Tunjangan DPRD, Uang Rapelan, Hadiah Tahun Baru Wakil Rakyat Susie Berindra
Sebuah hadiah tentulah menyenangkan bagi penerimanya. Apalagi, kalau itu berupa uang tunjangan yang dirapel selama satu tahun. Sayang, hadiah itu bukan untuk rakyat, tetapi buat wakilnya yang duduk sebagai pimpinan dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Siang pada awal Februari 2006, di sebuah ruang rapat Gedung Departemen Dalam Negeri, kegaduhan terdengar. Audiensi tertutup antara pejabat Depdagri dan anggota DPRD dari tingkat provinsi, kabupaten, dan kota digelar. Anggota DPRD berbicara sendiri- sendiri. Intinya, mereka berjuang agar anggaran untuk DPRD ditambah. Direktur Jenderal Bina Administrasi Keuangan Daerah Daeng Muhammad Nazier, yang memimpin audiensi, sampai harus berkali-kali menenangkan peserta rapat. Anggota DPRD itu protes Surat Edaran Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Nomor 188.31/006/BAKD yang dianggap mengekang DPRD dalam membuat anggaran sesuai dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 2004 dan PP Nomor 37 Tahun 2005. Seusai rapat, senyum menghiasi wajah anggota DPRD. Depdagri menjanjikan merevisi PP No 37/2005 tentang Perubahan Pertama PP No 24/2004 tentang Kedudukan Protokoler dan Keuangan DPRD. Nah, di sinilah awal munculnya uang rapelan yang diterima anggota DPRD sebagai hadiah tahun baru. Dari satu kali perubahan PP No 24/2004, yang merupakan pengganti PP No 110/2000, seorang anggota DPRD mendapatkan delapan jenis tunjangan. Namun, uang yang diterima per bulan itu masih dirasa kurang. Mereka mengusulkan ada tunjangan komunikasi dengan konstituen dan dana operasional. Anggota DPRD ingin mencontoh anggota DPR yang mendapatkan dua jenis dana tunjangan itu sejak lama. Berdasarkan usulan asosiasi DPRD tingkat provinsi, kabupaten, dan kota, Depdagri menyusun revisi PP No 37/2005. Maret 2006, draf itu selesai disusun dan diserahkan ke Sekretariat Negara untuk ditandatangani Presiden. Proses disahkannya aturan itu bisa membutuhkan waktu lama. Anggota DPRD tak sabar lagi. Beberapa daerah yang yakin akan ada aturan baru sudah menganggarkan tunjangan komunikasi dan dana operasional di APBD Perubahan 2006. Ada juga DPRD yang menganggarkan tambahan penghasilan dengan tunjangan yang bermacam-macam. Contohnya, bagi Ketua DPRD DKI Jakarta dianggarkan dana terima tamu sebesar Rp 2 juta per tamu, maksimal 30 tamu per bulan. DPRD pun gencar mendesak pemerintah merevisi revisi PP No 37/2005. DPRD perlu payung hukum untuk tunjangan yang bermacam-macam itu. DPRD ingin anggarannya bertambah besar, tetapi takut terjerat hukum seperti DPRD sebelumnya. Mendagri Moh Ma'ruf mengungkapkan, anggaran DPRD harus diatur jelas dan rinci. "Banyak DPRD yang menganggarkan tunjangan macam-macam. Saya memberikan surat edaran, meminta untuk menghentikan anggaran itu sampai ada aturan yang jelas," kata dia. November 2006, keluarlah PP No 37/2006. Senyum anggota DPRD pun mengembang. Tunjangan komunikasi intensif dan dana operasional didapatkan. Dana itu bisa dianggarkan sejak Januari 2006. Jadilah, rapelan tunjangan dana untuk hadiah tahun baru atau bonus akhir tahun karena seperti DPRD Banten mencairkan dana itu sejak November 2006. Dalam PP No 37/2006, pimpinan dan anggota DPRD mendapat tunjangan komunikasi intensif setiap bulan sebesar paling tinggi tiga kali uang representasi (gaji pokok) Ketua DPRD. Untuk pimpinan DPRD mendapat tambahan dana operasional setiap bulan paling tinggi enam kali uang representasi untuk ketua dan empat kali uang representasi untuk wakil ketua DPRD. Dengan PP No 37/2006, uang yang diterima anggota DPRD menjadi besar. Bila uang representasi Rp 3 juta, rapelan tunjangan komunikasi intensif dan dana operasional untuk Ketua DPRD provinsi Rp 324 juta dan Ketua DPRD kabupaten/kota Rp 226 juta. Untuk anggota DPRD provinsi Rp 108 juta dan anggota DPRD kabupaten/kota mendapat Rp 75,6 juta. Jumlah yang besar pada saat rakyat dibebani tingginya harga sembako. Dengan ada PP No 37/2006, sebulan seorang Ketua DPRD Provinsi mendapatkan take home pay sebesar Rp 35 juta, anggota DPRD provinsi Rp 15,6 juta, sedangkan ketua DPRD kabupaten/kota mendapat Rp 24,8 juta dan anggota Rp 10,8. Angka itu memang besar, apalagi dibandingkan dengan kehidupan rakyat yang sebagian besar masih miskin. Anggota Komisi II DPR, Ryaas Rasyid, menilai "gaji" bagi anggota DPRD itu masih wajar saja. Ia mengungkapkan, seorang wakil rakyat punya kewajiban berkomunikasi dengan konstituen, dengan jumlah dana yang tidak sebanding dengan "gaji" yang diterimanya. "Satu-satunya sumber untuk menambah penghasilan anggota DPRD hanya dengan menaikkan tunjangan atau gaji," katanya. Ketua Asosiasi DPRD Kabupaten M Harris juga menganggap tunjangan yang diberikan bagi anggota DPRD itu suatu kewajaran. Apalagi, untuk menjadi seorang wakil rakyat membutuhkan dana yang tidak sedikit. "Saat kampanye, seorang calon anggota DPRD harus pinjam uang ke bank. Ketika terpilih, ya dia harus nyicil ke bank. Belum lagi uang untuk konstituen yang datang. Kalau dipotong sana-sini, gaji yang diterima anggota DPRD tak banyak," kata dia. Tekanan parpol "Wakil rakyat" yang lain berteriak. Protes pun muncul, sebagian besar dari LSM. DPRD dianggap tak peka dengan kondisi rakyat. DPRD dianggap merampok uang rakyat dengan cara yang legal. Di Jakarta, sekitar 30 LSM membentuk Koalisi Tolak PP 37/2006. Mereka menilai uang rapelan yang diberikan kepada anggota DPRD menyalahi tiga undang-undang (UU). Salah satu aturan menegaskan, anggaran satu tahun dalam APBD tidak boleh menganggarkan untuk tahun sebelumnya. Koalisi itu juga mengancam akan menyomasi Presiden jika tetap memberlakukan PP itu. "Di tengah penilaian kinerja buruk pemerintahan tahun 2006, rakyat terbebani dengan harga sembako yang tinggi, DPRD malah dibanjiri uang. Jika tak dicabut, kami akan somasi Presiden dan mengajukan uji materi PP itu ke Mahkamah Agung (MA)," ujar Hermawanto dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta. Ketua Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Denny Indrayana mensinyalir keluarnya PP No 37/2006 adalah strategi pemerintah menghadapi tekanan partai politik. Bayangkan, dalam kurun waktu kurang dari dua tahun, pemerintah merevisi aturan keuangan DPRD hingga tiga kali. "Celakanya, yang diotak-atik hanya tunjangan pimpinan dan anggota DPRD yang jadinya terus bertambah besar," kata dia. Warga lainnya menggunakan cara lain untuk memprotes DPRD. Unjuk rasa merebak di berbagai daerah menentang Peraturan Daerah APBD 2007 yang sebagian besar untuk membayar rapelan anggota DPRD itu. Sejumlah kepala daerah juga mengeluh bila harus membayar uang rapelan tunjangan DPRD selama satu tahun. Keuangan daerah sangat terbebani. Akibatnya, Mendagri pun sibuk. Setelah isu PP No 37/2006 ini menimbulkan pro-kontra selama sebulan lebih, Mendagri bertemu Menteri Keuangan Sri Mulyani, Rabu (10/1), untuk mencari solusi terbaik. Menkeu menjelaskan, dilihat dari peta Indonesia yang beragam, jika dibuat aturan yang formulanya sama, memang akan menimbulkan ketidakpuasan di banyak pihak. Pemerintah memberikan solusi dengan membagi tiga kelompok daerah berdasarkan kemampuan keuangannya. Provinsi DKI Jakarta tak masuk dalam pengelompokan ini sebab pendapatan asli daerahnya sebesar Rp 8,6 triliun per tahun tidak tertandingi. Klasifikasi kemampuan keuangan daerah ini akan dituangkan dalam Peraturan Mendagri. "Pemerintah perlu mengatur asas kepantasan ini karena ternyata daerah selalu mengambil angka maksimal untuk tunjangan DPRD. Klasifikasi ini supaya lebih pantas dan wajar," ujar Menkeu. Apakah Peraturan Mendagri ini akan menyelesaikan pro-kontra tunjangan DPRD untuk selamanya atau sementara waktu? Yang jelas, rakyat tetap saja terlupakan. Sumber: Kompas - Jumat, 12 Januari 2007 ++++++++++ Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance) klik http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita Untuk Indonesia yang lebih baik, klik http://www.transparansi.or.id/