Kritik MA Justru Cerminkan Sarang Mafia Peradilan


JAKARTA -- Kritik Mahkamah Agung terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi dan 
Komisi Yudisial justru membuktikan bahwa selama ini lembaga tertinggi peradilan 
itu menjadi sarang mafia peradilan. "Malah makin menelanjangi siapa sebenarnya 
MA itu," ujar Koordinator Indonesia Court Monitoring Denny Indrayana saat 
dihubungi Tempo kemarin. 

Menurut Denny, kritik Mahkamah Agung itu adalah bentuk perlawanan. Sebab, kata 
Ketua Pusat Kajian Antikorupsi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada itu, 
kedudukan Mahkamah Agung terusik dengan hadirnya KPK dan Komisi Yudisial, yang 
merupakan lembaga pengawas peradilan. 

Dua hari lalu, Wakil Ketua Mahkamah Agung Bidang Nonyudisial Syamsuhadi 
mengkritik KPK dan Komisi Yudisial. "Mereka memandang rendah Mahkamah Agung dan 
semua lembaga peradilan di bawahnya (dengan menganggap) sebagai sarang 
penjahat," ujar Syamsuhadi.

Syamsuhadi mengatakan KPK bersikap arogan dengan memorakporandakan Mahkamah 
Agung. Hal itu terjadi saat komisi tersebut menggeledah ruang kerja Ketua 
Mahkamah Agung Bagir Manan pada 27 Oktober 2005. Syamsuhadi menilai KPK sedang 
mendambakan popularitas murahan dengan menggeledah tanpa dasar.

Syamsuhadi juga melontarkan kritik terhadap Komisi Yudisial, yang meminta 
seleksi ulang 49 hakim agung. "Komisi Yudisial menganggap para hakim agung 
sebagai penjahat, mafia peradilan, yang perlu diamputasi," katanya. 

Denny mengatakan kehadiran KPK telah mengusik kenikmatan korupsi yang terjadi 
di Mahkamah Agung. Mahkamah Agung juga terusik dengan kehadiran Komisi Yudisial 
karena banyaknya mafia peradilan di sana. Misalnya dugaan jual-beli perkara. 
"Jadi makin menguatkan indikasi itu," ujarnya. 

Menurut Denny, Mahkamah Agung seharusnya bekerja sama dengan kedua lembaga itu 
untuk meningkatkan kinerjanya. "Kritik MA merupakan gambaran atau pendapat 
hakim agung yang ada di sana," kata dia. 

Wakil Ketua Komisi Hukum DPR Almuzammil Yusuf mengatakan kritik Mahkamah Agung 
tidak perlu dilontarkan. Sebab, penggeledahan oleh KPK dan pengawasan yang 
dilakukan Komisi Yudisial merupakan kewajibannya sebagai lembaga negara. 
"Seharusnya MA yang menjelaskan kinerjanya dan tidak melontarkan kritik yang 
tak perlu itu," kata anggota DPR dari Partai Keadilan Sejahtera itu saat 
dihubungi kemarin. 

Praktisi hukum Todung Mulya Lubis mengimbau Mahkamah Agung berintrospeksi 
sebagai lembaga negara yang kedudukannya sama dengan KPK dan Komisi Yudisial. 
"MA mestinya juga membudayakan transparansi," ujarnya. 

Todung mencontohkan masih adanya putusan yang membuat publik tidak percaya 
terhadap lembaga peradilan. Akibatnya, masyarakat menduga-duga apakah ada 
praktek korupsi dan kolusi dalam pembuatan putusan. "Publik juga tidak 
sepenuhnya berharap kepada MA," ujarnya. RINI KUSTIANI

Sumber: Koran Tempo - Kamis, 01 Februari 2007

++++++++++ 


Untuk berita aktual seputar pemberantasan korupsi dan tata kelola
pemerintahan yang baik (good governance) klik
http://www.transparansi.or.id/?pilih=berita

Untuk Indonesia yang lebih baik, klik
http://www.transparansi.or.id/

Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI)
Jl. Polombangkeng No. 11 Kebayoran Baru Jakarta Selatan 12110 
Telp: (62-21) 727-83670, 727-83650 
Fax: (62-21) 722-1658 
http://www.transparansi.or.id 

Kirim email ke