http://jawapos.com/index.php?act=detail_c&id=269055 Rabu, 31 Jan 2007, Tiru Tiongkok, Hukum Mati Koruptor
Oleh Gandha Widyo Prabowo Penyakit korupsi yang hinggap di negeri ini sudah mencapai stadium empat, dari masyarakat paling bawah hingga para elite terjangkit virus itu. Segala resep obat yang diberikan untuk mengatasi penyakit korupsi pun tidak membuahkan hasil. Tinggal satu cara untuk mengatasinya, amputasi saja "bagian" yang terkena penyakit tersebut. Cara pemberantasan korupsi seperti itulah yang telah diterapkan Tiongkok selama sepuluh tahun terakhir. Menghukum mati pelaku koruptor yang telah mencuri uang rakyat untuk kepentingan pribadinya. Tidak pandang bulu siapa pelaku koruptor itu, entah pejabat negara berpengaruh atau bukan, semuanya mendapat perlakuan hukum yang sama. Alasan terkuat kenapa Tiongkok memilih menggunakan hukuman mati bagi koruptor adalah semakin merajalelanya tindak pidana korupsi di negara tersebut. Mereka sudah kewalahan menghadapi banyaknya pejabat korup yang telah merugikan negara hingga triliunan dolar AS. Data pemerintah Tiongkok menyebutkan, besaran korupsi di Tiongkok setidaknya mencapai USD 16 miliar pada 1999 (Kompas, 09/03/2003). Akhirnya, rakyat Tiongkok yang menanggung kesengsaraan yang ditimbulkan pejabat korup tersebut. Sementara, hukuman bagi koruptor saat itu sangatlah ringan dibandingkan dengan keuntungan materiil hasil korupsi yang didapat. Oleh sebab itu, pemerintah Tiongkok menerapkan hukuman mati untuk koruptor dengan tujuan sebagai shock therapy bagi yang lain agar tidak melakukan tindak korupsi. Supaya orang yang akan korupsi berpikir seribu kali ketika akan melakukan hal tersebut. Mengingat hukuman mati akan diterimanya jika terbukti melakukan korupsi. Keseriusan Tiongkok dalam memerangi korupsi itu patut diteladani negara kita. Sudah berapa banyak pelaku korupsi di negeri ini yang telah merugikan negara hingga triliunan rupiah hanya dihukum sekadarnya. Bahkan, banyak juga pelaku korupsi yang melarikan diri ke luar negeri dengan uang hasil korupsinya dan pemerintah kita tidak berdaya menghadapinya. Fenomena itu selalu terjadi dan terus berulang. Penegakan hukum di negeri ini yang masih impoten menjadi penyebab berkembangnya kasus korupsi. Selain peraturan hukum yang ketinggalan zaman, mafia peradilan dengan jual-beli perkara masih marak terjadi. Melempemnya kinerja polisi yang sangat lamban dalam memproses kasus menambah panjang daftar kelemahan penegakan hukum. Contoh kasus mantan Presiden Soeharto dapat dijadikan gambaran betapa mandulnya negeri ini menghukum seorang koruptor. Sudah jelas banyak bukti yang mengarahkan dia menyelewengkan uang negara, tapi yang terjadi adalah pengeluaran SP3 (Surat Penghentian Penyelidikan Perkara) oleh kejaksaan. Hal ini berbeda dengan di Tiongkok. Wakil Gubernur Provinsi Jiangxi Hu Changqing dieksekusi mati atas tindakan korupsinya sebesar USD 660 ribu (Kompas, 09/03/2003). Menurut pandangan ahli kriminolog, korupsi terjadi akibat risiko yang dihasilkan lebih kecil daripada keuntungan yang dihasilkan. Jadi, misalnya, seorang pejabat menelan uang rakyat satu tiliun rupiah, maka di negeri ini pejabat tersebut bisa dikenai hukuman satu tahun penjara. Atau bisa-bisa, pejabat itu bebas dari tuntutan hukum sama sekali karena praktik jual-beli perkara atau yang lainnya. Inilah yang dimaksud dengan risiko kecil tersebut. Kondisi itu sangat tidak adil dibandingkan dengan pencuri ayam yang jika dinominalkan hasil curiannya tidak sampai satu juta rupiah. Tetapi, hukuman yang diterima bisa tiga bulan penjara atau bahkan mati dipukuli massa. Lalu, di mana letak keadilannya? Jika boleh memilih, tentu saja lebih baik korupsi triliunan rupiah daripada mencuri ayam. Kini Tiongkok memetik hasil dari apa yang diterapkan dalam pemberantasan korupsi. Pertumbuhan ekonomi melaju pesat. Kesejahteraan hidup rakyatnya pun tercukupi dengan baik. Rupanya, hukuman mati cukup efektif diterapkan sebagai shock therapy bagi yang lainnya. Memang, ketegasan hukum sangat diperlukan dalam menekan angka kriminalitas, bukan hanya kasus korupsi. Dalam kampanyenya dulu, SBY berjanji akan memerangi korupsi. Namun, sampai sekarang, yang dibabat habis hanyalah koruptor-koruptor kelas teri yang banyak bertebaran di jalan. Sementara cukong-cukong pengisap uang rakyat yang lebih besar bebas berkeliaran di mana-mana. Sepertinya, tindakan SBY itu hanya tebang pilih. Entah tidak punya keberanian atau karena faktor lain, saya sendiri pun kurang mengerti. Saya terkesan dengan pidato Zhu Rongji semasa menjadi perdana menteri Tiongkok. Sikap kerasnya terhadap koruptor dan komitmennya untuk memberantas korupsi sangatlah hebat. Dia menyatakan, "Sediakan 1.000 peti mati untuk koruptor kelas kakap. Pakai 999 peti mati, sisanya satu untuk saya. Kalau kelak saya terbukti korup, masukkan saya ke peti itu." (Kompas, 20/05/2006). Dan itu tidak hanya sebatas janji, tapi benar-benar dia realisasikan dengan memancung pejabat-pejabat korup. Persoalan korupsi hanya bisa tuntas dengan pembenahan dua variabel. Sanksi hukum yang berat dan kredibilitas para penegak hukum. Bukan dengan fatwa tokoh agama yang mengharamkan korupsi. Karena saya yakin, hati dan nurani koruptor sudah tertutup. Sangat sulit jika hanya dilarang melalui nasihat-nasihat omongan. Gandha Widyo Prabowo, mahasiswa Ilmu Politik FISIP Unair