http://jawapos.com/index.php?act=detail_c&id=268792
Senin, 29 Jan 2007,
Pemerintah Terbitkan PP Kewarganegaraan


JAKARTA - Pemerintah menerbitkan aturan pelaksana UU No 12 Tahun 2006 
tentang Kewarganegaraan. Setelah ditunggu hampir enam bulan, akhirnya terbit 
juga Peraturan Pemerintah (PP) No 2 Tahun 2007. PP yang dikeluarkan 2 
Januari 2007 itu mengatur tentang Tata Cara Memperoleh, Kehilangan, 
Pembatalan, dan Memperoleh Kembali Kewarganegaraan Republik Indonesia.

Produk hukum tersebut merupakan yang pertama setingkat PP sebagai pelaksana 
UU Kewarganegaraan. Itu sekaligus melengkapi Peraturan Menteri (Permen) 
Hukum dan HAM No 1 dan 2 Tahun 2006 yang dikeluarkan 22 September 2006. 
Permen No 1 tentang tata cara pendaftaran untuk memperoleh kewarganegaraan. 
Sedangkan Permen No 2 mengatur tentang tata cara penyampaian pernyataan 
sebagai warga negara Indonesia (WNI).

Penerbitan PP No 2 sekaligus mencabut PP sejenis yang mengatur 
kewarganegaraan. Yakni, PP No 67 Tahun 1958 dan PP No 13 Tahun 1976 tentang 
Pelaksanaan UU Kewarganegaraan yang lama.

Berbeda dengan dua permen, PP No 2 lebih detail mengatur tata cara perolehan 
hak-hak kewarganegaraan RI, termasuk memuat beberapa ketentuan yang tidak 
diatur dalam undang-undang. Di antaranya, mekanisme perolehan WNI bagi anak 
angkat, usul menjadi WNI bagi orang asing yang berjasa bagi pemerintah RI, 
perolehan WNI bagi orang Indonesia yang dicabut status kewarganegaraannya, 
dan tenggat waktu pengajuan status WNI.

Dalam PP diatur keharusan pemohon kewarganegaraan melampirkan surat 
keterangan keimigrasian untuk menerangkan pemohon bertempat tinggal lima 
tahun berturut-turut atau minimal 10 tahun tak berturut-turut. Selain itu, 
PP mensyaratkan pemohon menyertakan surat keterangan berbahasa Indonesia. 
Praktis, dengan syarat terakhir itu, orang asing yang ingin menjadi WNI 
mutlak harus bisa berbahasa Indonesia.

Sayang, di antara beberapa ketentuan baru tersebut PP itu tidak mengatur 
penetapan biaya perolehan WNI yang selama ini dikeluarkan para pemohon, 
termasuk warga Tionghoa dan pasangan suami istri (pasutri) perkawinan 
campuran. Padahal, penetapan biaya diperlukan untuk menghindari praktik 
pemerasan oknum pejabat terkait.

Terkait perolehan WNI bagi anak angkat, dibeberkan secara detail dalam PP 
yang ditandatangani Mensesneg Yusril Ihza Mahendra tersebut. Sesuai 
ketentuan pasal 24, anak angkat WNA dapat menjadi WNI jika telah berusia 
lima tahun. "Untuk memperoleh status WNI, orang tua anak angkat mengajukan 
permohonan kepada menteri melalui pejabat yang wilayah kerjanya meliputi 
tempat tinggal pemohon," jelas ketentuan PP tersebut. Selain kelengkapan 
identitas orang tua angkat, pemohon harus menyertakan surat keterangan 
tempat tinggal dari camat setempat. Dan, syarat lain adalah surat keterangan 
dari perwakilan negara anak bahwa tidak keberatan anak yang bersangkutan 
memperoleh status WNI.

Sedangkan mekanisme perolehan WNI bagi orang asing yang berjasa bagi 
pemerintah RI diatur dalam pasal 13 hingga 23. Mekanismenya, harus didahului 
pertimbangan dari DPR kecuali kewarganegaraan sebelumnya menganut sistem 
ganda.

Kriteria "berjasa" bagi pemerintah RI adalah punya prestasi luar biasa di 
bidang kemanusiaan, ilmu pengetahuan dan teknologi, kebudayaan, lingkungan 
hidup, dan keolahragaan. "Selain itu, status WNI dapat diberikan bagi orang 
asing yang berjasa memantapkan kedaulatan negara dan meningkatkan kemajuan 
di bidang perekonomian Indonesia," jelas ketentuan pasal 14. Orang asing 
tersebut harus mengucapkan sumpah dan menyatakan janji setia terhadap 
pemerintah RI sebelum mendapat status WNI.

Sementara itu, terkait tenggat waktu perolehan WNI, PP No 2 mengatur pada 
pasal 5, yakni prosesnya maksimal 45 hari sejak permohonan diajukan. Menkum 
dan HAM menjadi pejabat berwenang untuk memeriksa substantif dan meneruskan 
permohonan ke presiden.

Dimintai komentar, Ketua Keluarga Perkawinan Campuran (KPC) Melati Enggi 
Holt mengatakan, apresiasinya terhadap terbitnya PP tersebut. Sebab, dengan 
PP tersebut, beberapa permasalahan terkait mekanisme perolehan WNI dapat 
terjawab. Khususnya bagi mereka yang lahir setelah penerbitan UU 
Kewarganegaraan. "Tetapi, untuk status kewarganegaraan bagi perkawinan 
campuran, sebenarnya tidak ada masalah. Kami justru menginginkan pemerintah 
segera mengeluarkan PP tentang pelepasan status WNI bagi anak hasil 
perkawinan campuran," kata Enggi kepada koran ini kemarin.

Menurut dia, belum ada mekanisme pelepasan anak hasil perkawinan campuran. 
Itu membuat anak hasil perkawinan campuran yang mendekati usia 18 tahun 
harus menunggu kepastian hukumnya. "Kami belum tahu, bagaimana mekanismenya, 
apakah paspornya nanti diserahkan ke pejabat berwenang atau bagaimana," kata 
Enggi. (agm)


Reply via email to