--- In mediacare@yahoogroups.com, "Rahadian Permadi" <[EMAIL PROTECTED]> wrote:

> Mungkin usulan untuk membuat forum klarifikasi seperti yang dicetuskan
> Aquino tidak perlu. Nantinya akan membuat persoalan menjadi islam versus
> kristen. Ada baiknya barangkali organisasi-organisasi independen yang
> bergerak dibidang informasi membuat semacam media watch. 



Hallo Rahadian,
Saya pernah iseng2 mengamati dg cermat bagaimana sebuah berita
kristenisasi di Washington Post berkembang di Indonesia (waktu ramai
tentang organisasi WorldHelp di Amerika berencana mengkristenkan 300
anak Aceh korban Tsunami). 
Kebetulan Republika dan Tempo Interaktif yang memuat terjemahannya. 

Hasil temuan saya: ada satu paragraf yang PENTING disajikan utuh untuk
konteks Indonesia yg sangat mudah disulut isu sektarian (--> bahwa
tidak seperti WorldHelp, organisasi2 religious charities lain punya
kebijakan menentang proselytizing/kristenisasi) ternyata tidak dikutip
utuh Republika dan hilang di Tempo.

Republika lalu memuat paragraf itu, saya pikir setelah artikel yang
kritis dari Ade Armando.

Demikian ini dialog saya dengan wartawan Republika ketika itu; semacam
menjalankan apa yang Anda maksud media watch itu barangkali :-)

Salam,
Ida Khouw

-----------------

"idakhouw" <[EMAIL PROTECTED]> wrote:

Sekedar mengomentari pak Elba Damhuri dari Republika berkaitan dg
berita WorldHelp (yang diterjemahkan hampir utuh dari Washington
Post) vs pemberitaan yg fair dan balance:


elba damhuri <[EMAIL PROTECTED]> wrote:

> dewan pers baru saja memberikan penghargaan ''media
> performance'' koran ini, bersama tiga media lainnya.
> sungguh lucu, jika sebuah koran yang mendapat
> penghargaan dari dewan pers, ternyata berita-beritanya
> tidak fair dan tidak balance. sangat tidak mungkin.


IDAKHOUW:
Saya perhatikan bagaimana berita Washington Post itu berkembang di
Indonesia, ternyata sebuah alinea (alinea ke-3) tidak dikutip
utuh Republika dan menghilang di Tempo Interaktif.

"Most of the religious charities do not attach any conditions to
their aid, and many of the larger ones -- such as WorldVision,
Catholic Relief Services and Church World Service -- have policies
against proselytizing. But a few of the smaller groups have been
raising money among evangelical Christians by presenting the tsunami
emergency effort as a rare opportunity to make converts in hard-to-
reach areas."

--kalimat penting "most of the religious charities... have policies
against proselytizing", yang barangkali bisa membuat masyarakat
melihat duduk soalnya, tidak dikutip Republika:

"WorldHelp bukan satu-satunya organisasi agama dari luar Indonesia
yang masuk Aceh dan negara korban tsunami lainnya. Ada juga
WorldVision, Catholic Relief Services and Church World Service,
Advancing Native Missions (Charlottesville, AS), dan lainnya.
Advancing Native Missions mengaku telah mengumpulkan dana 100 ribu
dolar AS (Rp 900 miliar) untuk mendistribusikan makanan, minuman, dan
alat-alat masak ke Aceh. Mereka juga memberikan Injil di tengah
bantuan yang diberikan."

Apa komentar pak Damhuri?


--- In [EMAIL PROTECTED], elba damhuri
<[EMAIL PROTECTED]> wrote:

> makasih idakhouw atas responsya,
>
> soal aline ketiga memang tidak dimuat utuh di headline
> republika ketika pertama kali memberitakan itu. Tapi,
di headline berikutnya (saya lupa tanggalnya), itu
kita muat.


IDAKHOUW:
Terima kasih juga pak Elba atas jawabannya.
Barangkali akan lebih memuaskan bila dijelaskan apa pertimbangannya
alinea itu tidak diterjemahkan utuh (alinea lainnya hampir semuanya
utuh).
Memang saya perhatikan perubahan di berita selanjutnya, kalau tidak
salah setelah disinggung di kolom Ade Armando?.



-------------

Worldhelp

Oleh : Ade Armando

Sialnya selalu saja ada organisasi seperti Worldhelp. Seperti
diberitakan Republika (14/1), Worldhelp adalah kelompok misionaris
Kristen berbasis di Virginia, AS, yang mengklaim telah membawa 300
anak yatim-piatu Aceh ke Jakarta untuk dikristenkan.

Dengan ditempatkan di dalam keluarga-keluarga Kristen, anak-anak
berusia di bawah 12 tahun itu diharapkan nantinya akan membawa ajaran
Kristen ke Serambi Mekkah. Sebelum ini, isu Kristenisasi dan
'penculikan' anak-anak untuk dialihagamakan di Aceh sudah banyak
menyebar. Namun selama ini, isu tersebut tidak didukung data
meyakinkan. Media yang memberitakan lazim hanya merujuk pada
pernyataan narasumber yang bisa diragukan kredibilitasnya, tanpa ada
bukti empirik.

Kali ini, cerita itu tak lagi didasarkan pada kabar burung. Kendatipun
bukti nyatanya juga tak ada, yang berbicara adalah pimpinan Worldhelp
sendiri, pendeta Vernon Brewer. Ia bahkan menyebut masih terus
menggalang dana dengan target di atas 400 ribu dolar AS untuk
menunjang misinya membangun rumah yatim piatu anak-anak korban
tsunami. Kata Brewer, bila anak-anak itu bisa dibesarkan dalam
lingkungan Kristen, mereka bisa menjadi semacam pembuka jalan untuk
menjangkau orang-orang Aceh. Tingkah Worldhelp tentu memalukan.

Bagaimana mungkin mereka memanfaatkan tragedi yang sedemikian
memilukan untuk menyebarkan agama? Dan Worldhelp tidak sendirian.
Bahkan, Jerry Falwell, salah seorang pemuka Kristen terkemuka,
diberitakan mendukung manuver Brewer. Mungkin tanpa disadari, dengan
begitu mereka bukan saja merusak Aceh, namun juga merusak sendi-sendi
kerukunan umat beragama di negara ini, dan bahkan merusak hubungan
antarbangsa dan antarnegara di tataran lebih luas.

Dalam jangka pendek, yang mungkin harus menanggung akibat adalah para
korban bencana di Aceh. Saat ini saja sudah semakin tumbuh kecurigaan
terhadap kehadiran pihak asing di sana. Pemerintah sudah merespons
kekhawatiran itu dengan mengeluarkan kebijakan yang membatasi ruang
gerak dan jangka waktu kehadiran tenaga asing. Ini bisa berefek
bumerang mengingat untuk menangani dampak tsunami, justru dibutuhkan
upaya bersama untuk bahu-membahu menyelamatkan korban dan juga
membangun Aceh dalam waktu segera.

Dalam jangka panjang, keharmonisan kita sebagai sebuah bangsa akan
terus terkoyak. Karena itu, sangat dibutuhkan upaya mencegah agar
benih-benih konflik ini tidak cepat tumbuh. Kita semua perlu
mengingatkan bahwa Worldhelp adalah contoh kelompok Kristen
fundamentalis berpikiran sempit yang sama sekali tidak dapat dianggap
sebagai perwakilan umat Kristen secara keseluruhan. Lebih jauh,
tingkah Worldhelp tidak bisa digeneralisasikan sebagai bukti bahwa
Barat sedang menjalankan manuver penjajahannya di dunia Islam.

Harap dicatat, ulah Worldhelp ini sendiri menjadi mengemuka karena
diberitakan oleh sebuah harian terkemuka AS, The Washington Post.
Dalam artikel di harian itu, digambarkan juga bahwa umumnya
organisasi-organisasi Kristen besar di AS seperti World Vision dan
Catholic Relief Service menerapkan kebijakan untuk tidak memanfaatkan
langkah bantuan ke Aceh untuk kepentingan penyebaran agama. Dengan
kata lain, Worldhelp lebih pantas dipandang sebagai 'oknum'.

Pemerintah Indonesia kemarin memang sudah mengeluarkan larangan dan
peringatan terhadap Worldhelp yang kabarnya sudah membatalkan rencana
mereka. Namun, agar kecurigaan yang sudah kepalang terkoyak bisa
ditambal kembali, ada baiknya tokoh-tokoh Kristen Indonesia sendiri
mengeluarkan pernyataan yang mengecam ulah Worldhelp. Agar kita semua
tahu bahwa aksi kemanusiaan yang selama ini dilakukan adalah sesuatu
yang tulus, yang semata-mata datang dari hati nurani yang dimiliki
semua umat manusia.

Kirim email ke