. Priyono
B. Sumbogo malah meminta lebih. Penanggung jawab
redaksi yang pernah bekerja di majalah Tempo, Gatra,
Gamma, ini menawar Rp 500 juta. Weleh…weleh…Rupanya,
sang penanggung jawab redaksi ini ingin mencari
keuntungan sebesar-besarnya. Kesepakatan tidak
tercapai.

Setelah itu, masih berkaitan dengan kasus penggelapan
pajak PT Makindo Tbk, datang lagi “broker” lain.
Broker ini langsung bertandang ke kantor Forum
Keadilan di Palmerah Barat 23c. Karena sering datang
ke kantor, awak Forum Keadilan menjuluki si “broker”
ini sebagai “bencong”---lagak lagunya memang seperti
bencong sih. Nah, si “bencong” ini ingin memanfaatkan
Majalah Forum Keadilan juga untuk menangguk untung.
Kali ini, Redaktur Eksekutif Majalah Forum Keadilan,
Sukowati Utami, yang bernegosiasi (tentu atas arahan
penanggungjawab redaksi). Si broker menjanjikan pasang
iklan dengan nominal diatas Rp 500 juta (paling tidak
bisa mengamankan gaji karyawan selama dua tahun )
kepada Sukowati Utami, kalau Majalah Forum Keadilan
mengikuti keinginan si broker. Siapa sih yang tidak
tergiur dengan uang segitu gede? Apalagi kondisi
keuangan majalah Forum Keadilan sedang morat marit
(untuk menggaji karyawannya saja tidak mampu).
Kesepakatan diterima.

Lalu ditulislah laporan utama tentang kasus
penggelapan pajak PT Makindo Tbk. Ddalam kasus itu
orang yang dibidik adalah Gunawan Jusuf, Direktur
Utama PT Makindo Tbk. Penulis laporan utama ini: Robby
Soegara dan Sukowati Utami. Hebatnya, setelah naskah
sudah selesai, si Bencong ikut memeriksa naskah
sebelum naik cetak. Sungguh ini sesuatu yang paling
aneh dan paling ajaib di dunia jurnalistik, yaitu ada
orang di luar redaksi yang mempunyai kepentingan ikut
memeriksa atau mengedit naskah laporan utama. Justru
hal itu terjadi di depan hidung penanggung jawab
redaksi yang jebolan Tempo itu.

Agaknya si broker itu senang. Lalu mengucurlah uang Rp
50 juta untuk cetak edisi yang berisi laporan utama
penggelapan pajak PT Makindo Tbk itu. Foto Gunawan
Jusuf, Dirut PT Makindo Tbk, dipajang di halaman muka
(cover). Plus, sebuah judul, “The King of Crime”.

Penanggung jawab redaksi dan redaktur eksekutif Forum
Keadilan tinggal memetik buah janji si broker yang
akan pasang iklan selama dua tahun. Keduanya akan
mendapat “jatah preman” dari uang yang dinanti-nanti
itu. Di majalah Forum Keadilan memang dikenal istilah
“jatah preman”, yaitu komisi yang diberikan kepada
orang yang berhasil memasukkan uang ke majalah Forum
Keadilan dengan cara apapun. Penanggung jawab redaksi
Priyono B. Sumbogo adalah orang yang mensosialisasikan
istilah itu. Dan, setiap uang yang masuk, khususnya
dari “deal-deal” seperti di atas atau iklan
terselubung lainnya, penanggung jawab redaksi pasti
mendapat “jatah preman”. Besarnya berkisar 15 persen
sampai 30 persen. Jadi, hitung saja sendiri, “jatah
preman” yang berhasil diperoleh penanggung jawab
redaksi dan redaktur eksekutif Forum Keadilan kalau si
broker itu mengucurkan duit setengah miliar.

Tapi, apes. Memang bukan rejeki. Justru Forum Keadilan
yang tertipu. Tunggu punya tunggu, ternyata si broker
yang bencong itu tak lagi memperlihatkan batang
hidungnya di kantor Forum Keadilan. Ketika Sukowati
Utami menghubungi handphone si broker, tidak ada
jawaban. Alamat pastinya tidak ada yang tahu. Si
broker tiba-tiba raib begitu saja. Forum Keadilan pun
gigit jari, cuma dapat Rp 50 juta dari janji diatas Rp
500 juta.

Inilah yang membuat kesal pengelola Forum Keadilan.
Sebagai pelampiasan, “iklan promosi” itulah yang
muncul dalam setiap edisi Forum Keadilan. Hingga
sekarang pun iklan itu masih muncul. Mungkin, iklan
itu tetap dimunculkan sampai ada orang yang datang
mengantarkan uang dan minta agar iklan itu tidak
tampil lagi.

Cerita ini pastilah akan membuat jurnalis miris. Dalam
milis ini, kita sering meributkan angpau-angpau yang
diterima jurnalis, padahal nilai angpau itu tidaklah
seberapa. Tapi, ada angpau kakap--seperti cerita di
atas--yang luput dari perhatian teman-teman jurnalis.
Praktik “deal-deal kakap” yang dilakukan petinggi
redaksi itu justru membuat profesi jurnalis kita
tercabik-cabik. Dan, ironisnya, hal itu dilakukan oleh
mantan wartawan Tempo yang seharusnya menjadi panutan
(mohon maaf kepada alumni Tempo lainnya, maaf juga
kepada mas Farid Gaban yang alumni majalah Tempo dan
juga kawan si penanggung jawab redaksi).

Menurut teman dari kalangan dalam majalah Forum
Keadilan itu, praktik seperti itu menjadi hal yang
lumrah di majalah Forum Keadilan. Malah, sang
penanggung jawab redaksi berucap, “kalau bisa semua
rubrik dijual”. Maksudnya, para wartawan diminta untuk
mencari uang dengan menjual rubrik. Misalnya, rubrik
wawancara atau profil. Seandainya ada orang yang mau
tampil dalam rubrik wawancara dan mau memberikan uang
alias membayar, maka orang itu akan menjadi prioritas,
terlepas dari si tokoh itu orang yang kompeten atau
bukan (pernah Forum Keadilan memuat wawancara dengan
Adrian Waworuntu, penjarah uang Bank BNI itu, lalu
mendapat bayaran Rp 50 juta). Demikian pula rubrik
profil. Kalau ada orang yang mau diprofil dan membayar
uang, maka orang itu pasti diutamakan. Nah, setiap
uang yang mengalir dari praktik seperti itu, sang
penanggung jawab redaksi mendapat “jatah preman”.

Tapi, begitulah keadaan majalah Forum Keadilan
sekarang ini. Jangan Anda bandingkan dengan Forum
Keadilan pada jaman Karni Ilyas. Di bawah nakhoda
Karni Ilyas, mantan wartawan Tempo juga, kala itu
majalah Forum Keadilan cukup terpandang. Oplahnya
melewati 100.000 eksemplar (karena menjadi
satu-satunya majalah berita setelah majalah Tempo dan
Editor, serta tabloid Detik diberangus). Pada waktu
itu pula, banyak pula eks Tempo yang bekerja di
majalah Forum Keadilan.

Kondisi Forum Keadilan mulai menurun setelah ditinggal
Karni Ilyas. Oplah mulai merosot terlebih setelah
majalah Gatra hadir, lalu majalah Tempo terbit
kembali. Konflik internal di dalam tubuh majalah ini
yang acap kali terjadi (kalau masalah ini diuraikan
perlu satu cerita tersendiri dan pasti banyak versi)
semakin membuat kondisi Forum Keadilan goncang. Hingga
akhirnya majalah Forum Keadilan benar-benar
terperosok. Forum Keadilan saat ini sama seperti
langit dan bumi bila dibandingkan pada jaman Karni
Ilyas.

Namun, bagi saya, yang membuat miris adalah
praktik-praktik atau deal-deal yang dilakukan redaksi
untuk mendapatkan pemasukan dengan mengorbankan etika
jurnalisme. Parahnya, kalau praktik atau deal itu
dilakukan secara diam-diam oleh petinggi redaksi. Dan,
uang yang masuk justru mengalir ke kantong pribadi
bukan ke perusahaan. Saya tidak tahu apakah media lain
juga melakukan praktik yang sama. Mungkin teman-teman
milis bisa memberi informasi.


Kirim email ke