Kolom IBRAHIM ISA
Jum'at, 26 Januari 2007
-----------------------------------

Betulkah  Ada   'DEWAN REVOLUSI' ?
Sejak Letnan Kolonel Untung, Komandan  Batalyon Cakrabirawa,  Pasukan
Pengawal Presiden, bersama rekan-rekannya,  kebanyakan dari Angkatan
Darat, membentuk 'Dewan Revolusi' melalui suatu gerakan militer yang
diberi nama oleh para pelakunya sebagai GERAKAN 30 SEPTEMBER (1965), 
-----  perkataan  -    'D e w a n   R e v o l u s i '   -   selalu
dikaitkan dengan tudingan tertuju pada  PKI atau  Presiden Sukarno.
Perhatikan, pada periode Orba  ---   kata  'Dewan Revolusi' --  itu
adalah    t a b u   untuk  diungkit atau   dikutak-katik kembali,
selain menurut versi Orba.

Di sepanjang periode rezim Orba, apalagi sesudah jatuhnya Jendral
Suharto, terdapat dua versi yang bisa dibilang versi-versi utama
mengenai 'Dewan Revolusi' dan 'G30S'  yang melahirkannya. Satu
terhadap yang  lainnya versi-versi tsb  diametral bertentangan. Masih
ada beberapa versi lainnya. Satu versi yang diutarakan oleh a.l.  s.k.
Harian Rakyat ketika itu (1965), dan Sudisman, anggota DH PB CC  PKI 
yang diajukan ke sidang Mahmilub (1967), dan oleh sementara pelakunya,
 seperti Lt Kol Untung dan Brigjen Supardjo, ialah : Gerakan 30
September, adalah 'soal intern Angkatan Darat'  yang tujuannya adalah
 untuk mencekal rencana kudeta Dewan Jendral terhadap Presiden
Sukarno, dan untuk membela Presiden Sukarno. 

Versi satunya lagi,  adalah versi Orba yang menjadi versi resmi selama
30 tahun lebih:  --- 
'G30S' adalah  suatu percobaan kup, suatu makar  perebutan kekuasaan
negara oleh  PKI. 

Lain kali,  kita  bisa kembali lagi ke soal ini.

*    *    *

Bagaimana sekarang? 
Bagaimana situasinya, setelah  berlangsungnya gelora gelombang dahsyat
Gerakan Reformasi dan Demokratisasi, melalui suatu gerakan massa luas,
yang didukung sementara elemen dalam angkatan bersenjata sendiri,  dan
telah memaksa Presiden Suharto turun panggung? 

Sejak  Jendral Suharto jatuh, dalam situasi baru lahirnya kebebasan
pers  yang merupakan salah satu produk penting gerakan Reformasi dan
Demokratisasi, terbukalah kesempatan bagi siapa saja, untuk menulis
dan dengan bebas mengutarakan analisis dan tafsirannya sendiri
terhadap  kata dan peristiwa terbentuknya 'DEWAN REVOLUSI' (1965). 

Munculnya kembali kata 'Dewan Revolusi'  tsb baru belakangan saja
terjadi.  Memang sesuatu yang ironis. Kata yang dalam waktu panjang 
adalah 'tabu', tiba-tiba mencuat lagi. Anehnya,  hal itu dipandang
sebagai 'ulahnya' sementara perwira tinggi TNI. Juga dianalisis
sebagai  'satu jurus diikuti oleh jurus-jurus ofensif politik' yang
dialamatkan kepada  pemerintah SBY.  Maka diaturlah suatu 'pertemuan
khusus'  para penanggung jawab militer fihak pemerintah dengan para 
mantan perwira tinggi  TNI.  

Sebelumnya,  sudah tampak jelas  bahwa kegairahan sementara kalangan
di TNI (ini jelas pada sementara  mantan perwira tingginya), suatu
idam-idaman tak pernah padam, yaitu:  Untuk kembali turut ambil bagian
(aktif, kalau bisa memimpin) dalam kegiatan dan kehidupan politik
negeri. Kegairahan, bahkan langkah-langkah yang diambil dari  situ, 
bukan sesuatu yang disembunyikan. Juga bukan sesuatu yang negatif
Dalam kehidupan politik di banyak negeri yang memberlakukan sistim
politik demokrasi,  ikut sertanya perwira-perwira tinggi angkatan
bersenjata yang  s u d a h   b e r s t a t u s s i p i l  ,  yang
sudah purnawirawan, ---  adalah sesuatu yang  dibolehkan oleh
undang-undang dan hukum.  Maka kegiatan itu adalah wajar dan
sepenuhnya legal. Dengan catatan, selama kegairahan dan kegiatan dari
yang bersangkutan tidak dilakukan ketika sedang  dalam dinas aktif
militer serta  tidak menyalahgunakan kedudukannya itu. 

Bukankah Presiden RI  yang kelima sekarang ini, --- Susilo Bambang
Yudhoyono ---,  sebelumnya adalah seorang perwira tinggi yang aktif,
kemudian, sebagai Jendral  purnawirawan, sebagai orang sipil, 
menjabat kedudukan menko dan kemudian jadi Presiden RI, melalui
pemilihan langsung.

*   *   *

Pada parpol-parpol yang kuasa atau pernah kuasa, seperti PDI-P dan
Golkar, bisa disaksikan  sejumlah mantan perwira tinggi TNI, duduk 
dengan bangganya disitu. Juga parpol-parpol tsb merasa bangga bisa
'menarik' sejumlah perwira tinggi TNI,  meskipun sudah purnawirawan.
Para mantan jendral itu bahkan  sampai bisa duduk di dalam pimpinan
parpol tsb. Partai Demokrat yang kini berkuasa, pimpinan utamanya
adalah mantan Jendral TNI. Sementara parpol jelas sekali menjadikan
kontak dan relasi mereka dengan para mantan petinggi TNI, bahkan
dengan yang masih akitf sekalipun, sebagai program (intern) penting
parpol mereka. Inipun bukan sesuatu yang aneh,  bukan sesuatu yang
harus 'ditabukan'  membicarakannya secara terbuka, karena sejarah
politik Republik ini, benang merahnya  berkisar a.l di sekitar peranan
angkatan bersenjatanya. Baik yang positif maupun yang negatif.

Bolehlah ditarik pelajaran dari pengalaman berikut ini: Letkol Untung
melalui G30S membentuk Dewan Revolusi, yang dimakudkan sebagai
kekuasaan baru di Indonesia, yang lebih baik dan lebih maju. Oleh
fihak lawannya hal itu dinyatakan sebagai suatu usaha kup. 'G30S'  
telah gagal melaksanakan ide-ide politik dan ekonomi yang tercantum
dalam siaran 'DEWAN REVOLUSI'  ciptaan G30S. 

Lalu ada 'kontra-kup' yang dilakukan oleh Jendral Suharto dkk, yang
jelas-jelas mengambil oper kepemimpinan TNI, dengan membangkang,
dengan melakukan insubordinasi terhadap atasannya,  pemimpin 
tertinggi  pemerintah, tentara dan negara, yaitu Presiden Sukarno.
Jendral Suharto jelas-jelas menyalahgunakan jabatan dan kedudukannya
sebagap Panglima Kostrad TNI untuk merebut kekuasaasn politik negara.
Sama-sama menggunakan jabatan militernya untuk sesuatu rencana,
tetapi, bedanya,   Lekol Untung gagal;  Mayjen  Suharto berhasil, dan
menjadi penguasa Indonesia  lebih dari 30 tahun, melalui pembentukan
tumpuan politik Golkar dan pemilu-pemilu rekayasa. 

Tetapi akhirnya Jendral Suharto tokh  babak-belur dilanda oleh gerakan
massa yang luas. Ia ditinggalkan pendukung-pendukungnya,  terguling
dan kini menghadapi tuntutan gerakan Reformasi dan Demokratisasi,
untuk mempertanggungjawabkan pelanggaran hukum HAM terbesar dan korupsi.

*   *   *

Di lihat dari 'aturan main' negara hukum, asal saja tidak menyalah
gunakan jabatan dinasnya,  asal saja sudah tidak lagi dalam dinas
militer, maka keinginan, hasrat, ambisi untuk aktif dalam politik dan
akhirnya ikut jadi penguasa, itu sama sekali tidak ada salahnya. Lihat
saja Presiden Dwight D. Eisenhower dari AS. Setelah menanggalkan
pakaian seragamnya,  menjadi orang sipil, ia dicalonkan oleh Partai
Republik dan dengan gemilang memenangkan pemilihan Presiden AS (1952). 

Mari lihat pengalaman Venezuela dengan  Presiden Hugo Rafael CHAVEZ
Frias. Ini pengalaman unik. Karena Chavez  pernah sekali tempo 
'menyalahgunakan' jabatannya dalam tentara untuk melakukan kup,  suatu
perebutan kekuasaaan yang gagal (1992). Orang bilang, bedanya Chavez 
dengan Letkol Untung, --  Chavez tidak berakhir dihadapan regu tembak
penguasa. 

Tetapi  6  tahun kemudian (1998) bahkan berhasil  menjadi Presiden
Venezuela sebagai hasil pemilihan umum. Kemudian terpilih lagi (2002)
dan terpilih lagi (2006).  Kiranya ini disebabkan karena Chavez
jelas-jelas berfihak pada rakyat miskin. Dan rakyat ada waktu cukup 
untuk mengenal gerakan politik Chavez yang punya visi sosial-demokrasi
(sosdem), mempromosikan ide integrasi negeri-negeri dan bangsa-bangsa
Amerika Latin. Sebagai kongkritisasi kerjasama sesama bangsa-bangsa
miskin di  dunia ini, teristimewa di Amerika Latin. Yang  dikenal
rakyat, juga adalah bahwa Chavez konsisten  berpegang pada  politik
anti-imperialisme. Jelas,  yang dimaksudkan Chavez adalah imperialisme
Amerika Serikat. Chavez menarik pelajaran penting dari kegagalan
kupnya. Ia mendirikan suatu gerakan politik yang Kiri. Yaitu Gerakan
Republik Kelima. Gerakan Kiri ini pro-rakyat miskin dan
anti-imperialisme (AS). 

Suatu pelajaran baik yang perlu ditarik. Sama halnya dengan Castronya
Cuba. Meskipun berada di depan moncong singa AS,  ----  baik Castro
maupun Chavez, sedikitpun tidak takut, tidak gentar menghadapi Amerika
yang mengancam  dan berbuat untuk menggulingkannya. Dengan tegas dan
berani melawan politik imperialisme AS. Ini penting bagi para elite
kita yang melihat AS sebagai satu-satunya superpower, oleh karena  itu
ketakutan bukan main terhadap AS,  sambil menunjuk pada nasib Presiden
Sukarno. Lihat itu  Presiden Sukarno, kata mereka,  --  karena
berani-berani melawan imperialisme AS,  berani meneriakkan 'go to hell
with your aid', akhirnya terguling. 

*   *   *

Di Indonesia dewasa ini, formilnya, tidak ada lagi wakil TNI di dalam
Dewan Perwakilan Rakyat. Wewenang keamanan dalam negeri telah kembali
di tangan Polisi. Secara umum, konsep 'Dwifungsi Abri'  dinyatakan
tidak lagi merupakan garis politik negara/TNI. 'Dwifungsi Abri  sudah
'cacad',  bahkan bangkrut.  Disebabkan oleh penyalahgunaan 
sejadi-jadinya kedudukan dan lembaga TNI,  pada periode Orba. 
Pengalaman yang tak terlupakan ialah bahwa pelaksanaan 'Dwifungsi
Abri'  berarti  TNI kuasa dimana-mana dan  disegala bidang. 'Dwifugnsi
Abri'  menjadi sama dengan korupsi besar-besaran di bawah lindungan
kekuasaan senjata.  'Dwifungsi Abri'  menjadikan tidak sedikit
perwira-perwira  TNI dalam  sekejap mata  menjadi 
pengusaha-pengusaha, pemegang saham  dan buisnessmen yang kaya raya.
'Dwifungsi Abri'  identik dengan pelanggaran HAM. 'Dwifungsi Abri', 
sama dengan yang punya senjata, main kuasa; mengubah Republik
Indonesia menjadi negara 'impunity'. 'Dwifungsi Abri'  telah mengubah
negara ini  menjadi suatu  sistim  kekuasaan dan kultur politik,
dimana berlangsung supremasi militer.  

Akibat penyalahgunaan jabatan militer dan  polisi di zaman
pemerintahan Presiden Jendral Suharto, maka nama  baik TNI dan Polisi
telah pudar bahkan  rusak samasekali. 

Pada zaman Revolusi Kemerdekaan nama TNI harum.  Tentara dan Polisi
Republik Indonesia adalah salah satu sokoguru negara yang baru
diproklamasikan. TNI merupakan  salah satu kekuatan tangguh dalam
mencapai dan membela kemerdekaan Republik Indonesia. Bangsa kita
melihat TNI   sebagai  kekuatan  bersenjata asal rakyat, yang lahir
dari Revolusi Kemerdekaan.  Di bawah  pemerintahan sipil,  bersama
rakyat,  TNI   berhasil  membela negara Republik Indonesia, dari
Sabang sampai Merauké; mengalahkan gerakan pemberontakan Darul Islam
dan Tentara Islam Indonesia yang hendak mendirikan negara Islam
Indonesia; menghancurkan pemberontakan  separatis RMS, mengalahkan
pemberontakan PRRI/Permesta yang dibiayai dan dipersenjatai oleh CIA.
TNI  merupakan elemen penting dalam perjuangan semesta bangsa
mengembalikan Irian Barat ke pangkuan Ibu Pertiwi. 

Maka  patut disambut  adanya usaha -- <seyogianya tidak hanya dalam
kata-kata, tetapi dalam perbuatan nyata; seperti penghapusan
perusahaan-perusahaan militer, penghapusan kodam-kodam, kodim-kodim
sampai ke bawah, yang menyebabkan adanya 'kekuasaan kembar
terselubung'  dari pusat sampai ke desa-desa>, ----- untuk
mengembalikan nama baik TNI seperti  halnya ketika pada waktu Revolusi
Kemerdekaan. 

*   *   *

Kembali muncul pertanyaan: Bagaimana sekarang?
Di saat ini, seperti bisa dibaca dalam media, diisukan adanya
usaha-usaha yang menyangkut mantan perwira tinggi TNI. Dikatakan
mereka itu  berrencana melakukan sesuatu yang tidak benar. 

Di bawah judul 'TERSENGAT GOSIP MAKAR'  Tempo Interaktif  (25-01-07) 
memberitakan bahwa, Pemerintah menanggapi isu Dewan Revolusi dengan
mengumpulkan para sesepuh militer. Ketika para sesepuh militer
ditanyai wartawan,  tentang apa saja yang dibicarakan dalam pertemuan
para mantan jendral dengan Menteri Koordinator Politik Hukum dan
Keamanan Laksamana TNI (Purn.) Widodo Adi Sucipto,  diperoleh
keterangan sbb: 

Kepala Badan Intelijen Nasional (BIN) Mayjen (Purn.) Syamsir Siregar
menjelaskan isi pertemuan adalah membicarakan isu rencana makar dari
Dewan Revolusi yang dibuat para purnawirawan. Dewan Revolusi ini
dipimpin Jenderal (Purn.) Tyasno Sudarto, mantan Kepala Staf Angkatan
Darat.

Namun keterangan  Mayjen (purnawirawan) Syamsir Siregar, yang menyebut
namanya sehubungan dengan berita tentang 'makar',  itu telah dibantah
tegas oleh Jendral (Purnawirawan)  Tyasno Sudarto.

*   *   *

Berita yang terdapat di media  tentang dugaan  adanya 'makar', 
berlangsung dalam periode yang sama  dengan maraknya kritik dan
aksi-aksi terhadap pemerintahan SBY. Kemudian  bisa dibaca pula
bantahan pengeritisi SBY yang menegaskan bahwa  pemerintah SBY agak
'kebablasan'  dalam menanggapi kritik-kritik tsb,  halmana bisa
dilihat  dari timbulnya kekhawatiran pemerintah akan adanya 'makar' . 

Dalam situasi seperti ini, ketimbang memasuki  suatu kasus, yang masih
merupakan isu belaka; kiranya lebih bermanfaat untuk berkomentar, 
seperti yang ditulis dalam kolom ini.

Amsterdam, 26 Januari 2007.

*   *   *

Kirim email ke