SAYA sangat sedih dengan meninggalnya rekan kamerawan Lativi Suherman, dan hilangnya rekan Guntur (SCTV). Semoga Suherman mendapatkan tempat yang layak di sisiNya, dan Tuhan memberikan hal terbaik untuk Guntur. Namun dari peristiwa ini kita bisa mengambil hikmah bahwa safety risk belum menjadi bagian dari kegiatan jurnalistik kita. Dari berita-berita yang saya ikuti, kedua kamerawan itu ternyata tidak bisa berenang. Hikmah dari peristiwa ini adalah bahwa safety risk dalam jurnalistik harus dimulai saat perekrutan. Seyogyanya rekrutmen calon wartawan mensyaratkan kemampuan fisik dasar seperti kemampuan berenang. Saya tidak tahu apakah pemred masing-masing mengetahui bahwa keduanya tidak bisa berenang. Andaikan tahu, mungkin pemred atau korlip akan menugaskan reporter yang bisa berenang. Faktor lain, rekan-rekan peliput Levina ini sama sekali tidak menggunakan pelampung. Padahal jelas, mereka akan bertugas di perairan dalam. Menggunakan pelampung memang ribet, akan tetapi dengan menggunakannya berarti kita memperkecil risiko celaka. Saya juga sering menyaksikan, dan sering saya alami sendiri, para wartawan meninjau proyek pembangunan atau pabrik. Sangat jarang wartawan/fotografer/kamerwaan menggunakan helm projek atau baju khusus. Padahal para fotografer dan kamerawan ini paling sibuk. Mereka naik turun mencari sudut-sudut bidikan yang paling tepat. Mereka tidak tahu apa yang ada di atas kepala mereka, atau di bawah kaki mereka. Selain itu, sangat sedikit wartawan yang menguasai P3K dasar. Pada kasus Suherman, ada hal yang menarik. Almarhum meninggal di perjalanan menuju rumah sakit. Saya kurang begitu tahu mengapa Suherman meninggal. Apakah almarhum tenggelam ataukah, misalnya, terbentur badan kapal sehingga menyebabkan luka. Kalau almarhum memang tenggelam dan sempat dibawa ke RS, apakah ketika almarhum masih sekarat ada yang memberikan pertolongan awal dengan cara resusitasi? (menekan dada [jantung] dan memberikan nafas buatan). Ini adalah upaya kecil namun sangat vital untuk menyelamatkan nyawa si korban. Saya kira, wartawan, apalagi yang sering terjun ke daerah konflik, minimal harus menguasai teknik resusitasi, dan P3K lainnya. Sebagai wartawan yang pernah beberapa kali meliput konflik, saya merasakan kesadaran wartawan, bahkan kesadaran saya pun, tentang safety risk ini sangat rendah. Mungkin karena saking tertantangnya masuk daerah konflik, hal-hal yang berhubungan dengan safety terlupakan. Waktu meliput perang Irak misalnya, dari selusin wartawan Indonesia yang ada di Bagdad, tidak satu pun yang berbekal rompi anti peluru, termasuk saya (how come!), apalagi masker gas karena waktu itu ada isu Saddam Husein mau fight back dengan mengerahkan senjata kimia. Sementara, wartawan bule rata-rata punya rompi anti peluru dan masker. Suatu hari, tak jauh dari Hotel Palestina Bagdad, terjadi pertempuran antara gerilyawan dengan tentara AS. Waktu itu, dari kamar hotel, Kamerawan SCTV Dwi Kuntoro dan Kamerawan TV7 Beffry langsung turun. Keduanya sama sekali tidak menggunakan rompi anti peluru. Dan gilanya, Dwi dan Befry berlindung di belakang Tank AS yang sedang bergerak. Tank bergerak ke kanan mereka ikut ke kanan. Tank bergerak ke kiri, mereka juga bergerak ke kiri. Kamerawan asing, termasuk CNN nggak ada yang berani seperti itu. Menyaksikan Dwi dan Befry, mereka cuma geleng-geleng kepala. Ketika para bule itu bertanya mengapa Dwi dan Befri tidak menggunakan rompi anti peluru, Dwi cuma menjawab,"kita pake rompi bismillah!" Memenuhi hasrat adrenalin memang nikmat. Akan tetapi, seharunsya kegiatan jurnalistik tetap memperhatikan koridor keselamatan. Kamerawan Indosiar sempat meminta Guntur untuk melepaskan kamera. Namun Guntur tetap mempertahankan kamera itu. Kita paham bahwa kamera itu mahal, bukan karena mahal harganya tapi juga mahal karena di dalamnya ada hasil liputan. Dalam kondisi seperti itu, seorang kamerawan mungkin ingin mempertahankan hasil liputannya ini. Mungkin juga karena dia bimbang, kalau selamat harus mempertanggunjawabkan kamera yang mahal ini. Andaikata kita sudah menetapkan prosedur secara tetap bahwa nyawa lebih penting daripada alat, mungkin tidak ada keraguan untuk melepaskan kamera itu. Sekali lagi, ada pelajaran berharga di balik musibah yang menimpa kawan-kawan kamerawan kita. Seyogyanya kita bisa mengolah hikmah, mengangkatnya menjadi topik perbincangan di antara kita, sehingga dunia jurnalistik di tanah air terus mengalami perbaikan. Salam Budhiana Pikiran Rakyat Bandung.
--------------------------------- We won't tell. Get more on shows you hate to love (and love to hate): Yahoo! TV's Guilty Pleasures list.