On 1/22/07, jual gosip <[EMAIL PROTECTED] <jual_gosip%40yahoo.com>> wrote: (EDITED FROM ORIGINAL - KOMENTAR SAYA DI BAWAH)
Tapi ingat, ada hal-hal yang membuat orang China sukses namun dengan cara-cara yang tidak benar. banyak pengusaha China yang membobol bank. Mereka bersedia hanya menerima 50-60 persen dari total kredit yang diajukan sedangkan 40-50 persennya lagi diberikan kepada oknum-oknum bank. Proyek di mark-up, setelah dimacetkan mereka kabur entah kemana. Yang di penjara bankir yang menerima uang suap. saya benci koruptor. Tapi saya menyatakan salut dan mengacungkan jempol kepada Bob Hasan, Probosutedjo, Beddu Amang, Rahardi Ramelan yang bersedia masuk penjara untuk menebus kelakukannya. tapi pengusaha China yang korup? Nggak ada yang masuk penjara. Dia pilih nyuap penegak hukum atau kabur ke luar negeri... persis seperti anjing dibawa penggebug. Makanya yang banyak di umumkan oleh Kejaksaan Agung sebagian besar pengusaha China.... Sekali lagi ini bukan rasis tapi fakta MY COMMENT: (ini maksudnya membahas pengusaha Indonesia yang beretnis keturunan China kan? kalau YA, berikut ini komentar saya..) Pertama-tama: Muhammad "BOB" Hasan, itu asli keturunan China. Jadi, kalau anda mengacungkan jempol padanya, maka anda baru saja membantah komentar anda sendiri. Lagipula banyak tersangka koruptor (dan bukan koruptor) keturunan etnis China yang pernah masuk penjara (seperti Ricardo Gelalel dan Da'i kondang Anton Medan). Dan banyak pula tersangka koruptor (dan bukan koruptor) yang tertangkap (dan belum tertangkap) yang bukan berasal dari etnis China (seperti tersangka pembobol Bank BNI Rp1,7triliun kemarin; Adrian Waworuntu, Jeffrey Baso, Paula Lumowa dan teman-teman) Kedua: Namun demikian, masuk penjara ataupun kabur, saya rasa tidak pada tempatnya bagi siapapun untuk mengacungkan jempol kepada koruptor. Apapun etnisnya. Karena korupsi itu seharusnya bukan untuk diacungi jempol. Ketiga: It takes two to tango. Artinya: Orang tidak bisa korupsi sendirian. Kalau mau membobol bank, apakah tidak perlu bantuan orang dalam? Menurut saya pejabat/eksekutif yang terima sogok atau koruptor yang menyogok sama kelirunya. Terima sogok kan sama juga KKN. Kita tentu juga pernah dengar bahwa ada banyak uang orang Indonesia yang nongkrong bertahun-tahun dengan bunga super kecil di Swiss, USA dan negara-negara lain.. (sumber: info dari teman-teman saya yang jadi bankir di negara-negara tersebut) PENGUSAHA (keturunan etnis apapun) tidak akan sudi mendiamkan uangnya nongkrong di tabungan bertahun-tahun dengan bunga yang kecil... Artinya? Itu uang warganegara Indonesia yang BUKAN PENGUSAHA. Siapa warga negara Indonesia yang BUKAN PENGUSAHA tapi punya uang banyak (sampai jutaan US Dollar) yang rela duitnya nongkrong bertahun-tahun meskipun hanya mendapat bunga kecil? Mungkin - logikanya - warga negara Indonesia yang mendapat duit itu dengan "gratis" alias ngga pake modal alias... pikir sendiri deh... Kalau pengusaha kan pakai usaha... namanya aja pengusaha... Logikanya (dan faktanya) yang BUKAN PENGUSAHA dan bisa dapat fasilitas untuk dapat duit "gratis" itu pasti sebagian besar (kalau tidak semuanya) tidak mungkin keturunan China bukan? Kalau buat saya, yang namanya koruptor, apapun etnisnya, itu semua tidak OK. Saya selalu mendoakan pengusaha-pengusaha (bahasa modern yang lagi naik daun: entrepreneur) yang betul-betul berusaha. Karena cuma mereka yang menambah lapangan pekerjaan dan mengentaskan kemiskinan di tanah air kita tercinta ini. Kalau cuma kuli seperti saya, ya sama-sama masih mengharap gaji dan bayaran.. jadi belum bisa ngasih makan orang lain yang bukan keluarga.. Selain para pengusaha, yang paling saya doakan juga adalah para investor - siapapun orangnya, apapun etnisnya dan dari manapun asal negaranya - yang mau berinvestasi di sektor riil di Indonesia. Bukan cuma investasi di pasar modal saja - karena itu namanya spekulasi, bukan investasi, karena tiap saat bisa ditarik. Yang paling diperlukan negara kita untuk bisa bangkit dari keterpurukan ekonomi adalah FDI - Foreign Direct Investment, alias investasi para investor asing untuk membangun pabrik, mengeksplorasi lahan, menanam modal bisnis di tanah air. Ekonomi kita terjun bebas karena investasi di sektor riil banyak yang lari pada masa krisis. Pabrik-pabrik tutup. Order-order barang ekspor pindah ke negara-negara lain yang dianggap lebih masuk akal: Malaysia (yang lebih mahal dari Indonesia), India, Srilanka, dan Vietnam. Hanya perbaikan ekonomi yang bisa memicu kebangkitan bangsa kita ini. Kenapa? Karena perbaikan pendidikan, taraf kehidupan, keamanan dll semuanya perlu biaya. Dan biaya hanya bisa didapat dari sektor ekonomi. Semua kebaikan memerlukan biaya. Begitu kata eyang saya yang suka bilang kepada saya: "Ngger... Jer Basuki Mowo Beyo..." (Nak... Kebaikan itu memerlukan biaya...) So, persepsi bahwa etnis tertentu lebih hebat dari etnis yang lain itu menurut saya adalah "TIPUAN STATISTIK"... Ada banyak sekali saudara-saudara kita dengan etnis Non-China yang maju dan sukses di Indonesia, tapi karena dari sekitar 230 juta masyarakat ada lebih dari 200 juta beretnis Non-China, sudah barang tentu jumlah orang miskinnya juga lebih banyak.. Di sisi lain banyak sekali juga orang Indonesia dengan etnis China yang sangat miskin (apalagi di Pontianak dan sekitarnya, banyak banget rakyat Indonesia beretnis China yang jadi buruh tani atau buruh tambang dan bahkan pembantu rumah tangga dari pemilik lahan/majikan yang beretnis Non-China..) Tapi, karena jumlah rakyat kita yang TIDAK berasal dari China lebih banyak daripada yang berasal dari etnis China, maka hal ini sering terlewatkan.. Bukti statistik lainnya: 1>Negara China memiliki lebih dari 1 miliar penduduk.. Sebagian besar miskin tuh.. 2>Negara China (RRC) yang konon komunis itu, ternyata lebih berani menghukum koruptor di negaranya.. banyak koruptor di China - yang SEMUANYA orang China - dihukum mati di sana. Ada yang digantung, ditembak, dipancung, kerja paksa, atau dipecat dari jabatannya dan dipenjara bertahun-tahun. Tentu kita masih ingat ada pejabat yang korupsi "cuma" senilai Rp8miliar yang dihukum gantung di China.. (saya baca sudah lama sekali di KOMPAS). Jadi, mungkin yang juga diperlukan oleh Indonesia adalah penerapan hukum yang lebih tegas... (mungkin loohhh, maaf kalau ada yang salah...) PERSEPSI seringkali lebih hebat daripada REALITAS.. Ada baiknya kita menguji realitas sebelum mengklaim sesuatu.. Realitas terbaik adalah angka yang sahih.. Karena seperti kata pepatah lama: NUMBERS DON'T LIE :) Salam hangat Mediacare... Semoga kita semakin care terhadap negara kita... Tabik dari Pecinta Statistik :)