Tragedi Perempuan 1965 Oleh Dr. Asvi Warman Adam
SEANDAINYA yang tewas dalam peristiwa penculikan yang dilakukan Gerakan 30 September itu hanya enam orang jenderal dan seorang perwira, mungkin publik akan menganggap kejadian itu hanya sebagai konflik intern militer karena yang melakukan pembunuhan adalah juga pasukan Angkatan Darat (Cakrabirawa). Namun peristiwa naas itu juga merenggut nyawa seorang perempuan kecil yang masih duduk di taman kanak-kanak, putri dari Jenderal A.H.Nasution. Kematian seorang gadis kecil tak berdosa yang pemakamannya kemudian disiarkan ke seluruh negeri tentu memicu kemarahan rakyat terhadap Gerakan 30 September yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Untung. Namun bila yang jadi sasaran hanya Gerakan 30 September itu tentu tidak cukup. Begitu percobaan kudeta itu terjadi, para pembantu Soeharto seperti Yoga Sugama dan Sudharmono sudah merasa yakin bahwa dalang di balik itu adalah PKI (Partai Komunis Indonesia). Namun itu tentu perlu dibuktikan, paling tidak melalui pengadilan. Sedangkan proses pengadilan itu walaupun dipercepat, tetap saja memakan waktu. Mahmilub (Mahkamah Militer Luar Biasa) yang dibentuk pemerintah baru bersidang pada awal tahun 1966. Sementara itu yang secepatnya dilakukan adalah kampanye hitam terhadap PKI yang merupakan saingan terkuat militer dalam percaturan politik tahun 1965. Pelarangan suratkabar, selain dari Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha, setelah tanggal 1 Oktober 1965 selama lebih kurang seminggu memberikan kesempatan kepada koran tentara itu untuk menciptakan opini yang menyudutkan PKI dan ormas pendukungnya. Serangan yang paling telak tentu berkaitan dengan moralitas. Maka disebarkan isu bahwa di Lubang Buaya para Jenderal itu disilet kemaluannya sebelum ditembak. Di sana juga berlangsung "Pesta Harum Bunga", berupa tarian-tarian mesum anggota Gerwani dan Pemuda Rakyat, disertai iringan nyanyian bersama lagu Genjer-genjer. Lagu Genjer-genjer sudah dikenal di Banyuwangi tahun 1960-an sebagai lagu rakyat terutama para petani. Genjer itu adalah salah satu jenis tumbuhan liar yang hidup di rawa-rawa dan sawah basah, tanah lumpur yang berair. Tahun 1963 lagu itu sudah terdengar di RRI dan TVRI. Diaransemen oleh M. Arief yang waktu bekerja di TVRI Jakarta, piringan hitam Genjer-genjer kemudian memasuki pasaran, dinyanyikan Bing Slamet dengan lirik berbahasa Jawa. Namun baris syair yang berbunyi "esuk-esuk pating keleler" (pagipagi berhamparan), ulangan dari baris yang sama "neng kedhokan pating keleler" (di lahan berhamparan), dianggap sebagai indikasi bahwa pembunuhan terhadap para jenderal telah direncanakan sebelu mnya. Padahal penyiletan kemaluan para jenderal itu ternyata fitnah belaka. Ben Anderson menemukan pada berkas persidangan Mahmilub visum et repertum para jenderal itu. la menulis pada jurnal lndonesia terbitan Cornell bahwa memang ada luka tembak dan memar tetapi tidak ada pemotongan kemaluan. Lalu dari mana berasal ide tersebut? Setelah Soeharto lengser tahun 1998, dalam sebuah seminar, seorang pengurus Gerwani mengatakan kepada saya bahwa menjelang tahun 1965 telah beredar buku Tambang novel karangan penulis Prancis Emile Zola yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia lewat bahasa Inggris. Di dalam buku itu terdapat adegan seorang rentenir yang sangat dibenci oleh para istri buruh tambang. Bukan hanya mengisap darah para buruh dengan pinjamannya yang berbunga tinggi, ia juga sering memperkosa anak gadis mereka. Suatu ketika, beberapa istri buruh tambang itu berhasil membekuk sang rentenir dan salah seorang perempuan dengan tangannya menarik kemaluan sang lintah darat sampai putus. Mungkin adegan itu yang mengilhami kisah yang direkayasa kemudian mengenai malam saat terjadi apa yang disebut sebagai "pesta harum bunga" di Lubang Buaya. Penggambaran para perempuan secara tidak bermoral itu yang menyulut kemarahan rakyat. Selain juga konflik horisontal yang sebetulnya telah dimulai dengan aksi sepihak yang dilancarkan oleh PKI dan BTI (Barisan Tani Indonesia). Kedatangan pasukan khusus AD untuk menumpas PKI dengan antara lain melatih para pemuda di Jawa Tengah dan Jawa Timur merupakan rangkaian penyebab terjadinya pembunuhan massal setelah meletus Gerakan 30 September. Buku ini berisi wawancara dengan 13 perempuan yang sebagian diantaranya adalah aktivis Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia). Sudah terbit buku tentang Sulami dan Sudjinah misalnya, tetapi dalam buku ini deretan "selebriti" kiri tersebut lebih lengkap. Ada tulisan mengenai Umi Sardjono, Kartinah dan juga Sudjinah yang semuanya pimpinan pusat Gerwani.Ada pula Sutarni Nyoto. Sebagian besar mengalami penahanan selama belasan tahun, seorang diantaranya hanya karena salah tangkap. Didalam buku ini cuma Sudjinah yang diadili selebihnya dikurung tanpa prosedur hukum. Penyiksaan fisik dan mental dialami mereka dalam penjara. Saya tidak akan mengulangi menceritakan siksaan tidak berperikemanusiaan, termasuk perkosaan yang dihadapi oleh para perempuan ini selama berulang kali diinterogasi aparat keamanan. Selain pada buku ini, secara rinci kekejaman itu telah dicatat pula dalam tulisan Anne Pohlman, A Fragment of a Story: Gerwani and Tapol Experiences. Perempuan korban peristiwa 1965 itu kini telah berusia 70 dan 80-an tahun. Sejarah lisan telah membuka kesempatan untuk menguak penderitaan mereka selama tiga dasa warsa pemerintahan Orde Baru. Rezim ini telah menghancurkan gerakan perempuan militan bahkan menyiksa para aktivis perempuan selama bertahuntahun dan memberi stigma sangat buruk kepada mereka (dan keluarganya). Trauma dan penderitaan mereka perlu dicatat dalam sejarah agar bangsa ini tidak mengulangi lagi tragedi serupa. Tidak berarti bahwa apa yang diiingat mereka mengenai masa sebelum tahun 1965 sebagai fakta yang tidak bisa dibantah. Saya tidak sepakat misalnya dengan pandangan perempuan kiri bahwa peristiwa Madiun adalah provokasi kabinet Hatta atas dikte AS untuk menghabisi "orang-orang merah". Studi Saskia Wieringa merupakan pionir dalam pengkajian gerakan perempuan kiri di tanah air. Namun sesungguhnya masa-masa sebelum meletusnya Gerakan 30 September perlu dikaji lebih lanjut dalam perspektif yang lebih beragam misalnya bagaimana kalangan perempuan Islam memandang Gerwani. Tetapi dari kumpulan tulisan ini, paling sedikit pembaca dapat mengetahui betapa luar biasanya kekejaman yang dilakukan terhadap kelompok perempuan tersebut. Dan stigma itu ditancapkan sepanjang era Orde Baru. Dalam sebuah lokakarya yang diadakan Komnas Perempuan bulan Agustus 2006 lalu, saya mendengar tuturan seorang aktivis perempuan yang setiap mengalami menstruasi selalu terbayang film "Pengkhianatan G30S/PKI" yang diawali dengan adegan darah "Darah itu merah, Jenderal". Bahkan seorang komisioner Komnas Perempuan menceritakan bahwa tetangganya di daerah Menteng, Jakarta, ketika melahirkan melakukan operasi caesar agar anaknya tidak lahir pas tanggal 30 September. Dua contoh tadi memperlihatkan bahwa peristiwa 1965 itu sampai mempengaruhi proses reproduksi perempuan. Pondok Gede, 5 September 2006 Dr Asvi Warman Adam, Ahli Peneliti Utama LIPI