Boleh juga dung diceritakan bagaimana, Pak Adang ini mengumpulkan seluruh hartanya sampai saat ini, yang nilai puluhan bahkan lebih dari ratusan milyard? dapat warisan, atau jadi beking atau urusan ilegal lainnya. Kalau cuman ngandelin gaji dan penghasilan resmi polisi, palingan cuman punya tabungan milyaran ajah, ga sampai ratusan milyar seperti sekarang...... Terus apakah usaha istrinya jadi maju karena pengaruh dan peran serta dari Pak Adang ini, atau memang benar-benar dari awal, dan mungkin ada yang yang tahu kisah calon Gubernur DKI ini, yan gpasti kita ga mau lagi salah pilih serpti kita dapat gubernur Tamak seperti Suti ini....... Kalau ada cerita begini yang lebih bagus buat Pak Adang, bahwa harta yang dia dapat benar-benar jujur dan ukan memanfaatkan posisinya. Jadi ingat kapolri dulu Pak Hoegeng, pas beliau jadi Kapolri, istrinya ga boleh usaha jualan bunga, karena takut akan memanfaatkan usaha istrinya itu untuk menyuap beliau...... bagaiman rekan-rekan PKS, bisa ceritan sisi lain dari Pak Adang tersebut? atau memang ga bisa, dan jadi penasaran apa yah konsesi PKS dan Pak Adang, kalau dia jadi Gubernur DKI, apa PKS minta setoran puluhan milyar pertahun dan tentunya jaminan DKI musti dimenangi oleh PKS di Pemilou 2009? Ayo dung rekan PKS diberi tahu kita-kita ini yang awam....... Ali Andre Marine Department PT. Asuransi Raksa Pratikara Tel. : 021-3859008 Ext. 1917 Fax : 021-3859004/5/6 Mobile : 0818-844632
22. "BangAdang.com" - Dari Gandaria Ke Jatibaru Posted by: "Istalitha Kumiwara" [EMAIL PROTECTED] talita_newsmail Date: Tue Feb 27, 2007 10:11 pm ((PST)) Date: Wed, 28 Feb 2007 12:27:07 +0700 "BangAdang.com" You can access it at the following url: http://www.bangadang.com/index.php?option=com_content&task=view&id=35&Itemid=33 Dari Gandaria Ke Jatibaru Dalam usianya yang ke lima puluh tujuh, postur tubuhnya tegap dan perutnya datar. Wajah-nya juga nyaris tanpa kerutan. Tentu semuanya ini tidak datang dengan tiba-tiba, melainkan hasil dari olah tubuh sejak remaja. Tiga Seragam Adang kecil punya cita-cita jadi tentara. Entah dari mana keinginan ini timbul karena ia dibesarkan dalam keluarga yang berkecukupan. (Ia tidak mau disebut menak) Rumah masa kecilnya di Gandaria Tengah. Ayahnya, Raden Ahmad Djunaedi adalah seorang jaksa. Ibunya Raden Ahadiah Wargadibrata, seperti kebanyakan ibu-ibu saat itu, seratus persen ibu rumahtangga. Ayah dan ibunya amat dekat dengan anak-anaknya. Seperti anak-anak pada umumnya, ia juga sering bermain air bila hujan tiba. Ia masih ingat bagaimana ia dan kawan-kawan menyusuri kali waktu kecil, dengan menaiki sebatang pisang. Ia diantar supir ayahnya, kemudian diturunkan di-tepi Sungai Grogol, di daerah Radio Dalam, sebelah komplek Angkatan Laut (yang diingatnya ada lapangan bolanya), lalu naik gedebong pisang dan menikmati aliran sungai yang kala itu, tentu saja, lebar dan belum dipenuhi sampah. Dan ujung perjalanan di sungai tersebut adalah di bak sampah Kebayoran Lama (dulu orang selalu menyebut Pelbak) yang sekarang sudah menjadi pertokoan. Saya tukang curi mentimun dan tomat kalau lagi jalan-jalan di Kampung Sawah... waktu itu kan masih banyak sawah, kenangnya tergelak. Teman Adang semasa SR (Sekolah Rakyat dulu, sebelum istilah Sekolah Dasar), Tatam, mengenang masa kecil mereka yang menyenangkan, Adang itu kalau main sejak dulu sudah jadi pemimpin. Di sekolah selalu ranking. Begitu cerita Mohamad Chatam, nama lengkap Tatam, yang sebetulnya adalah teman kakak Adang, Anwar Djunaedi, tetapi karena ia tidak naik kelas, maka kemudian berteman dengan Adang. Satu keluarga itu saya kenal semua, dari kakak-kakak sampai adiknya Adang yang bernama Satria, Nugraha, Muharam, Anwar dan adiknya Uty Ratnasari. Semuanya baik dan tidak sombong. Di SMP 29 Jalan Bumi-Mayestik, Adang dikenal enak diajak berteman. Tutur Suhud Karyana, yang dipanggil Uut oleh kawan-kawannya, Adang nggak macam-macam. Pinter sekali sih enggak, tapi mudah bersahabat. Enaklah diajak berteman. Dia juga nggak koboi-koboian walaupun anak jaksa, kata teman semasa SMP yang kini hanya bertemu kalau ada acara. (Sekarang Adang menjabat Ketua Perkumpulan Remaja Kebayoran 60-an). Mungkin karena ayahnya adalah (juga) oditur militer, maka di rumah ada tiga foto sang ayah dengan tiga seragam yang berbeda. Satu seragam jaksa. Yang lainnya, seragam Angkatan Darat, de-ngan pangkat mayor (tituler) dan Angkatan Laut dengan pangkat letnan kolonel. Apakah foto-foto ini yang mengilhami Adang kecil untuk suatu hari kelak berseragm militer juga? Atau jip tentara yang selalu dikendarai ayahnya? Boleh jadi! Ia bersekolah di SMA Budi Utomo sampai kelas dua. Di SMA ini ia seangkatan dengan mbak Tutut dan ahli tatarias penganten, Tien Santoso. Kira-kira enam bulan sebelum ujian, ayahnya memintanya pindah ke Bandung dengan alasan akan lebih mudah masuk ke ITB atau UNPAD. Saat itu ayahnya adalah jaksa Tinggi Jawa Barat di Ban-dung dan sebagai Jaksa Tinggi beliau juga Dewan Penyantun ITB dan UNPAD. Sang ayah menginginkan Adang menjadi insinyur atau dokter. Maka pindahlah Adang ke Bandung dan masuk ke SMA 3, salah satu sekolah lanjutan atas terbaik saat itu. Di hari pertama sekolah, Adang segera tahu bahwa pelajarannya di Jakarta tertinggal dibanding dengan sekolahnya yang baru. Sang ayah tidak kekurangan akal, dipanggilnya guru untuk datang ke rumah pada hari Minggu. Jadilah hari Minggu sebagai hari sekolah. Ada kejadian kecil yang menunjukkan kekerasan hati Adang remaja untuk tetap memilih menjadi tentara atau polisi. Saat itu tanggal 5 Oktober dan ia bersama ayahnya melihat acara ulangtahun ABRI di alun-alun Bandung. Tiba-tiba ayahnya memanggil seorang perwira muda, pang-katnya kapten untuk menceritakan padanya betapa tidak enaknya menjadi militer. Adang masih ingat kata-kata perwira itu, Sudahlah dik, jangan jadi tentara, hidupnya susah seperti saya ...Saya dengar orangtua adik, ingin adik jadi insinyur atau dokter, sudahlah ikuti bapak saja. Ia ingat perwira tersebut dari kavaleri. Tapi rayuan sang ayah yang disuarakan pak kapten ini rupanya tak mampu merubah tekad Adang. Dari kecil ia sudah bercita-cita menjadi tentara atau polisi, maka ia pun bersiap-siap mendaftar selulus SMA. Ia bingung bagaimana mengatakan hal ini pada sang ayah. Maklum pada jaman itu para ayah wibawanya sangat tinggi dan cende-rung otoriter. Anak-anak biasanya amat takut pada ayahnya. Adang tak kehabisan akal, dideka-tinya sang mami Ia berterus terang tidak berminat untuk menjadi dokter atau insinyur dan ia minta hal ini disampaikan pada ayahnya. Alih-alih membantu, ibunya menjawab bahwa ia juga takut menyampaikannya. Pada akhir pilihan apakah menjadi Taruna Angkatan Darat atau polisi, Adang memilih polisi. Waktu terus berjalan sampai mendekati penutupan kelengkapan surat pendaftaran calon-calon taruna. Ketika surat persetujuan orangtua harus disertakan oleh calon, Adang berhasil membujuk ibunya untuk menandatanganinya. Akhirnya berangkatlah calon taruna ini dan di peron stasiun pada hari keberangkatannya ke Magelang (saat itu AKABRI tingkat I pendidikan dasarnya di Magelang), hatinya tergetar. Ia melihat semua calon taruna diantar orangtuanya, dipeluk dan mendapat lambaian tangan saat kereta berge-rak meninggalkan stasiun kereta api di Bandung. Adang hanya sendiri, tak ada yang mengantar. Tentang hal ini ia tidak pernah menceritakan pada kedua orangtuanya, khawatir mereka dihinggapi perasaan bersalah. Selama tiga bulan pertama di Akademi di Magelang, ia memang tidak boleh ditengok orangtuanya. Tetapi kejutan menyenangkan tiba. Saat pelantikan, ayahnya hadir. Pelukan dan air mata mengakrabkan kembali hubungan ayah dan anak. Baru beberapa tahun kemudian ia mengetahui bahwa ayahnya yang tampak keras dari luar, ternyata lembut hatinya. Ijin baginya untuk melanjutkan ke AKPOL (Akademi Polisi) ternyata dengan pertimbangan bahwa nantinya (Taruna Tingkat II AKPOL) pendidikannya di Sukabumi, dekat dari Jakarta. Dan dari ibunya, ia pun tahu bahwa ayahnya menangis ketika ia berangkat ke Magelang dan Sukabumi. Masuk Asrama Tiga hal yang diingat dari ayahnya. Ini pilihanmu. Kamu tahu betapa susahnya menjadi pegawai negri. Hati-hati dan semoga kamu sukses. Maka Adang yang semasa remaja suka ngebut dengan motor dari jalan Pattimura di Kebayoran sampai ke bunderan Taman Surapati di daerah Menteng, Jakarta Pusat, memulai karirnya sebagai polisi. (Dalam wawancara ia selalu menyebut Abdi Negara) Begitu lulus, Adang menikahi pacarnya, putri seorang saudagar Sukabumi, Nunun Nurbaeti. (tahun 1972) Pasangan muda ini semula tinggal di keluarga Adang sampai pada suatu hari, Nunun mengajak pindah ke asrama polisi dengan alasan, Kalau di sini terus, kita tidak akan menjadi dewasa. Pernyataan istrinya ini mengagetkan A-dang karena ia tahu situasi asrama. Betul dugaan Adang, reaksi dari orangtua dan mertuanya waktu mendengar mereka sebagai keluarga muda dengan satu anak kecil akan pindah ke asrama, adalah kenapa? dan untuk apa? Tetapi keputusan ini ternyata membawa pa-sangan muda ini ke arah kehidupan yang sebenar-benarnya. Bayangkan keadaan asrama polisi di Jatibaru amat berbeda dengan rumah orangtua mereka masing-masing. Bangunan peninggalan Belanda yang menyerupai lorong, lalu tiap keluarga memiliki ruang tamu yang tersambung dengan kamar tidur, dapur dan kemudian kamar mandi dan wc di belakang, yang luas keseluruhan kira-kira hanya seperempat ruang tamu rumah di Cipete saat ini, kenang Adang sambil tertawa ringan, tanpa ada rasa sesal atau sedih.. Maka waktu orangtua Adang pertama kali menjenguk, Adang melihat ada kekagetan di mata ayahnya. Hanya ini ucapan ayahnya. Ya kalau mau jadi pegawai negri harus mau begini, ujarnya me-nenangkan. Dari kehidupan di asrama inilah Adang dan istri melihat realita kehidupan. Ada polisi yang bera-sal dari Makasar, Ambon, Jawa, Padang, ada yang sudah berpangkat, ada yang ... pokoknya banyak hal yang bisa dipetik dari situ. Kalau kami mau, sebetulnya untuk mendapat uang tambahan, kami tinggal bilang ke bapak mertua saya di Sukabumi atau ayah saya pak minta uang tetapi itu tidak kami lakukan. Sebaliknya kami menikmati menjadi lebih punya dari setapak demi setapak, bukan ujug-ujug. Bagaimana sulitnya mencari uang, itu kami alami betul. Dan ini juga baik bagi perkembangan anak-anak nantinya, karena mereka tahu kami mendapatkannya melalui suatu proses. Tiga tahun setelah masuk asrama itu, istrinya minta ijin untuk bekerja. Mulanya ada perasaan terganggu karena Adang sadar istrinya adalah anggota Bhayangkari, namun orangtuanya ikut urun rembuk dengan menyarankan untuk memberikan ijin. Toh nantinya penghasilan istri dapat untuk menambah kesejahteraan keluarga. Usaha sang istri berkembang pesat, sementara Adang sebagai polisi juga menapaki karir yang sudah ada aturan dan jalurnya. Makin lama usaha istrinya makin berkembang sehingga sering ada pertanyaan, Pak Adang tidak terganggu, ibu lebih berkembang? Adang menjawab tidak, karena, Istri saya sangat menghargai saya dan kami tidak pernah mempermasalahkan uang ini uang siapa.