IIIHIMsight ed. 15 Januari 2007
  HIMailinglist : [EMAIL PROTECTED]
   
   
  HIMtv
  Kontroversi sinetron “Buku harian Nayla” bisa pula kita cermati dalam sisi 
lain, maksudnya berani tampil beda di antara produk sinetron sejenis kala 
format cerita “religius” yang mengumbar azab, kekerasan fisik, perdukunan, dan 
seks begitu kentara tampil di layar kaca. Bila dalam ilmu manajemen kita 
mengenal istilah “blue ocean strategy”, maka tampaknya sinetron ini tengah 
membuka segmen pemirsa yang belum terlayani pengelola stasiun televisi. 
  Selama ini bagian programming televise terjebak oleh hasil rating mingguan 
yang dikeluarkan oleh lembaga pemeringkat program, bahwa program yang meraih 
peringkat tinggi berarti itulah yang sedang digemari masyarakat ( dan 
mendatangkan banyak pula pemasang iklan ). Kreatifitas mereka boleh dibilang 
terbelenggu oleh pencapaian rating, sehingga tak heran format siaran yang 
dikatakan “sukses” di stasiun televise A tak lama kemudian akan mengekor 
program serupa di stasiun televisi B, C, dan seterusnya.
  Sebagai contoh adalah pertarungan program non-sinetron antara TransTV dan 
RCTI. Kala ExtraVaganza mendulang sukses sebagai icon baru TransTV, RCTI lalu 
mencoba menghadirkan format “Karnaval” yang justru gagal “mengadaptasi” 
kesuksesan tersebut. Demikian juga ketika Bajaj Bajuri bisa menjadi maskot 
TransTV, eh RCTI pun mencoba resep yang sama dengan menghadirkan “Kejar 
Kusnadi” yang malah tidak berhasil mengejar kepopuleran trio Bajuri-Oneng-Emak 
ini. Baru lewat “OB”, RCTI tergolong berhasil menghadirkan ikon komedi yang 
baru.
  Dan kini pertarungan level kedua tampaknya tengah ditabuh GlobalTV lewat 
program “Big Movies”, tak pelak ini tentunya mengacu pada kepopuleran 2 program 
prime-time yang mengangkat imej duet TransTV-Trans7 ( Bioskop TransTV – 
Theater7 ). Hal ini wajar saja karena sebagai “leader” sinetron tentunya RCTI 
tidak mau melepas program (baca: sinetron) yang secara rating masih 
menjanjikan, sehingga GlobalTV-lah yang kebagian “tugas” menjajal persaingan 
dalam hal tayangan film2 layar lebar, sebutlah sebagai reinkaranasinya program 
“Layar emas”. Jargon promosi “pertama kali di layar kaca Indonesia” tampaknya 
masih ampuh untuk disodorkan kepada khalayak pemirsa.
   
   
  HIMarketing
  Seiring dengan membaiiknya kondisi ekonomi di negeri ini, tentunya ongkos 
produksi suatu barang sudah bisa ditekan semaksimal mungkin yang juga 
berpengaruh pada kuantitas maupun harga jual yang bisa ditawarkan kepada 
konsumen. Jadi, apa yang biasanya dilakukan para penentu kebijakan harga dalam 
hal ini ? Tidak terlalu mengherankan kalau ada beberapa jenis produk yang 
melakukan “penyesuaian” harga dan itu adalah hal yang sudah jamak.
  Yang mau diulas sekilas kal ini adalah soal pemberian bonus isi, entah itu 
20% dari volume umumnya ( misalnya kemasan minyak goreng biasa dijual dengan 
komposisi 1 liter, lalu ditambahkan menjadi 1,2 liter dengan harga tetap ) atau 
justru memberi bonus dengan barang sejenis yang memiliki satuan jual terkecil ( 
semisal ukuran shampoo 1000 ml, dibundel dengan kemasan 50 ml ). Hal ini 
tentunya berguna untuk mengantisipasi tatkala harga produk meningkat kembali 
tidak perlu dilakukan lagi koreksi harga.
  Cara lain yang juga dapat ditempuh adalah dengan memberikan bonus 
“merchandise” yang ada hubungannya dengan karakteristik produk yang diasosiakan 
dengan target market-nya. Semisal untuk produk kategori susu, beberapa produsen 
memberikan “insentif” berupa koleksi buku maupun vcd pengetahuan. Untuk 
kategori bumbu masakan, dapat juga diberikan bonus resep pada kemasannya. 
Sekedar usul saja untuk produsen isotonic, penambah energi, penjaga stamina, 
atau apapunlah namanya, daripada sibuk gembar-gembor klaim “tanpa mengandung 
bahan pengawet”, lebih baik memberikan bonus buklet tips olahraga, tips hidup 
sehat, atau hal positif lainnya sehingga imej produk lebih terbangun lebih baik.
   
   
  HIMradio
  Cukup terhenyak juga penulis ketika tune-in di jalur 101FM akhir pekan lalu. 
Ternyata brand “RadioONE” sudah berganti nama menjadi JAKFM. Sebenarnya hal ini 
tidak terlalu aneh karena pemilik kedua media broadcast tersebut adalah orang 
yang sama. Mungkin dari segi bisnis, perlu adanya co-branding antara media 
radio dan media televisi yang dilakoninya. Jadi kalo ingat stasiun tv local, 
ingat juga dengan nama radio afiliasinya.
  Beberapa stasiun radio Jakarta juga boleh dibilang memakai resep yang sama. 
Contohnya pada jaringan media grup MNC ada semacam kolaborasi nama identifikasi 
pada salurannya masing-masing, seperti TPI dengan radio dangdut TPI dan 
GlobalTV dengan ARH Global Radio. Sedangkan 2 radio lain yang dimiliki MNC, 
yakni WomanRadio dan Trijaya tidak serta merta langsung diganti dengan nama 
RCTI radio. Disamping nama radionya nanti terlalu dipaksakan, nama Trijaya 
Network sudah menjadi kekuatan brand tersendiri di kancah media audio nasional 
ini.
  Yang menarik adalah nama “Elshinta”, sukses di jalur radio lalu mencoba 
merambah pasar dengan masuk ke persaingan media televisi. Bila selama ini radio 
Elshinta mencitrakan program siarannya yang boleh dibilang tanpa lagu 
sama-sekali, bisakah resep yang sama dipakai untuk format televisi ? Btw, kok 
ElshintaTV masih siaran percobaan terus, kapan nich siaran “benerannya” ?
   
   
  HIMoments this week :
   
   
   
  HIMtertainmentSound is provided by :
  Retromantic of HardrockFM87.6
  Rhytym of love of  MustangFM88
  Monday Back2back, Wednesday Slow Machine, & Sunday Club 80’s of KISFM95.1
  One Love of JAKFM101
   
   
  HIMsight | HIMpersada10 |  HIMoments
  HIMfs : [EMAIL PROTECTED]   |   HIMblog! : 
http://himfiles.blogs.friendster.com
  HIMym : jukeboxlist   |   HIMailinglist : [EMAIL PROTECTED]
   


                
---------------------------------
 Yahoo! Movies - Search movie info and celeb profiles and photos.

Kirim email ke