Soal PSC, Cost Recovery dan Cost per Barrel Januari 25th, 2007 — Rovicky DP ("Dongeng Geologi" : http://rovicky.wordpress.com ) <http://rovicky.wordpress.com/wp-admin/post.php?action=edit&post=793>
Soal *Cost Recovery* dalam PSC term (Production Sharing Contract / Kontrak Bagi Hasil) di perminyakan di Indonesia sudah beberapa tahun ini bergejolak. Kita juga barusan kaget adanya berita penyelewengan *cost recovery* yg ditulis di Jawa Pos (Penyimpangan Cost Recovery Rp 18,06 T<http://www.jawapos.com/index.php?act=detail_c&id=267996>.) Waddduh ini kan jumlah yang sahohah. Apa iya bener "bocor" segitu banyak "*ngga terasa*". Tahun lalu aku sudah menulisakan dampak dari sistem *crafting (relinguishment)* dalam PSC term di Indonesia disini <http://rovicky.wordpress.com/2006/03/08/membandingkan-dua-psc-term-antara-indonesia-dan-malaysia/>. Disitu aku dulu menjelaskan mengapa *cost recovery* di Indonesia sangat besar dibandingkan dengan negara tentangganya Malaysia, juga disitu saya juga mencoba menjelaskan mengapa daerah operasi di Indonesia relatif tidak berkembang setelah tigapuluh tahun berproduksi. Kali ini saya coba *udar-udar *lagi satu-satu *- [image: :(] "Nyuwun sewu Dhe, *crafting sytem *itu panganan nopo ta ? + :) "Itu istilah pengembalian daerah (bhoso londone *relinguisment*), Maksudnya begini, daerah explorasi biasanya sangat luas awalnya. * [image: jawatimur-area.jpg]<http://dongenggeologi.wordpress.com/files/2007/01/jawatimur-area.jpg> *Setelah masa eksplorasi awal (misal 4+2 tahun) di Indonesia, kontraktor diwajibkan mengembalikan sebagian daerahnya (partial relinguishment). Dan nanti setelah mendapatkan minyak atau gas maka hanya daerah yg dinyatakan komersil saja yang boleh di"tahan" oleh si kontraktor migas itu. Lah bentuknya itu yang aneh mirip diukir-ukir mulane aku sebut *crafting *(diukir mirip kerajingan tangan). Sedangkan di Malysia pengembalian hanya dilakukan sekali pada saat daerah temuan akan diproduksikan ( *lihat gambar dibawah*). Di Malaysia daerah yg dipertahankan kontraktor hanya sekecil luas daerah lapangan minyaknya saja, di Indonesia yg ditahan 20% dari aslinya".* *Soal PSC (Production Sharing Contract), saat ini lebih dikenal dengan KKS(Kontrak Kerja Sama). * Hampir semua '*mata*' secara alamiah dan lugas akan melihat cara evaluasi dalam sistem PSC terutama soal fiskal, pajak, keuangan dan keekonomian. Di Indonesia yg saat ini dipelototon soal Cost Recovery. Jarang yang nelirik bahwa sistem PSC bukan hanya soal keekonomian. *Tapekno *ya wajar *ta, wong*ini soal bisnis, bisnis itu ya soal *duwik*, soal *money*, soal rupiah *atawa *dollar. Dan memang benar * bottom-line* nantinya ya *duwik * itu juga nantinya. Tetapi pelajaran yang saya ambil dari perbandingan dalam tulisanku itu menunjukkan bahwa *Sistem Relinguishment* lah yang menjadi salah satu sumber utama membengkaknya *cost recovery*. Inget 'salah satu' saja looh ya … 'salah' yang lain barangkali juga ada. [image: perbandingan_my_id.jpg] <http://dongenggeologi.wordpress.com/files/2007/01/perbandingan_my_id.jpg> Nah diatas ini menggambarkan dua daerah yg di Indonesia (di Riau, Sumatra Tengah) dan di Malaysia (Sarawak offshore). Terlihat dua daerah dimana producing area di Indonesia yg di"*pegang*" oleh perusahaan migas jauh lebih besar ketimbang di Malaysia. Mengapa bis begitu ? Ya jawabnya ada ditulisan saya sebelumnya disini <http://rovicky.wordpress.com/2006/03/08/membandingkan-dua-psc-term-antara-indonesia-dan-malaysia/>itu tadi. * Soal Cost Recovery* Apa konsekuensi akibat luasnya daerah yang *dipegang *ini ? Gambar dibawah ini sebagai contoh yang saya ambil dari tulisan saya sebelumnya. Dalam skenario ini menunjukkan sumur W5 dan W6 dibor setelah masa eksplorasi awal 2-6 tahun. Maka yang terjadi adalah *sumur W5 dan W6 menjadi cost recovered di Indonesia, sedangkan di malaysia sumur W5 dan W6 tidak cost recovered. * [image: perbandingan_my_id_2] <http://dongenggeologi.wordpress.com/files/2007/01/perbandingan_my_id_2.jpg> (silahkan di klick untuk memperbesar gambarnya). Dari ilustrasi diatas sangat jelas terlihat pengaruh jumlah uang cost recovery yang dibayarkan oleh negara ke kontraktor. Apakah kotraktor salah ? Jelas TIDAK . Mereka (kontraktor) sangat mungkin melakukan sesuai dengan aturan main di Indonesia. Dan aturan PSCnya lah yang memperbolehkan dengan cara ini. Justru kesalahan bukan di sistem *cost recovery*nya tetapi di sistem *relinguishement*-nya (atau sistem *crafting*nya). Sayangnya, sistem crafting ini sering tidak disadari oleh *host country*(salah satunya di Indonesia). *Soal Cost PerBarel* *Waddduh soal cost ini soal sensitif … lah iya lah, Wong bisnis ya mikirnya soal duwik, kalau bisnis mikir soal mendermakan duwik ya bangkrut nanti. * Cost perbarel di Indonesia dilaporkan oleh BPKP yang aku sitir dari koran : *"Biaya produksi minyak Indonesia per barrel mencapai dollar AS per barrel. Bandingkan dengan di Malaysia yang hanya sekitar 3,7 dollar AS per barrel, atau di North Sea yang paling sulit pun juga hanya sekitar 3 dollar AS per barrel,"* *sedangkan **Menurut Kardaya, biaya produksi minyak di Indonesia justru lebih murah. Biaya produksi di lapangan Chevron Pacific Indonesia hanya sekitar 1 dollar AS per barrel.* Wah, mengapa angkanya beda banget ? Lah iya beda banget yang satu (Pak Kardaya) mungkin melihat *field basis* yang sering masuk dalam POD setiap akan mengembangkan lapangan minyak yang baru diketemukan, sedangkan BPKP mungkin melihatnya dari keseluruhan PSC dimana biaya *ngebor *sumur eksplorasi selama masa produksi inipun dimasukkan sebagai biaya yang harus dibayarkan juga. Ya tentusaja BPKP benar, karena sumur2 eksplorasi didaerah yang saat ini sudah dinyatakan komersial boleh dimasukkan dalam *cost recovery*. Hanya sumur2 yang dibor oleh pemain-pemain PSC baru memang tidak (belum) masuk dalam *cost recovery*. Sebagai gambaran riil, dalam periode tigabulan terakhir tahun lalu saja (oct-Dec) ada sekitar 10 operasi pengeboran, dimana mungkin 70% diantaranya merupakan pengeboran eksplorasi didaerah yg sudah dinyatakan komersial. Artinya sumur2 eksplorasi inipun termasuk *cost recovery*. Dan akan masuk dalam perhitungan BPKP. *Indovidual field basis economic evaluation*, mungkin tidak akan memasukkan faktor itu. Nah ketika membandingkan dengan negara tetangga Malaysia, tentusaja biaya ngebor sumur saat ini jauuuh lebih besar dari tahun-tahun sebelumnya. Pernah juga saya tulis sebelumnya disini<http://rovicky.wordpress.com/2006/10/18/is-the-oil-boom-over-1/>. Silahkan tengok Newsweek edisi 9 October 2006. - *Drilling Rig Cost* (biaya pengeboran) : di Gulf Mexico kenaikan 400%, di North Sea 130%, Semi Sub (Rig besar utk deepwater) meningkat menjadi 180%. - *Equipment Cos*t (biaya alat) : Pompa naik 19%, Pipa standard naik40%, Pipa khusus naik 50%. - *Construction Cost* (biaya konstruksi) : Biaya pekerja naik 25%, biaya konstruksi baja naik 75%, biaya manajemen projek naik 85%. *Employee related cost (biaya/pengeluaran yg berhubungan dengan kepegawaian) * Kalau diskusi ini dimasukkan dalam diskusi para ahli perminyakan, yang paling sering disoroti adalah banyaknya "bule-bule" yang bekerja di Indonesia. Jelas satu orang bule ditengarai berbiaya 10 kali lipat biaya pegawai lokal. Lah *wong asing* tentunya harus dijaga khusus, rumah mewah, supir dan sebagainya. Lah iya wajar mereka yg punya duwik. Namun kalau mau detil diperhatikan sebenernya *employee related cost* dalam sebuah anggaran perusahaan migas sangatlah kecil. Perkiraan saya hanya sekitar 3% dari anggaran total operasi. Saya tidak mengetahui angkanya pasti, namun saya yakin biaya pengeboran dan survey seismic merupakan biaya yang suangat besar dalam sebuah anggaran perminyakan selain konstruksi pembangunan fasilitas produksi. Jadi issue ERC yang tiggi akibat banyaknya bule di Indonesia kurang signifikan dampaknya pada *cost recovery*. *- [image: :(] "Lah trus pripun dhe kesimpulane ?" + [image: :)] "Lah ya sakmestinya melihat *cost recovery* jangan hanya dikertas angka-angka saja, tetapi sistem PSC (KKS) itu merupakan sebuah sistem strategis jangka panjang. Bagi host country (negara tuan rumah), sistem ini berjangka tak hingga, bagi si kontraktor hanya parsial 20-30 tahun saja"* - :("*maksudte soal bule-bule niku leh*"* + [image: :)] " Hallah kowe ki nek urusane karo gaji wae meri karo bule, nek kon mbut ge njaluk padakke kanca wae" -:( "… ugh … Pakdhe nyenyengit !! … mbak ya njenengan mbalik ke Indonesia, ta" ….* *Sakiyun mbesengut … [image: :)] * *Nah sekarang ada lagi ROC - Recovery over Cost* - [image: :(] "*Waddduh nopo malih niku Pakdhe* ?" Di Malaysia juga ada Cost Recovery, tetapi namanya ROC … maksudnya baiaya yang akan diganti (*recovery*nya) tergantung dari besarnya biaya. Maksudnya begini, jumlah yang akan di recovery berubah mengecil ketika costnya membesar. Dengan demikian terjadi auto control terhadap cost. Lah iya kan ? Si Kontraktor *ngga *mau costnya tinggi, karena kalau* cost*nya tinggi maka yang diganti malah jadi kecil. Kontrol efisiensi akan berjalan dengan sendirinya tanpa harus repot-repot mengawasi AFE yang sangat mudah eh sangat mungkin digelembungkan. *+ [image: :)] "Lah saiki wis eruh ta Le ? Nek durung ngerti dibaca meneh, dibaleni dari atas" *- [image: :(] "* Waaaks, mumet Dhe !"* -- http://rovicky.wordpress.com/