Langkah revisi adalah langkah pertengahan, sebagai upaya 'cari/bermain
aman'..
Mirip dengan 'pelarangan pusar'.. Adalah sebagai upaya agar dipandang semua
pihak
(seolah") tidak berpihak.. Karena kalau tidak melarang, akan 'dimusuhi' satu
pihak..
sementara kalau melarang 100%, akan dimusuhi pihak lain..

Atau mirip gaya pedagang.. berikan harga 4x lipat (dari modal).. karena
kalaupun
ditawar 50% oleh pembeli, tetap/masih untung, karena harganya 2x lipat
(modal)..
Dengan harga yang tinggi, otomatis mendorong orang untuk 'menawar'..
Bagi yang tidak bisa menawar akan 'keblejok'/kemakan strategi ini..

Kalau tidak ada yang protes (semua menurut/baik" saja), peraturan licik akan
melenggang
dengan lancar.. Kalau ada gejolak, baru direspon; itupun sebisa mungkin
dicicil..
Dalam kasus ini, mungkin ada yang berpikiran, siapa tahu banyak yang mau
menerima
revisi.. Toh kalau usulan revisi tidak diterima, tinggal buat pengumuman
untuk mencabut itu..

Jadi, bagi kelompok semacam ini, keputusan tidak perlu benar/baik/sejalan
dengan
kepentingan publik.. Yang penting bagaimana mengelola respon publik..
Kepintaran yang mengarah kepada (ke)licik(an).. ORBA STYLE!!! :-(

CMIIW..

Wassalam,

Irwan.K

On 1/31/07, Rudy Patirajawane <[EMAIL PROTECTED]> wrote:

  Memang biasalah bahwa pemerintah yang tidak peka samasekali dengan
kemiskinan rakyat  akan selalu berupaya apa saja untuk terus merugikan
rakyat, menguntungkan kelompoknya, dan pro kapital asing seperti Exxon. Lain
waktu jangan kita sampai tertipu lagi oleh janji yang tidak masuk akal.

RPr

SUARA PEMBARUAN DAILY
------------------------------
 PP 37/2006 Harus Dicabut [JAKARTA] Presiden Susilo Bambang Yudhoyono
harus mencabut Peraturan Pemerintah (PP) No 37/2006 tentang Kedudukan
Protokoler dan Keuangan Pimpinan dan Anggota DPRD. Sebab, sebagian besar
materi PP tersebut merugikan rakyat. "Kalau hanya revisi, tidak akan
menyelesaikan masalah, apalagi revisinya sangat parsial," kata staf ahli
Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang, Saldi
Isra sewaktu dihubungi *Pembaruan*, Rabu (31/1), di Jakarta. Juru bicara
presiden Andi Mallarangeng, Selasa (30/1), mengungkapkan, Presiden Yudhoyono
memutuskan untuk merevisi PP No 37/2006 setelah dilakukan kaji ulang oleh
tim terpadu. Secara garis besar, paparnya, revisi itu meliputi penghapusan
pasal 14(d) yang mengatur tentang pemberlakuan surut PP 37/2006 tersebut.
Sehingga bagi pimpinan dan anggota DPRD yang telah menerima tunjangan
rapelan tersebut sesuai dengan PP 37/2006 harus mengembalikan dana tersebut
ke Kas Umum Daerah paling lambat Desember 2007. Selain itu, pembatasan
pemberian tunjangan operasional hanya kepada pimpinan DPRD, secara kolektif
dalam pelaksanaan tugas yang berkaitan dengan representasi, pelayanan, dan
kebutuhan sehari-hari, tetapi tidak untuk keperluan pribadi. Menurut
Saldi, tunjangan operasional secara kolektif kepada anggota DPRD pasti
berkaitan dengan tunjangan komunikasi intensif. "Ini tetap menghabiskan uang
rakyat tidak sedikit," tukasnya. Hal lain yang juga tidak disinggung oleh
Presiden, lanjutnya, yakni pemberian tunjangan rumah untuk anggota DPRD,
yang juga memakan uang rakyat tidak sedikit. "Berdasarkan itu, saya pikir
revisi yang direncanakan Presiden justru menimbulkan masalah baru. Saya
minta PP tersebut dicabut saja," ujarnya. Sementara itu, Koalisi Nasional
Tolak PP 37/2006 yang beranggotakan di antaranya Arif Nur Alam dari Forum
Indonesia untuk Transparansi Anggaran, Direktur LBH Jakarta Asfinawati dan
anggota Badan Pekerja Indonesia Corruption Watch Adnan Topan Husodo
menyatakan, langkah Presiden Yudhoyono akan merevisi sebagian materi PP No
37/2006 merupakan langkah setengah hati yang sama sekali tidak memihak
rakyat. Kehadiran peraturan baru yang disiapkan guna mengganti PP tersebut
tetap akan menjadi alat untuk merampok uang rakyat. "Ini ibarat ganti
baju, tetapi tidak menjawab persoalan. Aroma tidak sedap unsur korupsi masih
menebar di masyarakat. Padahal tuntutan masyarakat, PP itu harus dicabut,
bukannya direvisi," ucap Arif. *Praktik Korupsi
*Asfinawati menambahkan, PP tersebut merupakan produk yang tidak memenuhi
asas kepatutan, keadilan dan melanggar peraturan perundang-undangan. Jadi,
keseluruhan PP itu sudah melanggar dan cacat hukum. Jika hanya direvisi,
berarti Presiden Yudhoyono melegalkan praktik korupsi dan membuka
seluas-luasnya praktik korupsi hingga ke pelosok Tanah Air. Adnan
menyesalkan langkah setengah hati Yudhoyono. Menurut dia, tindakan merevisi
PP tersebut bertolak belakang dengan program pemberantasan korupsi yang
digembar-gemborkan pemerintahan Yudhoyono- Jusuf Kalla. "Ini terlihat
sekali Yudhoyono takut dicap telah membuat aturan bermasalah. Makanya dia
mengambil jalan tengah berupa revisi. Padahal seharusnya PP itu dibatalkan
karena bertentangan dengan kaidah-kaidah hukum yang ada," katanya. Sementara
itu, Sekretaris DPRD Sulawesi Utara Vanny Kaparang, Rabu, di Manado,
mengakui, anggota DPRD yang sudah telanjur menerima rapel pada Desember 2006
akan me- naati peraturan yang dikeluarkan pemerintah. "Kami sudah
mendengar dan melihat di media massa pengumuman pemerintah, akan direvisi
dan yang terlanjur dibayar harus dikembalikan hingga Desember 2007. Ini kami
akan turuti, meskipun memang belum menerima surat tertulis," katanya. Begitu
pula Ketua DPD PDI Perjuangan Sulut Freddy Harry Sualang mengemukakan,
pihaknya berharap agar anggota DPRD dari partainya mengembalikan rapel yang
diterima. "Kami harus ikuti aturan pemerintah," ujarnya. Menyusul
keputusan merevisi PP No 37/2006, kalangan mahasiswa dan guru di Bandung
mendukung kebijakan itu. Namun, mereka tetap menginginkan agar PP tersebut
dicabut. Presiden Keluarga Mahasiswa Institut Teknologi Bandung (KM ITB)
Dwi Arianto Nugroho berpendapat, keputusan presiden itu menunjukkan adanya
iktikad baik dari pemerintah. Namun KM ITB tetap mendesak agar PP tersebut
tidak hanya direvisi melainkan juga harus dicabut. ''Kondisi ekonomi,
tingkat kesejahteraan dan juga pendapatan kita belum memungkinkan untuk
diberlakukan PP tersebut,'' katanya. Sekretaris Jenderal Forum Aksi Guru
Indonesia Iwan Hermawan memandang revisi PP tersebut merupakan langkah yang
tepat. Namun, dia juga menginginkan agar PP itu tidak diberlakukan.
[E-8/Y-4/136/153]
------------------------------
*Last modified: 31/1/07*

------------------------------

Kirim email ke