Beberapa waktu lalu di Indonesia sempat ramai kasus digunakannya formalin
dalam pembuatan bakso dan tahu, kali ini yang tidak kalah mengerikannya
adalah ditemukannya klorin dalam beras. Klorin adalah salah satu zat kimia
yang bersifat racun bagi tubuh dan juga bersifat karsinogenik (menyebabkan
kanker).

Semoga info ini bermanfaat.

salam

Jati

--------------
*Beras Kita Berklorin* <http:///>
http://www.liputan6.com/view/8,136577,1,0,1170069718.html

Liputan6.com <http://liputan6.com/>, Jakarta: Di tengah tersendatnya masa
panen dan melambungnya harga beras, sebuah kabar mengejutkan datang dari
Kota Tangerang, Banten, awal Januari silam. Di sejumlah pasar tradisional
seperti Pasar Anyar, Malabar dan Ciledug beredar beras yang mengandung bahan
pemutih berbahaya: klorin! Tak urung temuan Suku Dinas Pengawasan Obat dan
Makanan Kota Tangerang itu membuat banyak pihak terperangah.

Dari sepuluh sampel beras berbagai jenis dan harga yang diteliti bisa
disimpulkan, tak satu pun beras-beras itu yang tidak terkontaminasi klorin.
Padahal, bahan kimia ini tidak diperuntukkan sebagai campuran makanan karena
bersifat racun bagi tubuh. Menurut Kepala Sudin POM Kota Tangerang Wibisono,
bila beras ini dikonsumsi terus menerus dalam jangka waktu lama bisa
mengganggu fungsi pencernaan, hati, dan ginjal [baca: Di Tangerang Ditemukan
Beras Berpemutih <http://www.liputan6.com/view/7,135551,1,0,1169960491.html>
].

Penelusuran Tim *Sigi* ke sejumlah pedagang beras dan pengusaha penggilingan
padi di berbagai tempat menemukan fakta zat pemutih yang melekat pada
beras-beras itu tidak muncul dengan sendirinya. Penggunaan klorin adalah
bagian dari praktik curang sejumlah pedagang beras dalam upaya menaikkan
harga. Selain itu, umumnya beras-beras polesan tersebut merupakan beras stok
lama yang sudah berbau dan rusak karena terlalu lama disimpan.

Dibandingkan dengan beras biasa yang terlihat kusam, beras berpemutih memang
lebih laris dan harganya bisa melonjak hingga Rp 500 per kilogram. Jadi,
tinggal dihitung besarnya keuntungan tambahan jika seorang pedagang bisa
menjual puluhan ton beras polesan dalam sehari.

Sejumlah pedagang dan pengusaha penggilingan padi memberi kesaksian bahwa
praktik memoles beras dengan pemutih sudah menggejala di banyak tempat.
Jadi, tak ada jaminan kalau beras-beras itu hanya beredar di pasar
tradisional dan di Kota Tangerang. Kuat dugaan beras yang sama juga beredar
di Jakarta, Bogor dan Bekasi, Jawa Barat. "Di warung-warung kecil juga ada,"
ujar Sarmulih, seorang bandar beras.

Selain itu, para petani ternyata juga sudah lazim menggunakan zat pewangi.
Bahkan, praktik ini dilakukan secara lebih terbuka. Menurut Direktur Pusat
Riset Pangan dan Pertanian Asia Tenggara (Seafast) Purwiyatno Hariyadi,
dalam praktik ini sangat jelas adanya unsur menipu konsumen. "Seolah-olah
dikesankan itu adalah beras wangi," ujar Purwiyatno.

Untuk membuktikan kebenaran kabar itu, Tim Sigi membuntuti seorang pedagang
beras besar di Kota Karawang, Jabar, saat berbelanja beberapa jenis bahan
kimia. Ansor, sebut saja namanya begitu, membeli 250 gram kristal pemutih
beras, sitrun dan setengah kilo pewangi beraroma pandan di dua toko kimia
berbeda yang menjadi langganannya.

Sesampai di rumah Ansor pun mulai mengolah beras kusam menjadi bening.
Setiap 20 liter air yang akan digunakan untuk merendam beras, dia
mencampurkan dua sendok makan klorin dan sitrun. Sedangkan zat pewangi
dicampurkan sebanyak 50 mili liter untuk setiap 10 liter air. Takaran itu
cukup untuk mengubah satu ton beras biasa menjadi putih mengkilat serta
wangi.

Tahapan selanjutnya adalah merendam beras dengan campuran zat kimia
tersebut. Beras yang telah dipoles kemudian dikeringkan dengan cara ditabur
sembari disemprot menggunakan campuran pewangi untuk kemudian kembali
diaduk. "Beras harus didiamkan selama satu malam biar kering sebelum
dimasukkan ke dalam karung," jelas Ansor.

Soal keuntungan, menurut Ansor, setiap satu ton beras yang dipoles bisa
menambah pemasukan Rp 300 ribu. Itu merupakan keuntungan bersih setelah
dikurangi biaya-biaya lainnya. Keuntungan akan makin bertambah jika
beras-beras itu juga diberi pewangi, sehingga harganya makin terkatrol.
Nilai nominal itu jelas sangat menggiurkan, apalagi dalam satu bulan,
seperti pengakuan Ansor, dia bisa memoles setidaknya 40 ton beras.

Seorang pedagang lainnya, sebut saja Endang, menuturkan hal yang sama.
Praktik memoles beras yang dilakukannya bermula dari ikut-ikutan teman
sesama pedagang beras. Dia mengaku tergoda untuk memoles karena beras yang
dihasilkan terlihat lebih bagus. "Kalau tidak pakai pemutih harganya di
bawah," jelas Endang.

Di balik warna mengkilat yang menggoda, dia mengakui banyak kekurangan dari
beras yang telah dipoles, seperti tidak tahan lama. Ini dimaklumi karena
saat dipoles beras-beras itu sudah direndam air sehingga harus segera
dikonsumsi. "Beras yang dipoles juga terasa kurang enak kalau dimakan,"
imbuh dia.

Di pasaran, klorin banyak diperjualbelikan dalam bentuk kalsium hipoklorida
atau yang dikenal para pedagang kimia sebagai kaporit. Wujudnya bisa berupa
bubuk atau briket padat. Bentuk klorin lain ada dalam senyawa kimia sodium
clorite yang berbentuk kristal putih. Ada pula klorin murni yang berbentuk
gas berwarna kekuning-kuningan. Tapi, klorin jenis ini langka dan sangat
mahal, sehingga kecil kemungkinan dipakai para petani.

Klorin sendiri sebenarnya zat kimia yang berfungsi sebagai desinfektan atau
pembunuh kuman. Zat kimia ini bersifat racun bagi tubuh yang dalam
perdagangan internasional disimbolkan dengan lambang tengkorak. Kendati
demikian, di Indonesia klorin bisa diperjualbelikan secara bebas lantaran
tak ada larangan untuk itu.

Menurut Ketua Asosiasi Pedagang dan Pemakai Bahan Berbahaya, Philipus P.
Soekirno, bahan pemutih berupa kaporit atau klorin lazimnya digunakan untuk
membunuh bakteri dalam air. Selain itu kerap pula digunakan pada industri
tekstil serta untuk menyegarkan ikan. "Klorin sebagai bahan pengawet sama
sekali belum pernah dibahas," jelas Philipus.

Kalau kemudian klorin digunakan untuk memutihkan beras, menurut Philipus
adalah satu masalah dari sekian masalah yang timbul akibat tidak jelasnya
regulasi yang dibuat pemerintah. Hingga kini, belum ada aturan tegas yang
menyoal tentang bisnis zat berbahaya di Indonesia. "Ini persoalan besar yang
harus diselesaikan pemerintah," tegasnya.

Penelusuran Tim Sigi ke sejumlah pedagang beras yang menggunakan pemutih
juga mendapati kristal pemoles yang bertahun-tahun dipakai ternyata memiliki
bau dan bentuk berbeda dibandingkan klorin yang lazim diperjualbelikan
pedagang bahan kimia. Bentuknya bening dan tidak mengeluarkan bau menyengat
seperti klorin.

Purwiyatno yang disodori sejumlah bentuk beras berklorin dan yang
menggunakan kristal pemutih, dari bau dan fisiknya kristal pemutih itu bukan
jenis klorin. "Itu mungkin zat lain, tapi kita belum tahu," ujar dia. Yang
jelas, Purwiyatno memastikan bahwa beras akan kehilangan kandungan gizinya
jika dipoles hingga putih bersih.

Ironisnya, pemerintah belum melihat kasus beras yang terkontaminasi zat
kimia klorin sebagai masalah besar. Bahkan, antara Departemen Pertanian dan
Badan POM justru seperti saling lempar tanggungjawab. Deptan merasa tanggung
jawab menarik beras-beras berpemutih itu ada di tangan Badan POM.
Sebaliknya, Badan POM menilai Deptan yang sebenarnya memiliki kewenangan itu
[baca: Badan POM Tidak Berwenang Menarik Beras
Berpemutih<http://www.liputan6.com/view/3,135883,1,0,1169960491.html>
].

Terlepas dari masalah itu, yang jelas penelitian untuk menelisik lebih dalam
akibat mengkonsumsi beras berklorin terus dilakukan. Termasuk untuk menjawab
apakah kandungan klorin bisa hilang setelah beras dimasak menjadi nasi.

Meski hasil penelitian Dinas Kesehatan Kota Tangerang baru akan dirilis
pekan depan, Tim Sigi sudah mendapatkan bocoran informasi. Disebutkan,
klorin tetap melekat sampai beras itu telah dimasak menjadi nasi. Hanya
saja, kadarnya memang sudah berkurang.

Namun, apa pun alasannya, praktik ini tetap saja tidak dibenarkan, baik dari
sisi hukum dan kesehatan. Perlu ada langkah tegas untuk menyelamatkan
masyarakat dari praktik penipuan ini. Langkah itu bisa diawali dengan
mempertegas regulasi peredaran zat kimia berbahaya serta memberi sanksi
hukum bagi petani yang dengan sadar telah merusak kesehatan
konsumen.(ADO/Tim Sigi SCTV)

Kirim email ke