http://www.antara.co.id/seenws/?id=53979

Orang Tua Basri Minta Pemerintah Berlaku Adil

Poso, Sulteng (ANTARA News) - Orang tua Basri alias Bagong (32) -- tersangka 
utama sejumlah kasus kekerasan di Sulawesi Tengah yang ditangkap 1 Februari 
lalu -- meminta kepada pemerintah agar berlaku adil dalam proses penegakan 
hukum terhadap anaknya dan sejumlah tersangka kasus Poso lainnya yang kini 
disidik Mabes Polri.

"Kalau pun terlibat melakukan (tindakan kekerasan), semua itu dikarenakan 
mereka merasa terpanggil membela umat Islam yang teraniaya di Poso," tutur Ny. 
Sutinem, ibu kandung Basri, Jumat.

Ditemui di rumahnya, Jalan Pulau Tarakan Kelurahan Gebangrejo, Poso Kota, 
Sutinem mengatakan aksi-aksi kekerasan yang muncul di Poso dan Palu yang 
melibatkan pelaku orang Poso beberapa waktu lalu, tidak lepas dari 
ketidakseriusan kepolisian melakukan proses penegakan hukum terhadap para 
pelaku penyerangan pemukiman penduduk (Muslim) pada berbagai kawasan di wilayah 
Poso tahun 2000.

"Banyak sekali manusia terbunuh ketika itu, bahkan mayat-mayatnya dihanyutkan 
di Sungai Poso dalam kondisi tragis. Ini belum terhitung yang ditanam begitu 
saja dalam kuburan massal di berbagai tempat, seperti yang sebagian sudah 
berhasil dibongkar polisi," kata dia.

Sutinem mengemukakan masyarakat Poso, terutama keluarga korban, selama ini 
sangat berharap para pelaku kasus pembantaian massal di kompleks Pondok 
Pesantren Walisongo dan Dusun Buyung Katedo di Kecamatan Lage (pinggiran 
Selatan kota Poso) segera ditangkap. Tapi, harapan itu hingga kini belum 
menjadi kenyataan.

"Sepanjang mereka itu tidak ditangkap dan diadili -- termasuk 16 nama yang 
pernah disebutkan terpidana mati Fabianus Tibo dkk -- masalah dendam lama di 
Poso akan sulit dihilangkan," kata ibu yang anak mantan transmigran di Poso 
tahun 1960-an tersebut, seraya menambahkan kalau dalam aksi penyerangan di 
kompleks Pondok Pensantren Walisongo tersebut puluhan keluarganya terbunuh.

Pada kesempatan ini, Sutinem membantah keras tuduhan polisi soal keterlibatan 
anaknya (Basri) dalam serangkaian aksi kekerasan di Poso dan Palu. 

"Anak saya itu kerjanya selama ini menjual ayam dan membuka pangkalan minyak 
tanah di dekat Pasar Sentral Poso, dan sore harinya mengambil ternak yang 
dilepas di kebun," tuturnya.

Namun, lanjut Sutinem, ketika namanya dimasukkan dalam daftar pencarian orang 
(DPO) polisi, dia berusaha sudah tidak karuan dan belakangan langsung 
menghilang karena khawatir ketika ditangkap petugas akan mendapatkan penyiksaan 
seperti yang pernah dialami sejumlah pemuda lain di Poso.

"Saya menjadi cemas ketika nonton TV bahwa dia sudah ditangkap dan dibawa ke 
Jakarta (untuk menjalani pemeriksaan lebih lanjut)," katanya.

Di Palu sebelumnya, Wakil Kepala Divisi Humas Mabes Polri, Brigjen Pol Drs 
Anton Bachrul Alam, mengatakan kalau tersangka Basri yang ditangkap polisi 
dalam operasi penyergapan di Kelurahan Kayamanya, Poso Kota, terlibat 17 aksi 
kekerasan di Poso dan Palu.

Aksi kekerasan yang dituduhkan melibatkan Basri, antara lain penembakan 
wartawan Poso Pos I Wayan Sumaryasa tahun (2001), pembunuhan Kades Pinedapa di 
Poso Pesisir (2004), kasus mutilasi terhadap tiga siswi SMA Kristen Poso 
(2005), perampokan uang Pemkab Poso (2005), serta penembakan dua siswa SMA di 
Poso yakni Ivon dan Sitti (2006).

Kasus lainnya, peledakan bom senter di Kawua Poso (2006), penembakan Biriptu 
Dedy Hendra (2006), penembakan rumah anggota Polri di Jln Pulau Jawa II dan 
Kompleks PDAM Poso (2006), serta penembakan Kapolres Poso (2006).

"Keterlibatan Basri dan Ardin itu terungkap berdasarkan keterangan sejumlah 
orang yang masuk dalam DPO (Daftar Pencarian Orang) yang sudah tertangkap lebih 
dulu, serta pengakuan keduanya ketika menjalani pemeriksaan di Mapolda 
Sulteng," kata jenderal polisi bintang satu ini. (*)


Copyright © 2007 ANTARA


23 Februari 2007 9:22

Kirim  Cetak

Kirim email ke