KEADILAN SEBUAH PEMIKIRAN 

 
<javascript:void%20window.open('http://www.insistnet.com/index2.php?option=c
om_content&do_pdf=1&id=46',%20'win2',%20'status=no,toolbar=no,scrollbars=yes
,titlebar=no,menubar=no,resizable=yes,width=640,height=480,directories=no,lo
cation=no');> PDF

 
<javascript:void%20window.open('http://www.insistnet.com/index2.php?option=c
om_content&task=view&id=46&Itemid=37&pop=1&page=0',%20'win2',%20'status=no,t
oolbar=no,scrollbars=yes,titlebar=no,menubar=no,resizable=yes,width=640,heig
ht=480,directories=no,location=no');> Print

 
<javascript:void%20window.open('http://www.insistnet.com/index2.php?option=c
om_content&task=emailform&id=46',%20'win2',%20'status=no,toolbar=no,scrollba
rs=yes,titlebar=no,menubar=no,resizable=yes,width=400,height=250,directories
=no,location=no');> E-mail

 


Written by Hamid Fahmy Zarkasyi, Ph.D. 


Saturday, 27 January 2007 


Tulisan ini mencoba menjelaskan beberapa hal yang tertuang dalam tanggapan
Ahmad Sahidah (Republika 12/01/07) dan Al Makin (Republika 19/01/07)
terhadap tulisan saya (28/12/06). Upaya A Sahidah bersikap adil terhadap
pembaharuan Islam nampaknya gagal. Adil dalam tradisi intelektual Islam
berarti meletakkan sesuatu pada tempatnya. Dan untuk itu perlu mengetahui
ilmu tentang sesuatu dan tempat sesuatu itu sekaligus. Sementara itu Al
Makin justru melakukan simplifikasi makna Islam dan world view.

Klasifikasi 'kaum tua' dan 'kaum muda' bagi saya tidak relevan. Sebab dengan
itu kaum muda dianggap tidak-dewasa, sedang kelompok tua yang dikritik sudah
matang dan mapan. Ini pandangan sosiologis dan bukan epistemologis dan tentu
tidak adil. Selain itu, pembagian Islam murni dan akomodatif setahu saya
tidak dikenal dalam tradisi intelektual Islam. Konsekuensi dari klasifikasi
ini tentu Islam murni tidak akomodatif dan Islam akomodatif tidak murni.
Klasifikasi yang bisa menyesatkan. 

Adil terhadap Barat
Masih banyak di antara kita yang tidak dapat memahami Barat secara adil.
Seringkali superfisial atau simbolistis. Barat masih dianggap identik dengan
kemajuan teknologi, bahasa Inggris, metodologi, dan sebagainya. Maka tidak
aneh jika dengan cara berpikir ini akan menuduh sesesorang yang berbahasa
Inggris, atau menggunakan teknologi Barat, sebagai terbaratkan. Prof Naquib
Al Attas sendiri banyak menulis dalam bahasa Inggris dan tidak serta merta
epistemologinya terbaratkan. 

Barat sejatinya adalah peradaban. Dan matrik setiap peradaban adalah world
view, cara pandang terhadap segala sesuatu (Peter Berger), agama atau
kepercayaan (S Huntington). Dalam world view ini terdapat konsep-konsep
penting yang membentuk sebuah framework berpikir. Setiap peradaban memiliki
world view sendiri-sendiri. Fukuyama mengakui world view Islam bertentangan
dengan world view Barat liberal. Tampaknya Al Makin tidak sadar bahwa Barat
melihat Islam sebagai world view. Karena itu ia melakukan simplifikasi
terhadap makna Islam dan Welstanschaung (world view). 

Bagi saya agar kita bersikap adil terhadap Barat, kita perlu melihat
Islam-Barat sebagai world view. Justru dengan menggunakan matrik world view,
pemahaman kita terhadap identitas Islam dan Barat menjadi lebih kompleks dan
komprehensif. Di situ kita letakkan konsep-konsep dalam world view Barat dan
world view Islam berhadapan-hadapan. Kemudian kita kaji dan analisis
konsep-konsep itu secara ilmiah. Analisis yang cerdas akan menjawab
pertanyaan apakah konsep-konsep Barat itu dominan dalam pemikiran Muslim
atau konsep-konsep Islam yang dominan dalam pemikiran Barat. Jika yang yang
terjadi adalah yang pertama maka asumsi saya adalah benar adanya kita
terhegemoni. 

Adil pada pembaruan Islam
Kritik saya terhadap gagasan pembaruan Islam tidak terbatas pada soal
terminologi. Terminologi seperti sekularisasi, rasionalisasi, dan
liberalisasi yang saya sebutkan hanya contoh kasus yang kebetulan popular.
Yang utama adalah kerancuan konseptual di balik itu. Itu hanya menunjukkan
rapuhnya bangunan epistemologi kita. Konsep rasionalisasi ala Barat
seakan-akan mengungguli konsep tafakkur, tadabbur, tazakkur, ta'allum,
tafaqquh, dan sebagainya dalam Islam yang sangat kompleks itu. 

Kritik saya merujuk pada tradisi intelektual Islam. Proses negasi (radd,
naqd, atau nafyu) dan affirmasi (ithbat) adalah esensi syahadat dalam Islam.
Para ulama kita biasa mengritik, mengomentari, memberi solusi, menyeleksi,
atau mengadapsi ide-ide Yunani, India, Persia, Kristen yang ada di
lingkungan pemikiran Islam. Ini semua tentu melalui proses epistemologi. 

Proses ini yang tidak saya temui dalam gerakan pembaruan Islam. Mungkin
karena penguasaan terhadap khazanah ilmu pengetahuan Islam merosot,
terhegemoni pengetahuan Barat atau pengetahuan Islam dari Barat
(orientalis). Akhirnya Muslim gagal mengapresiasi konsep-konsep penting
Islam dan sukses mengafirmasi konsep-konsep Barat. Maka wajah pembaruan
Islam pun tidak lebih dari justifikasi konsep-konsep Barat dengan mengais
dalil-dalil Alquran dan hadis. 

Ekstremnya, pembaruan Islam itu tidak juga akomodatif, tapi lebih cenderung
konsumtif. Terlalu banyak mengonsumsi ide-ide luar, terlalu sedikit menggali
ide-ide dari dalam khazanah pemikiran Islam. Memang benar Islam tidak steril
dari anasir asing. Tapi perlu dicatat bahwa Islam bangun dengan tradisi
intelektualnya sendiri, sebelum 'meminjam' konsep-konsep asing. "Tidak ada
peradaban yang bebas dari proses pinjam meminjam dari peradaban asing", kata
Prof Alparslan Acikgence pakar pemikiran Islam asal Turki. Tapi ingat,
lanjutnya, peradaban yang dihegemoni oleh konsep-konsep asing lama kelamaan
akan mati. 

Jadi masalahnya bukan akomodatif atau tidak terhadap konsep asing. Tapi
bagaimana proses epistemologi ketika kita mengadapsi dan mengakomodasi
konsep-konsep asing tersebut. Agar adil di sini kita perlu tahu
konsep-konsep Islam dan asing sekaligus. Apakah adil jika kita mendaku
sebagai Muslim tapi pikiran kita sekuler, liberal, atau Marxist. Adilkah
kita jika mewajibkan jilbab pada civil society Barat. Apakah kita adil jika
mengganti tata hukum Barat dengan hukum Islam. 

Solusi masalah
Untuk 'merangkai kembali pesan utama Islam' Sahidah mengusulkan agar kita
menggunakan pembacaan Barat. Maksudnya supaya adil. Tapi ini justru tidak
adil dan rancu secara konseptual. Sebab dengan pembacaan Barat misalnya
tidak ada ruang publik untuk Islam, Islam yes partai Islam no, dengan
pembacaan Gadamer semua mufassir menjadi bias kepentingan sosial dan ambisi
kekuasaan, dan seterusnya.

Usulan Sahidah untuk hanya merujuk Ibn Rusyd dalam membangun epistemologi
Islam juga tidak adil. Apresiasi Ibn Rusyd terhadap metode burhan cukup
menarik dikaji. Tapi teori epistemologinya yang memperkenalkan sumber
kebenaran ganda justru memicu dikotomi di Barat. Agar adil mestinya
epistemologi Al Nasafi, Al Ghazali, Fakhruddin Al Razi, dan lain-lain yang
integratif perlu dijadikan acuan.

Memahami Islam sebagai world view berarti menggunakan pembacaan Islam yang
merujuk konsep-konsep seminal dalam Alquran, dan struktur konsep-konsep
keilmuan dalam tradisi intelektual Islam. Untuk itu Muslim harus mampu
membentuk konsep-konsep itu dalam bentuk jaringan atau struktur konsep dalam
sebuah supersistem. Supersistem itu dapat disebut ru'yatul Islam li al wujud
atau al tasawwur al Islami.

Apabila Islam dipahami sebagai ru'yatul Islam li al-wujud maka secara
epistemologis kita memiliki kaca mata untuk melihat dan alat untuk
mengadapsi konsep-konsep asing. Bahkan kemudian dapat merekonstruksi
konsep-konsep asing manapun dengan pembacaan Islam. Al Attas menyebut proses
ini dengan Islamisasi ilmu pengetahuan kontemporer. Suasananya tidak lagi
hegemonik, tapi dialogis. Satu peradaban bisa menolak dan meminjam konsep
dari peradaban lain tanpa paksaan dan campur tangan politik. Itulah keadilan
suatu pemikiran. 

 

Source : http://www.insistnet.com/content/view/46/37/

 

Attachment: image001.gif
Description: GIF image

Attachment: image002.gif
Description: GIF image

Attachment: image003.gif
Description: GIF image

Reply via email to