Buletin Elektronik Prakarsa-Rakyat.org SADAR
Simpul Untuk Keadilan dan Demokrasi Edisi: 26 Tahun III - 2007 Sumber: www.prakarsa-rakyat.org -------------------------------------------------------------- FASILITATOR BANJIR! Oleh: Ayi Bunyamin* Pemberitaan tentang datangnya banjir sudah mulai mewarnai media massa khususnya di Jakarta sejak akhir tahun 2006. Seperti akan menyambut tamu agung, berbagai "upacara" digelar. Mulai dengan diskusi dan seminar sampai dengan anjuran-anjuran, serta pengumuman-pengumuman. Bahkan berbagai kerja bakti pdembersihan lingkungan dilakukan oleh beberapa komunitas di Jakarta. Pemerintah daerahpun menyiapkan beberapa rancangan proyek-proyek. Tamu agung itu adalah air besar yang selalu menenggelamkan sebagian wilayah Jakarta. Pada tahun ini, menurut beberapa orang, Jakarta akan kedatangan air yang banyak dan besar seperti 5 tahun sebelumnya. Setelah sebagian tamu yang ditunggu itu datang, yakni "air langit" mengguyur Jakarta selama 2 hari sejak Jumat tanggal 2 Feburari 2007, beberapa kawasan di Jakarta tergenang air cukup tinggi. Hujan yang tidak berhenti di Jakarta, dibarengi dengan hujan di kawasan hulu Jakarta (Puncak dan Bogor) yang menambah debet air di bendungan Katulampa dan Depok yang meningkat jauh melampaui batas normal, ditetapkanlah status Jakarta menjadi Siaga 1. Penetapan status siaga 1 ini sangat beralasan. 70% wilayah DKI tergenang air, mulai 10 Cm sampai dengan 7 meter selama 5 hari berturut turut. Bahkan di beberapa kawasan, sampai hari ini (Kamis, 8 Feburari 07) ketinggian genangan air masih setinggi 2 meter lebih. Jakarta benat-benar sedang gawat darurat! Korban sudah pasti sangat banyak, mulai dari harta benda, kelaparan, serangan penyakit serta kesengsaraan hidup lainnya, sampai dengan hilangnya nyawa. Berbagai fasilitas layanan publik pun tidak bisa berjalan karena beberapa peralatan yang cukup vital terendam air, seperti: air bersih, telepon dan penerangan. Toko dan pasar-pasar pun tidak bisa berfungsi optimal, selain terendam air juga mengalami kesulitan pasokan bahan karena jalur distribusi tidak bisa dilewati. Harga-harga menjadi naik meroket tajam. Hak hidup di Jakarta ini sedang menghadapi ancaman penghancuran yang begitu besar. Sekitar 200 ribu orang harus mengungs1, 54 orang meninggal dunia, dan entah berapa orang yang mengalami sakit. Meskipun saat ini air di beberapa kawasan sudah mulai surut bukan berarti segera kehidupan kembali normal. Muncul ragam penyakit yang diderita rakyat Jakarta. Ketenangan hiduppun terusik karena banjir ini masih mungkin datang setiap saat selama musim penghujan sekarang ini. Tidak ada rasa tenang, tidak ada rasa aman. Warga Jakarta dihadapkan pada kesengsaraan yang terus menerus berulang setiap tahun, khususnya kalangan rakyat. Antisipasi Pemda DKI ternyata sangat buruk. Persiapan menghadapi banjir kali ini, didasarkan pada asumsi-asumsi yang keliru atau jangan-jangan asal-asalan. Peristiwa banjir setiap tahun, serta berlangsungnya alih fungsi lahan pertanian dan konservasi sehingga semakin menyempitnya lahan serapan air, tidak menjadi dasar dalam memperkirakan besarnya banjir tahun ini. Akibatnya, penanganan banjir ini sangat lamban. Banyak korban yang tidak menerima bantuan (makanan dan layanan kesehatan), tidak terevakuasi. Penetapan Siaga 1 ini ternyata tidak berarti apa-apa bagi pemerintah sendiri. Penetapan siaga 1 ini sepertinya hanya ingin menyatakan saja bahwa Jakarta sangat gawat, dan oleh karena itu semua warganya siap-siap untuk terendam banjir, bahkan siap-siap untuk mati dalam 1 hari. Penghancuran tata ruang Fenomena banjir kali ini, jelas bukan fenomena alam yang natural. Banjir terjadi karena penataan ruang yang kacau balau, yakni sedikitnya ruang/kawasan resapan air. Pemerintah Jakarta yang seharusnya mengeluarkan dan menjalankan kebijakan-kebijakan termasuk melakukan penataan ruang yang seimbang demi keamanan dan kenyamanan hidup warganya, justru menjadi bagian dan fasilitator penghancuran tata ruang itu. Rakyat Jakarta dan mungkin juga Rakyat Indonesia ini telah membayar orang-orang yang bekerja di pemerintah justru untuk menghancuran rakyat sendiri melalui Penghancuran tata ruang tersebut. Kita bisa mengikuti penghancuran ini dari dibiarkannya dan difasilitasinya konversi lahan-lahan pertanian, konservasi hutan dan air menjadi pemukiman, perkantoran, pabrik, hotel, dan kawasan perdagangan. Berbagai kebijakan berkaitan dengan penataan ruang ini, sesungguh sudah ada tapi justru tidak dilaksanakan bahkan diabaikan. Seperti yang sudah-sudah, dengan terjadinya banjir ini polemikpun terjadi dan mendorong hadirnya berbagai diskusi dan seminar penanganan bencana banjir. Pemerintah pun segera meresponnya dengan upaya melengkapi kebijakan-kebijakan yang sudah ada. Saat ini saja sedang dipersiapkan percepatan penyelesaian 3 RUU yang berkaitan dengan banjir ini, antara lain: RUU tata ruang, RUU penanganan Bencana, RUU Pemerintahan DKI. Entahlah, apakah dengan terbitnya 3 undang-undang baru ini nantinya akan menjadi lebih baik lagi penataan ruang kita, penanganan banjir dan korban banjir? Atau seperti yang sudah-sudah bahwa seluruh peraturan itu terutama yang populis selalu diabaikan? Terbuktikah pemerintahan di Jakarta dan sekitarnya bisa mengembalikan lahan-lahan pertanian dan konservasi kepada fungsinya semula? Tata ruang kota adalah sebuah arena pertarungan/pergulatan kepentingan. Sejarah pembangunan kota dan penataan ruangnya adalah sejarah kekuasaan yang selalu memarginalisasikan rakyat. Pertarungan dalam arena itu selalu tidak diperuntukkan rakyat. Rakyat yang jumlahnya terbesar hanyalah sebagai konsumen dengan segala implikasinya, meskipun banjir Jakarta kali ini, sebagian kecil kaum elit pun sempat merasakan kesengsaraan akibatan genangan air. Kekerasan struktural Banjir sebagai fenomena alam yang sering diungkapkan oleh beberapa kalangan termasuk pejabat pemerintahan, merupakan opini yang menyesatkan. Sengaja atau tid ak opini ini telah mengelabui rakyat dengan memaksakan suatu realitas yang berbeda dari yang sebenarnya terjadi. Sudahlah cukup jelas dan telah banyak diungkapkan, dipolemikan bahwa banjir seperti yang terjadi di Jakarta kali ini, bukan karena air kiriman, bukan karena siklus lima tahunan, bukan karena musim hujan. Banjir adalah sebuah produk kekeliruan, kelalaian, keserakahan, ketidakpedulian, ketidaktanggungjawaban. Banjir yang selama ini terjadi di Jakarta juga di berbagai wilayah dan berdampak terhadap kehidupan manusia. Hak hidup manusia telah dirampas dengan penghancuran tata ruang yang telah dibiarkan bahkan difasilitasi oleh pemerintah. Tudingan penyebab banjir di Jakarta yang ditimpakan kepada rakyat jelata yang dinilai tidak tertib: membuang sampah ke sungai dan membuat rumah di pinggir atau bantaran sungai, juga merupakan sikap yang diksriminatif. Ironisnya, kaum elit kota terbebas dari tudingan sebagai penyebab banjir, padahal sumbangan mereka pada penghancuran keseimbangan tata ruang sangatlah besar. Dalam konteks ini menjadi sangat jelas bahwa banjir merupakan sebuah fenomena kekerasan struktural karena disebabkan oleh kebijakan-kebijakan pembangunan kota tidak memperhatikan kepentingan wqrganya, terutama rakyat yang jumlahnya terbesar. Kebijakan pembangunan kota ini bukan membawa kepada terwujudnya kehidupan, malah menghancurkan kehidupan manusia. Kompromi Politik Hancurnya Tata Ruang sekarang ini bukanlah produk sebuah kompromi politik berbagai pihak yang bekepentingan mengkonsumsi ruang hidup, tetapi produk sebuah dominasi, eksploitasi dan represi. Di tengah kampanye anti kekerasan yang sedang gencar-gencarnya sekarang ini, perlu juga diagendakan agar seluruh kampanye untuk perwujudan hak hidup ini, tidak hanya sekedar menunjuk kepada TNI-POLRI yang seringkali menjadi pelaku kekerasan. Tetapi juga terhadap para peranca ng pembangunan juga yang selama ini lebih banyak memfasilitasi kaum pemodal dalam penghancuran tata ruang. Masih berharap pada para aparat negara dan yang ada, bisa jadi merupakan sikap dan tindakan keliru. Harapan kita hanya akan tetap menjadi harapan, seperti sejak puluhan tahun silam. Bukankah para aparat negara dan pemerintahan itu juga, bagian dari pelaku penghancuran? Hak hidup kita jangan sampai hanya menjadi harapan terus menerus. Kita ini rakyat yang dijamin konstitusi, bahwa kita berdaulat. Mengatasi kekerasan, mewujudkan harapan, salah satunya dengan membangun kompromi politik dengan semua pihak yang berkepentingan terhadap ruang hidup ini. Membangun kompromi, mensyaratkan suatu kekuatan politik agar kompromi bisa terjadi dengan sungguh-sungguh. Apabila selama ini kompromi selalu tanpa menyertakan rakyat maka, membangun kekuatan rakyat adalah agenda yang tidak lagi bisa ditunda. Kapankah kita bisa menjadi bagian dari proses kompromi politik tersebut ? -------------------------------------------------------------- * Penulis adalah Sekretaris Eksekutif Perkumpulan Praxis Jakarta sekaligus anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari simpul Jabodetabek [EMAIL PROTECTED]