Konon sampai saat dan detik ini, penganiayaan serta kekejian itu masih belum 
bisa diselesaikan oleh aparat pemerintah dan penegak hukum, jalan masih 
ditutup,ancaman masih berlangsung, sehingga murid2 kesekolah harus jalan kaki, 
dan memutar jauh. Itulah hasil pemahaman ajaran yang melenceng dan berbau "SARA"

idakhouw <[EMAIL PROTECTED]> wrote:          Kebetulan sedang mencari2 artikel 
Magnis berkaitan dg kristenisasi,
ketemu artikel di bawah ini. 

Artikel Magnis yg paling emosional yang pernah saya baca.

Salam,
Ida Khouw

SUARA PEMBARUAN DAILY
-------------------------------------------------------

Tidak Dapat Dijerat Hukum

Franz Magnis-Suseno SJ

MINGGU (3/10/2004) pagi sekitar 150 orang yang
menamakan diri 'Fron Pemuda Islam Karang Tengah' mulai
berkumpul di depan gerbang sekolah Katolik Sang Timur
Karang Tengah Cileduk. Mereka menuduh sudah dilakukan
pemurtadan dan menolak penggunaan sekolah sebagai
tempat ibadah. Demonstrasi menjadi kasar. Gerbang
dirusak, dibakar ban, seorang pria kedengaran
berteriak "Kami harus memerangi orang kafir."

Jam 9.00, di hadapan camat dan Kapolsek, pastor
menandatangani surat pernyataan akan menghentikan
peribadatan di sekolah itu. Camat yang namanya Syarif
menyambut penandatangan itu dengan berpidato kepada
massa, di mana ia kedengaran mengatakan antara lain
"Saudara-saudaraku, syukur alhamdulillah, perjuangan
kami sudah tercapai."

Tidak puas dengan itu, para demonstran memaksa
menyegel sekolah. Persis di pintu masuk mereka
membangun tembok setinggi 160 cm persis sehingga orang
tidak bisa masuk lagi. Selama seminggu sekolah, dengan
lebih dari 2.000 murid, tutup. Sekarang sekolah sudah
buka kembali, tetapi murid dan guru harus masuk dari
belakang, dengan jalan kaki jauh. Tembok di depan
pintu masuk, resmi tetap berdiri.

Sebagai latar belakang, ruang serba guna sekolah itu
sejak 1992 - atas dasar surat rekomendasi Nomor 192/
Pem/VII/1992 Kepala Desa Karang Tengah - dipakai pada
hari Sabtu/ Minggu dan hari raya besar oleh 8.975
anggota umat Paroki Bernadet Ciledug untuk misa kudus
karena umat belum berhasil membangun gereja.

Nah, tiga bulan lalu, tanggal 29 Juli 2004, Kantor
Departemen Agama Kota Tangerang mengirim surat yang
meminta agar kegiatan keagamaan dihentikan di sekolah
itu. Tanggal 30 Agustus, Lurah Karang Tengah mencabut
surat rekomentasinya dulu. Sejak itu ibadat umat
Katolik Ciledug mulai diganggu. Usaha umat untuk
berdialog, minta agar boleh meneruskan ibadat
sementara belum ditemukan tempat alternatif,
dikandaskan tanggal 3 Oktober lalu itu.

Mengapa kejadian ini saya tuliskan untuk dimuat di
sini? Saya sudah tidak tahan melihat kepicikan dan
intoleransi di belakang kejadian-kejadian seperti itu.

Ciledug bukan kejadian satu-satunya. Dua bulan lalu
Bupati Bandung per surat serentak menutup 12 tempat
ibadat serupa di Bandung. Kekerasan terhadap
gereja-gereja berjalan terus, de- ngan rata-rata satu
kejadi- an per minggu. Sejak 1990 sudah lebih dari 500
gereja diserang. Apakah ini perkara kecil?

Alasan Kristenisasi bagi saya sangat tidak meyakinkan.
Bahwa di sana sini ada orang masuk tidak perlu
disangkal. Tetapi kalau melihat statistik Indonesia,
maka selama 30 tahun ini, tidak ada pertambahan
signifikan umat kristiani di negara ini. Jadi seberapa
jauh signifikasi kasus-kasus itu?

Kebenaran adalah kebalikan. Di gereja Ciledug, dan di
kebanyakan gereja di seantero Indonesia, sama sekali
tidak dilakukan kristenisasi apa pun. Sama sekali
tidak terjadi umat beragama lain di sekeliling gereja,
atau sekolah, diajak masuk Kristiani. Saya curiga
bahwa isu kristenisasi dipakai secara sengaja untuk
membangun emosi.

Lalu terjadi kekerasan, pemaksaan, perusakan,
kadang-kadang (ratusan kali) penghancuran. Orang bisa
melakukannya dengan impunity (tidak terjerat hukum),
karena serangan terhadap gereja di Jawa dan di
beberapa pulau lain di Indonesia, dibiarkan saja. Di
Ciledug malah Kantor Depag yang menjadi perintis
pencekikan ibadat salah satu umat!

Saya bertanya, kita hidup di negara apa? Omongan
tentang toleransi, tentang persatuan (ingat iklan
bagus-bagus di TVRI), tentang Ketuhanan Yang Maha Esa
menjadi lelucon cemooh. Dan para pemimpin, kaum
intelektual, para suara hati bangsa, di mana suara
mereka? Tutup telinga, tutup mata, tutup mulut.

Undang-undang dasar kita dengan tegas menyatakan bahwa
"orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut
agamanya" (Pasal 28E, dan lihat Pasal 29, 2.). Tetapi
sejak puluhan tahun, umat minoritas dihalang-halangi
terus kalau minta izin mendirikan rumah ibadat, juga
apabila jelas-jelas ada umat. Surat Keputusan Bersama
35 tahun lalu sudah menjadi sarana untuk mensabotase
kebebasan beribadat.

Katanya, jangan membangun rumah ibadat di
tengah-tengah umat beragama lain. Tetapi minoritas mau
membangun rumah sudah pasti di tengah-tengah
mayoritas. Tidak mungkin di tengah hutan. Izin
membangun gereja tidak diberikan, atau perlu waktu 20
tahun. Tetapi kalau sementara ini umat beribadat di
tempat seadanya, ia diancam dan dilarang.

Saya juga meragukan bahwa itu semua sekadar masalah
masyarakat lokal. "Perjuangan kami sudah tercapai!",
ujar Camat di depan gerbang sekolah Sang Timur yang
baru dirusakkan. Perjuangan apa? Siapa punya? Siapa
"kami" itu? Benarkah desas-desus bahwa ada jaringan
orang-orang ekstrem yang sampai meresap ke
administrasi lokal, yang sudah memutuskan untuk secara
dingin mencekik kehidupan beragama minoritas di negara
Pancasila?

Kezaliman terhadap peribadatan minoritas sudah
melampaui batas dan mengancam membuat percuma usaha
tulus banyak pihak di agama mayoritas maupun
agama-agama minoritas untuk membangun hubungan yang
toleran, berdasarkan salah percaya. Pertanyaan saya:
Apakah pelecehan kebutuhan religius minoritas yang
paling sederhana akan terus berlangsung dengan
impunity?

Penulis adalah rohaniwan, guru besar di Sekolah Tinggi
Filsafat Driyarkara di Jakarta


         

 __________________________________________________
Do You Yahoo!?
Tired of spam?  Yahoo! Mail has the best spam protection around 
http://mail.yahoo.com 

Kirim email ke