A.Kohar Ibrahim :


Cerita Sastrawan Sobron Aidit



Selamat Jalan Bang Besar





« GILE ! Lagi-lagi ada temen ngeduluin gue… ! Sesudah Aziz, Kamal, Kembara 
dan pengarang lainnye ! »



Begitulah kurang lebih nada canda gurau ala cah Betawi dengan salah seorang 
Seniman Senen terkondang sampai sekarang : Sobron Aidit. Sosok gede yang 
tak sedikitpun belagak sebagai « penggede ». Salah seorang kader tinggi yang 
jarang – dalam hal keluwesan dan kelonggaran gaya pergaulannya – terutama 
sekali di kalangan seniman dan seniwati. Selain sifat ngemongnya yang hanya 
bisa mengingatkanku pada Jubaar Ajoeb dan sosok Sabar lainnya yakni S. 
Anantaguna serta cerpenis Zubir AA yang tewas di dalam penjara Orba 
Surabaya. Kabarnya.



Gile ! Gue nyeringis mesem campur nangis berat di relung hati – dalam 
mengenang Orang Besar berbadan besar berjiwa besar yang doyan makan masakan 
enak, selain tukang masak makanan untuk pengisi perut juga pengisi hati dan 
otak. Bung dan Bang Sobron memang tukang masak di dapurnya sendiri atau di 
restorannya « sendiri », juga sendirian tukang bikin sajian tulisan ragam 
macam – dari yang bergaya jurnalistis sampai yang prosais dan puitis.



Gile ! Sabtu ini bangun tidur kesiangan gue nerima berita ringkas ngenes 
dari Cah Dayak : Magusig O Bungai mengutarakan telah berpulangnya Bang Sabar 
Yang Besar !



Dari lubuk hati yang dalam, kami sekeluarga, saya dan Lisya, menyampaikan 
belasungkawa kepada segenap keluarga Sobron Aidit tercinta. Semoga tabah. 
Dan semoga Sobron kembali tenang menemukan kehidupannya yang abadi di 
akhirat ; diterima dengan baik oleh Illahi, amal ibadahnya diterima pula.



Gile ! Ninggalin gue harini, 10 Pebruari 2007, tapi kayaknye gue dah 
siap-siap bikin catetan sekian waktu lalu. Dalam naskah Catatan dari Brussel 
ke-22 yang dipasang-pajang di ruang Opini Harian Batam Pos 30 Juni 2003, 
kemudian di galeri esai Cybersastra.net 29 Pebruari 2004.



Selamat Jalan Bang Besar !





***



Catatan dari Brussel (22):

A. Kohar Ibrahim



DALAM  kumpulan tulisan "Ziarah", Kreasi nomor 17 itu saya utarakan, bahwa 
"jika abangnya terkenal sebagai seorang politisi pembela wong cilik, maka 
Sobron yang dilahirkan pada tanggal 2 Juni 1934 di Belitung Sumatera Selatan 
adalah seorang sastrawan. Pendidikannya dimulai dari H.I.S. sampai 
Universitas Indonesia". Hal itu semata-mata untuk menggarisbawahi, aktivitas 
dan kreativitas utama sang tiga bersaudara Aidit. Sekalipun ketiga-tiganya 
penulis yang juga menggubah puisi.



Akan tetapi, selain dikenal sebagai sastrawan, apa pula aktivitas lainnya 
secara umum? Seperti halnya kebanyakan seniman dan sastrawan lainnya, 
pengalaman Sobron pun beragam macam. Dari guru, wartawan, pengurus 
organisasi sampai restoran. Di bidang pendidikan, sesudah menjadi guru di 
SMA Utama Salemba dan THHK (1954-1963), lalu  pada tahun 1964 menjadi Guru 
Besar Sastra dan Bahasa Indonesia di  Institut Bahasa Asing Beijing.



Sobron juga berpengalaman di bidang media massa, yakni pernah menjadi 
wartawan Harian Rakyat (1955) dan Bintang Timur (1962. Dalam pada itu, 
sebagai pengurus Lembaga Persahabatan Indonesia-Tiongkok bersama Prof. Dr. 
Prijono, lalu dengan Djawoto dan Henk Ngantung (1955-1958). Pengurus Lembaga 
Persahabatan Indonesia-Vietnam bersama K. Werdoyo dan Nyak Diwan 
(1960-1962). Pengurus BAPERKI bersama Siauw Giok-tjan dan Buyung Saleh 
(1960-1961). Sebagai pendiri "Seniman Senen" bersama SM Ardan, Wim Umboh dan 
lain-lain. Pendiri Akademi Sastra "Multatuli" bersama Prof. Bakri Siregar 
(1961-1963). Dan akhirnya, salah seorang pendiri "Restoran Indonesia" di 
Paris (1982).



Bagaimana kreativitas seninya? Dari catatan saya sendiri dan juga yang 
diberikan olehnya, dapatlah diketahui bahwa Sobron sudah mulai kegiatan 
tulis menulis sejak usia 13 tahun. Karangannya yang mula-mula disiarkan 
yaitu berupa cerpen berjudul "Kedaung" dalam majalah "Waktu" Medan 1948. Di 
Jakarta secara kebetulan tinggal bersama-sama Chairil Anwar. Yang berkat 
bimbingannya, kata Sobron, minat terhadap kesusastraan kian meluap. 
Sajak-sajak dan cerpen Sobron dimuat dalam Mimbar Indonesia, Zenith, Kisah, 
Sastra (semua di bawah asuhan H.B. Jassin). Juga  di majalah dan harian 
Sunday Courier, Republik, Bintang Timur (Bintang Minggu), Harian Rakyat, 
Zaman Baru, Kencana, Siasat, Mutiara dan lain lain lagi.



Termasuk salah satu sosok penulis yang tergolong progresip, lebih-lebih lagi 
yang giat di lingkungan LEKRA, oleh kekuasaan Orde Baru Sobron pun 
dimasukkan ke dalam daftar hitam sastrawan dan seniman. Dibrangus. Tidak ada 
satu pun wadah media massa yang bisa dijadikan tempat untuk mengumumkan 
karya tulisnya. Selama berada di mancanegara, sedapat bisa dia mengisi 
beberapa terbitan yang sifatnya serba terbatas. Baik ketika masih bermukim 
di Republik Rakyat Tiongkok, maupun sesudah hijrah ke Eropa Barat. Sekalipun 
bukan salah seorang pendiri, akan tetapi setelah saya hubungi, Sobron 
menyambut dengan memberikan dukungan yang antusias pada upaya penerbitan 
yang tergolong pers alternatif yang kami lakukan. Seperti penerbitan majalah 
sastra dan seni Kreasi, majalah Mimbar dan majalah opini dan budaya Arena 
yang secara legal beralamat di Negeri Kincir Angin. Namun pengeditannya saya 
lakukan di Brussel. Dari tahun 1989-1999.



Penyair sekaligus prosais, Sobron lebih dikenal sebagai cerpenis. Dua kali 
sebagai pemenang hadiah sastra. Yang pertama dari majalah Kissah/Sastra 
1955-1956 untuk cerpennya yang berjudul "Buaya dan dukunnya". Sedangkan yang 
kedua dari HR Kebudayaan 1961 untuk cerpennya "Basimah".



Buku-bukunya yang berupa kumpulan tulisan individual maupun kumpulan 
bersama -- semuanya dilarang oleh penguasa Orde Baru; "Ketemu Di Jalan" 
(kumpulan puisi bersama Ajip Rosidi dan SM Ardan), Balai Pustaka 1955-1956; 
"Pulang Bertempur", Pembaruan 1959;  "Derap Revolusi" (kumpulan cerpen dan 
novelet), Pembaruan/Lekra 1961.



Selain itu, ada berkas-berkas prosa dan puisinya yang tersunting dalam 
kumpulan-kumpulan tulisan individual seperti "Razzia Agustus" (kucerpen, 
Stichting ISDM Culemborg 1992) dan "Kaum Agustus" (kucerpen, Kreasi nomor 27 
1994),  maupun yang kolektip, seperti "Puisi" (kumpulan puisi Kreasi nomor 
11 1992); "Ziarah" (Kreasi nomor 17 1994); "Kesempatan Yang Kesekian" (dan 
kisah-kisah lainnya), Kreasi nomor 26 1996; "Yang Tertindas Yang Melawan 
Tirani" (kupuisi Kreasi nomor 26 1997); "Yang Tertindas Yang Melawan Tirani 
(2)" (kupuisi Kreasi nomor 39 1998).; "Di Negeri Orang" - Puisi Penyair 
Indonesia Eksil (Amanah Lontar - YSBI, 2002).



Sejumlah karya Sobron telah diterjemahkan dalam bahasa-bahasa Russia, 
Tionghoa, Inggris, Bulgaria, Belanda, Jerman dan Perancis.



Selain sebagai penyair, penulis essei dan komentar, Sobron memang  juga 
"tukang cerita". Cerita-ceritanya erat sekali dengan kenyataan kehidupan 
sehari-hari, dengan orang-orang dekatnya, dengan wong cilik. Dengan yang 
memihak, membela dan memperjuangkan kehidupan lebih baik bagi rakyat biasa. 
Seringkali diungkapkannya dengan humoristis, juga dengan rasa simpati, 
kemesraan terhadap yang akrab dan kutukan terhadap pendurhaka atau 
kebiadaban pada umumnya. Jelujur itu memang wajar dari seorang sastrawan 
yang sejak semula tergolong "seniman engage".



Dalam hal sikap dan pendiriannya yang konsisten sedari masa muda, dari empat 
cerpen (masing-masing berjudul "Bang Amat", "Cabin Boy", "Razzia Agustus", 
"Ziarah") yang tersunting dalam kumpulan tulisan  "Ziarah" Tiga Bersaudara 
Aidit itu saja sudah bisa dijadikan bukti yang nyata. Apalagi memang 
keempatnya mengungkapkan tema jejak-langkah tokoh Bang Amat yang dikenal 
lagi dihormatinya, yakni tak lain tak bukan adalah Si Abang Aidit yang juga 
Sang Ketua CC PKI sekaligus Menteri Negara Republik Indonesia di zaman 
Sukarno.



Dari cerita-ceritanya itu, pembaca mendapat gambaran lebih jauh siapa sosok 
tokoh nasional sekaligus internasional yang telah jadi korban Teror Putih 
yang dilancarkan  kaum militeris Orba itu. Sebagai tukang cerita, Sobron 
santai saja mengungkapkan kehidupan salah satu keluarga Melayu Sumatera 
Selatan itu. Persisnya suatu keluarga besar yang tersebar di Pulau Belitung. 
Lebih persis lagi, kata Sobron dalam ceritanya tentang "Bang Amat", "ayahnya 
adalah seorang mantri kehutanan, pegawai boschewezen."



"Karena pekerjaannya berkenan dengan hutan, maka kami dulunya selalu tinggal 
dekat hutan. Dari ukuran keseluruhan, kami bukanlah orang miskin, tetapi 
sama sekali jauh daripada kaya," tegas Sobron (hlm 25). Lebih lanjut 
diketahui, gaji ayahnya yang pegawai negeri itu hanyalah sebesar 60 gulden 
saja. Karena cuma berdiploma SD. Lagi pula itupun bukan sekolah Belanda atau 
Holland Indllands School (HIS), melainkan sekolah Melayu.  Hanya yang 
tamatan MULO saja menerima gaji sebesar 100 gulden. Tetapi di Belitung tak 
ada sekolah MULO. Untuk mendapat diploma seperti itu mesti bersekolah di 
Jawa atau Sumatera. Karena itulah, semua saudara-saudara Sobron bersekolah 
ke Jawa. Yang terlebih dulu, sudah barang tentu yang tertua: Bang Amat itu.



Dari cerita itulah, saya kira, sebagian besar pembaca kemudian tahu, bahwa 
nama asli si abang Dipa Nusantara Aidit itu adalah Achmad Aidit. Yang 
kemudian dipanggilnya Bang Amat. Dan yang digambarkan oleh Sobron dalam 
cerita-cerita pendeknya sebagai orang yang rajin belajar dan giat bekerja 
atau beraktivitas dalam kehidupan masyarakat sudah sejak dari masa mudanya. 
Lebih jauh lagi, si Bang Amat diceritakan sebagai orang yang suka menolong 
dan menaruh perhatian sangat besar akan nasib rakyat pekerja.



"Bang Amat berwatak luhur", begitulah yang hendak dikesankan oleh Sobron 
dalam ceritanya yang berjudul "Bang Amat" pula. Dengan cara ringan bernas 
lagi menarik hati. Lantaran merupakan suatu pengungkapan watak sosok insan 
yang mendasar bagi perjalanan hidupnya. Seperti juga dengan lancar saja di 
ungkapkan dalam kelanjutan ceritanya yang berjudul "Cabin Boy". Yang selain 
melukiskan hubungan  akrab dan kasih-sayang adik-abang, juga hubungannya 
dengan kehidupan perjuangan bangsa Indonesia untuk mencapai kemerdekaan. 
Dengan segala resikonya. Seperti bagaimana selain memelihara semangat 
perjuangan juga harus pandai membawa diri dalam menghadapi ancaman pihak 
lawan seperti kaum kolonialis itu. Dalam mana, pada periode situasi 
tertentu, melakukan kegiatan perjuangan "di bawah tanah" adalah tak bisa 
dielakkan.



Akan tetapi, memelihara keberanian seraya senantiasa siap-sigap menghadapi 
berbagai kemungkinan sampai yang paling buruk ternyata bukan hanya 
dibutuhkan dalam perjuangan menghadapi kaum penguasa penjajah asing, 
melainkan juga dalam menghadapi sikap-aksi kaum reaksi dalam negeri sendiri. 
Dan dengan ceritanya berjudul "Razzia Agustus", Sobron telah memberikan 
sajian yang memikat. Bagaimana sikapnya dalam situasi gawat, dimana abangnya 
yang aktivis perjuangan politik itu sedang diburu kaum militer. Tetapi 
berhasil "menghilang" atau meloloskan diri "ke luar negeri" dan baru kembali 
setelah Kabinet Sukiman bubar.



Dalam menceritakan hal-ihwal razzia tersebut, terasa kebanggaan si adik 
terhadap abangnya. Apalagi dia sendiri merasa lega hati, lantaran kemudian 
dia tidak lagi jadi "untitan kaum militer". Dan si abang pejuang telah "jadi 
orang" terpandang. Akan tetapi, dalam bagian akhir cerita, kebanggaan 
berubah duka nestapa.



"Sejarah menjadi lain". Tulis Sobron. "Belasan tahun sesudah itu Bang Amat 
dikabarkan gugur, di dekat Boyolali, dalam perjalanan penahanannya ke 
ibukota. Orang-orang bilang waktu itu 'disembur logam panas'. Jangankan 
jasad, nisannya pun tak berjejak. Bang Amat yang hidupnya terutama untuk 
orang banyak, untuk rakyat, telah tiada. Ia benar-benar telah pergi, bukan 
menyamar, bukan lari ke luar negeri.... Dan bersamanya pergi adalah ratusan 
ribu jiwa lainnya, dalam suatu huru-hara pembalasan dendam politik di 
tanah-airku." (hlm 52)



"Abangku tersayang, takkan kusua kembali," kata Sobron pada baris-baris 
akhir ceritanya tersebut. Teramat amat kasih-sayang dan kerinduannya. Hanya 
sebagai alasan untuk mewujudkan hasrat kuatnya pulang ke Tanah Air dengan 
salah satu tujuan utamanya melakukan ziarah.



Dia berdaya upaya untuk melaksanakan niatnya itu. Dan memang dia pulang 
untuk itu. Seperti diungkapnya dalam ceritanya yang berjudul "Ziarah" pula.



Berziarah. "Maksudku ini sebenarnya adalah mata-acara pokok dari kunjunganku 
kali ini, setelah berpisah selama 30 tahun dengan kampung-halaman. Aku 
merasakan kerinduan yang sangat kepada mama dan ayah. Ketika hidupnya tak 
kesampaian, baiklah, ke makamnya pun dapatlah menawarkan rasa rinduku. Lagi 
pula menghadapi bulan puasa, betapa baiknya ziarah dan nyekar." (hlm 56)



Yang menarik dan menjadi tumpuan perhatian pembaca cerita Sobron soal ziarah 
ini bukan saja hasrat-tujuannya yang baik dan luhur, namun pengungkapan 
suasananya. Dalam situasi dan kondisi kehidupan masyarakat yang berkaitan 
erat dengan percaturan di arena perpolitikan Indonesia yang telah mengalami 
kebiadaban. Dengan budaya ketakutan sebagai dampak dari tegaknya kekuasaan 
negara yang dilandasi politik kekerasan dan kekuatan intelnya.  Sehingga, 
bahkan seorang jenderal sendiri seperti Nasution menamakan Indonesia sebagai 
negara intel! Jika sang jenderal yang juga kemudian terkenal sebagai tokoh 
"Petisi 51" itu saja merasakan demikian, apa pula bagi kaum yang menjadi 
sasaran sekalian korban utama politik Orba. Kaum yang tertuduh sebagai 
pendukung "G30S/PKI" dan atau "eks-tapol". Dan apalagi dari orang-orang yang 
tak lain tak bukan adalah anggota sanak keluarga Ketua CC PKI DN Aidit!



Meskipun Sobron pulang bukan untuk melakukan kegiatan yang macam-macam, 
melainkan hanya untuk berziarah sekalian nyekar makam orangtuanya, namun 
hasratnya itu terpaksa batal. Apalagi ketika diutarakan kepada salah seorang 
abangnya, si abang terkaget-kaget mendengar keinginan si adik untuk juga 
berziarah ke makam abang tertua mereka: Achmad Aidit. Pasalnya, selain 
riskan juga orang tak tahu di mana makamnya!



Cerita-cerita pendek Sobron Aidit itu menarik, terutama kalau ditinjau dari 
segi sejarah kehidupan sosok tokoh-tokohnya yang menggambarkan jalinan 
kekeluargaan yang akrab sekalian jejak langkah perjuangan Dipa Nusantara 
Aidit.  Potret sang Ketua pendukung utama Bung Karno itu menjadi lebih 
lengkap  oleh karenanya. Lebih-lebih lagi jika kita menyimak bagaimana pula 
pengungkapan saudara lelakinya yang lebih muda: Asahan Aidit sang penyair 
sekaligus penulis roman yang kontrovesial. ***



Catatan : A.Kohar Ibrahim penulis-pelukis, biodata dan 
aktivitas-kreativitasnya antara lain bisa disimak di ABE-Kreasi Multiply 
Site : http://www.16j42.multiply.com

Ilustrasi : 2 dari sekian banyak kumpulan tulisan Sobron Aidit, berupa kulit 
kucerpen yang kami terbitkan bersama : Stichting Budaya, Amsterdam dan 
Stichting ISDM Culemborg, editor D. Tanaera alias A. Kohar Ibrahim.
































Reply via email to