IBRAHIM ISA -- BERBAGI CERITA -- 21 JANUARI 2007 S. MANAP PANDAI BERCERITERA ---------------------------
Sejak tadi malam hatiku tergerak untuk menulis lagi mengenai bagaimana pentrapan salah satu elemen penting dari DEMOKRASI, yaitu KEBEBASAN MENYATAKAN PENDAPAT, berlangsung dengan hidup dan menarik dinegeri kita tercinta. Maksudku hendak membicarakan bagaimana orang pertama di Republik kita ini, Presiden SBY, ambil bagian yang lumayan aktif dalam d i a l o g terbuka dengan para pengeritisinya. Ini positif! * * * Namun, sesudah membaca CERPEN 'TUKANG NUJUM', karya sahabatku yang di Stockholm itu, aku tinggalkan dulu maksud untuk menulis tentang politik. Aku ikuti saran S. Manap, supaya kita 'bersantai-santai baca cerpen' yang ia tulis. Sahabatku Manap! Membaca cerpen Anda yang berjudul 'TUKANG NUJUM', memang orang akan merasa santai. Senjum orang dibikinnya. Lalu senjum lagi. Karena cerpen Anda itu sungguh jenaka. Sesudah senyumm timbullah rasa hormat dan penghargaan terhadap Anda. Karena Anda ternyata mengenal sekali dan tahu benar apa yang Anda tulis. Mengenai keadaan salah satu tempat di Sumatera Selatan. Anda secara hidup dan rinci menganalisis keadaan masyarakat setempat. Menceriterakan tentang 'WHO'S WHO', seperti kata orang Inggris. Sehingga dengan demikian tidak 'cerita asal cerita'. Cerpen TUKANG NUJUM, karya Anda itu, adalah cerita yang hidup, sehingga terbayang di hadapan pembaca keadaan dan kehidupan riil salah satu tempat di Sumsel. Cerpen yang seperti ini sungguh sangat menarik. Seperti yang Anda pernah tulis, Anda tinggal di Stockholm, Swedia. Bagaimana Anda bisa begitu kongkrit dan hidup menggambarkan salah satu tempat di Sumsel. Saya duga-duga saja. Anda pulang kampung tidak sekadar melepas rindu! Anda ketika pulang ke kampung, sangat memperhatikan keadaan masyarakat setempat. Cerpen Anda dengan demikian tidak 'ngambang', tidak 'mengada-ada'. Karena, memanglah keadaan masyarakat kita, seperti Anda lukiskan dalam cerpen Anda, masih 'supersticious', masih 'bijgelovig'. Masih percaya 'sesuatu' disamping kepercayaan religinya yang resmi, tidak perduli apa itu Islam atau Kristen. Nyatanya masih (tak jarang) lebih percaya pada DUKUN. Benar Anda. Bukan saja di kota kecil Indonesia, juga di pusat kekuasaan politik di Jakarta, tidak sedikit politisi kita, atau mereka yang sibuk dalam dunia bisnis, yang masih sering mengunjungi DUKUN. Bung Karno dikatakan dulu itu percaya sekali pada Pak Rahim, yang terkenal adalah dukun yang bertaraf nasional. Jendral Suharto juga dikabarkan punya dukunnya sendiri. Jangan jauh-jauh, aku sendiri masih suka lihat ruangan 'horoscope' di koran atau majalah. * * * Tapi Anda tidak berhenti pada 'memotret' saja keadaan masyarakat kita yang masih percaya TUKANG NUJUM atau DUKUN. Anda juga sedikit 'menguliti' watak dan 'kebiasaan' buruk dukun-dukun yang biasa terima 'macam-macam' dari pengunjungnya. Yang nujumannya ternyata tak terbukti. Sehingga akhirnya luntur juga kepercayaan orang pada dukun tsb. Ada lagi yang hendak kukatakan, yang hendak kupuji cerpen Anda itu. Yaitu, Anda menggunakan bahasa Indonesia yang baik. Anda memperhatikan tata-bahasa. Ini patut dihargai. Karena ini berarti mempromosi penggunaan bahasa Indonesia yang baik. Jangan seenaknya menggunakan bahasa, sehingga memberikan contoh yang buruk sekali kepada generasi muda kita. Yang di sekolah oleh para guru dengan susah payah diajarkan bahasa Indonesia yang benar dan baik. * * * Tak lain penghargaanku kepada Anda S. Manap. Bravo, teruskan menulis cerpen. Namun, . . . . . Tokh bukan berarti Anda tidak akan menulis lagi tentang politik? Karena politik itu adalah bagian yang penting dari budaya, dari kebudayaan sesuatu bangsa. Masih ada sedikit lagi. Tulisanku ini b u k a n r e s e n s i . Sekadar tanggapan spontan karena senang membaca cerpen Anda. * * * S. MANAP CERPEN TUKANG NUJUM ------------------- Teman-teman dan sahabat-sahabat. Anda lelah ? Banyak berdebat politik? Jangan lupa ini akhir Minggu. Santai-santai sajalah. Sambil bersantai-santai baca sajalah cerpen ini. Untuk sementara lupakan dulu lawan maupun isi debat politik. Bisa dilanjutkan pekan depan kan? He.. he.. he .. S.Manap * * * L, demikian nama salah satu kota di Sumatera Selatan. Kota ini tidak besar, penduduknya tidak banyak. Tapi kalau pusat kota digabungkan dengan daerah sekitarnya, maka keseluruhan wilayahnya cukup luas. Pusat kota terutama adalah Pasar Baru, dengan semua pertokoan dan perkantoran, termasuk dua gedong bioskop. Pasar Baru sekarang mempunyai sebuah pasar, berupa gedong bertingkat.. Yang dimaksudkan dengan sekitarnya itu ialah Pasar Bawah, Pasar Lama, L Tengah, Suka Ratu, Bandar Agung, Gunung Gajah,Talang Srinanti,Talang Jawa,Talang Ubi dan Talang Banten. Dulu,Talang Banten merupakan tempat tinggal sejumlah besar anak-anak sekolah. Baik murid-murid Sekolah Lanjutan Pertama, maupun Sekolah Lanjutan Atas, bahkan juga yang masih duduk di Sekolah Rakyat banyak yang bertempat tinggal di Talang Banten. Talang Banten No.511, akan selalu menjadi kenangan, di situlah kami bertempat tinggal. Talang Banten hanya dipisahkan oleh beberapa rel kereta api saja dari stasiun kereta api kota, yang merupakan bagian dari pusat kota L. Konon kabarnya, tempat ini bernama Talang Banten, karena di sini bermukim pendatang-pendatang dari suku Sunda dan yang terbanyak berasal dari daerah Banten di masa penjajahan Belanda dulu. Tetapi kemudian keadaan berangsur-angsur berubah. Yang selanjutnya berdominasi di daerah ini adalah pendatang-pendatang dari suku Jawa. Di samping itu, cukup banyak juga orang-orang dari suku Melayu dan orang-orang dari Palembang. Kalau kita perhatikan "pembagian kerja" penduduk Talang Banten pada waktu itu, gambarannya adalah seperti berikut: tukang kerupuk yang memproduksi krupuk dan menjualnya berkeliling kota sampai ke pasar-pasar kota Kecamatan, adalah orang-orang dari suku Jawa. Tukang tempe, yang menjual tempenya di pasar-pasar, orang Jawa. Tukang pecal, yang dikerumuni anak-anak sekolah, orang Jawa. Pandai besi, yang membuat kuali besi dan kompor-kompor minyak tanah, alat pemasak yang lebih mudah penggunaannya dari kayu bakar atau arang batu itu, orang Jawa. Buruh-buruh kereta api, dari masinis, tukang rem, tukang wesel, juga orang Jawa. Hanya penjual empek-empek di pinggir jalan kereta api di malam hari itu saja yang orang Palembang. Orang-orang suku Melayu yang tinggal di sini terdiri dari anak-anak sekolah atau pegawai rendahan atau guru-guru Sekolah Dasar. Sedangkan orang-orang dari suku Sunda jumlahnya sangat sedikit, bahkan bisa dihitung dengan jari. Keluarga Pak Bona adalah salah satu dari keluarga Sunda itu. Menurut yang sering dibicarakan orang di Talang Banten, Pak Bona itu orang penting yang tidak bisa diremehkan. Sebabnya dia bisa membaca suratan tangan. Pak Bona bisa mengetahui siapa pencurinya, kalau ada orang yang kehilangan uang atau barang. Orang-orang yang kehilangan banyak juga yang datang kepadanya, dengan harapan bisa menemukan siapa pencurinya dan yang penting, bisa menemukan barang yang sudah hilang itu. Kata orang, Pak Bona juga banyak memiliki jampi-jampi. Maka itu, kalau orang tidak bisa punya anak, atau setiap melahirkan lalu anaknya terus mati, atau anaknya sakit-sakitan, datanglah mereka kepada Pak Bona. Itulah sebabnya, menurut orang-orang di sekitar itu, Pak Bona itu bukan saja pembaca suratan tangan, ahli nujum, tapi juga dukun. Masri, teman kami yang tamatan SMEP(Sekolah Menengah Ekonomi Pertama) dan bekerja di Jawatan Pegadaian Negeri yang tidak jauh dari tempat tinggal kami, pernah menceritakan pengalaman hidupnya. Menurut Masri, dia sudah dua tahun bekeluarga. Baik Masri, maupun isterinya, ingin sekali punya anak. Terserahlah, anak laki-laki atau perempuan. sama saja, yang penting punya keturunan, mendengar suara tangis anak sendiri, jangan sunyi sepi seperti sekarang. Mereka sudah 2 tahun hidup bersama, tapi masih belum juga ada tanda-tanda yang memperlihatkan bahwa isterinya akan hamil. Mereka berdua tegiur untuk menghadap Pak Bona, tukang nujum dan dukun kenamaan di Talang Banten. "Siapa tahu bisa mengetahui hari depan,".kata Masri kepada isterinya. Sebagaimana petunjuk orang-orang yang pernah menghadap Pak Bona, Masri juga menyuruh isterinya menyiapkan segala yang diperlukan. Keperluan-keperluan untuk menghadap Pak Bona, sebetulnya tidak ada ketentuan tertulis, tetapi semua orang tahu dengan sendirinya, berdasarkan cerita dari yang menghadap terdahulu.Yang tidak boleh kurang, menurut Masri berdasarkan pengalamannya sendiri, yalah: beras ketan hitam empat kaleng susu, telur ayam kumbang tiga butir, pisang emas satu sisir, tidak perlu dihitung berapa buah, sebuah kelapa berjenis hijau. Tentang uang tidak termasuk dalam ketentuan kebiasaan, tapi kalau ada dan diserahkan, diterima juga. Maka itu menurut Masri mereka menyiapkan juga uang sedikit sebagai tambahan, dengan harapan, siapa tahu, ada jampi-jampi yang tersimpan, yang bisa diucapkan oleh Pak Bona, berkat tambahan uang sedikit itu. Setelah menyerahkan beras ketan, telur ayam kumbang, pisang emas, kelapa hijau, dan uang sedikit, maka Masri dan isterinya disuruh duduk berdampingan di atas tikar seperti mempelai. Semua barang-barang yang diserahkan tadi dikumpulkan di satu sudut, tidak jauh dari tempat mereka duduk. Hanya uang saja yang tidak kelihatan lagi, mungkin langsung masuk kedalam kantong yang menerima. Menurut Masri, cara Pak Bona memang sopan sekali. Ketika dia mengucapkan jampi-jampi, baik Masri mau pun isterinya tidak mengerti karena diucapkannya dalam bahasa Sunda. Karena tidak mengerti, maka isteri Masri makin merasa yakin bahwa tidak lama lagi dia akan segera hamil. Malahan dia membayangkan akan menghamilkan anak laki-laki. Setelah selesai mengucapkan jampi-jampi, Pak Bona berkata perlahan-lahan, kali ini dalam bahasa Indonesia: "Yang di atas itu belum menghendaki kalian berbahagia sekarang, tapi di kemudian hari kalian akan berbahagia juga." Setelah Pak Bona selesai dengan segala pembicaraannya, Masri dan isterinya pulang dengan perasaan lega dan gembira. Siapa tahu jampi-jampi yang tidak dimengerti tadi menjadi sumber kebahagiaan di kemudian hari, pikir mereka berdua. Masa setahun berlalu begitu saja. Isteri Masri tidak hamil-hamil juga. Mereka pun mulai berpikir lagi, apa tidak ada lagi jalan lain? Menurut Masri, dari pada menunggu hasil jampi-jampi, apa tidak lebih baik kalau mencoba menemui dokter. Mereka pun mengambil keputusan untuk pergi menghadap dr Rudio yang berpraktek dari jam 16.00 sore sampai malam di rumahnya yang berseberangan jalan dengan kantor CPM. Jalan itulah yang di lewati oleh anak-anak yang pulang pergi dari sekolah. Masri tidak rela kalau isterinya pergi ke pemeriksaan dokter seorang diri, sebab semua orang tahu dari kabar yang banyak beredar, bahwa dr Rudio itu sambil membuka praktek, juga melakukan praktek yang lain. Ini dibuktikan dari hamilnya seorang pasien. Kebetulan saja pasien yang dihamilinya itu, belum punya suami. Lalu mereka selesaikan persoalannya di Kantor Urusan Agama. Mereka melakukan apa yang dinamakan orang "kawin kantor." Dengan begitu, dr Rudio beristeri dua. Sejak itu kata-kata berpoligami semakin dikenal orang di kota kecil kami, artinya seorang laki-laki beristeri lebih dari satu. Isteri dr Rudio yang pertama tidak dilepasnya, sebab parasnya manis dan merupakan hasil percintaan dari pandangan mata pertama di masa muda, sekali pun tidak bisa melahirkan anak. Isterinya yang kedua ini juga harus dipertahankan, sekali pun hanya didapat akibat dari mata gelap sewaktu membuka praktek tambahan, sebab dari sini dia bisa mempunyai keturunan. Pada waktu itu di seluruh kota L hanya ada tiga orang dokter. Di samping dr Rudio, masih ada dr Mularman, Kepala Rumah Sakit Umum dan masih ada lagi dr Ghulam Muhammad seorang dokter bantuan PBB yang berkebangsaan India. Ketiga orang dokter tersebut membuka praktek sore hari di rumah masing-masing. Dokter Ghulam Muhammmad tidak bisa berbahasa Indonesia, dia bisa berbahasa Inggris, karena itu dia memerlukan bantuan juru rawat yang merangkap sebagai penterjemahnya. Dokter Mularman merasa kecewa dengan adanya peristiwa dr Rudio. Sebab peristiwa itu bisa mendatangkan ketakutan pada pasien wanita yang mau datang ke praktek mereka di sore apa lagi malam hari. Menurut dr Mularman, jangan sampai mengganggu pasien. Lebih baik menempuh cara dr Ghulam Muhammmad. Bagi dr Ghulam Muhammad, ketika ada juru rawat pembantunya mendekat, jangan mengelak apalagi menjauhkan diri. Sebab kalau dijauhi berarti menolak rezeki yang datang sendiri. Dengan cara inilah maka dr Ghulam yang berbulu dada lebat dan berbadan tinggi itu bisa menggandeng gadis Melayu yang kecil mungil. Waktu itu semua orang tahu bahwa di kota L sebelum dr Ghulam datang, hanya ada seorang saja orang yang dadanya berbulu lebat seperti dr Ghulam, yaitu seorang laki-laki keturunan India penjual mertabak di Pasar Baru, yang sering dipanggil orang Tambi. Lama-kelamaan baru orang tahu bahwa Tambi itu dalam bahasa Hindu bisa berarti adik. Kembali kepada soal Masri dan isterinya tadi. Melalui pemeriksaan dr Rudio, baru diketahui bahwa Tini, isteri Masri, memang kurang sehat dan perlu pengobatan. Melalui pengobatan inilah baru keinginan mereka mau mempunyai keturunan dikabulkan oleh "yang diatas itu", seperti yang dikatakan Pak Bona dulu. Akhirnya Masri berkesimpulan, untuk apa susah-susah mengumpulkan beras ketan, telur ayam kumbang, pisang emas, kelapa hijau dulu itu, kalau kebahagiaan cukup didapat melalui pengobatan dokter? Sejak itulah Masri meragukan kemampuan tukang baca suratan tangan dan jampi-jampi, sekali pun jampi dalam bahasa Sunda. Zainal, salah seorang dari anak sekolah yang mangkal di Talang Banten, malah tidak senang mendengar Pak Bona menjadi termasyhur karena pandai nujum. Dia ingin sekali membuktikannya. Idenya pun muncul ketika melihat ayam Pak Bona berkeliaran mencari makan di halaman. Oleh Zainal dilemparkannya dua butir nasi kering kearah seekor ayam betina. Nasi itu dimakan oleh ayam betina yang gemuk. Dilemparkannya lagi beberapa butir ke dekat pintu. Dimakan lagi oleh ayam yang itu juga. Terakhir dihamburkannya sisa-sisa nasi kering itu kedalam rumahnya. Ayam betina itu terus masuk mengejar makanan. Zainal menutup pintu. Ayam yang sudah terkurung itu ditangkapnya. Sayap ayam dilipatkannya supaya tidak menggelepar dan mengundang bunyi.Untuk mencegah ayam itu tidak berkeok, ditutupnya keras-.keras paruh ayam tangkapannya. Terakhir ayam itu dipotong dan dimasaknya. Teman-teman yang mengetahui perbuatannya itu, semua diajaknya ikut makan., katanya sebagai upah tutup mulut. Semua yang ikut makan tahu, bahwa harus menjaga kerahasiaan, tanpa perlu dibicarakan. Sehabis makan, Zainal masih juga berbicara, bahwa semua yang ikut makan harus membungkam mulut sendiri-sendiri kalau ada keributan soal hilangnya ayam Pak Bona. Ada yang bertanya kepada Zainal: "Kalau Pak Bona dengan kemampuan nujumnya bisa tahu, kita harus berbuat apa?" Menurut Zainal dia bersedia membayar dua kali lipat harga ayam, asal tidak berurusan dengan polisi. Tapi Zainal memang yakin "asal semua tutup mulut"sambil ditunjuknya mulut salah seorang teman yang ikut makan ayam, "nujuman Pak Bona tidak akan mempan." Setelah waktu berlalu, Zainal merasa senang karena dia bisa membuktikan bahwa Pak Bona tukang nujum tersohor itu tidak berdaya mencari pemakan ayam yang berada di sebelah rumahnya sendiri. S.Manap * * * * *