Kompas, 9 Maret 2007

HARI PEREMPUAN INTERNASIONAL
Diskriminas Jender dan Eksploitasi Pekerja Harus
Dihilangkan

BANDUNG, KOMPAS – Puluhan masyarakat dan aktivis
sejumlah organisasi masyarakat atau ormas di Jawa
Barat mendatangi Kompleks Gedung Sate Bandung, Kamis
(8/3), memperingati Hari Perempuan Internasional.
Mereka menyerukan pentingnya upaya menghilangkan sekat
ekslusivitas dan diskriminasi jender.

Aksi yang dimulai sejak pukul 10.00 ini diikuti
ibu-ibu hingga anak usia sekolah dasar. Kebanyakan
dari mereka merupakan buruh dan petani yang berasal
dari Kecamatan Pangalengan, Kabupaten Bandung.

Ormas yang turut dalam peringatan Hari Perempuan
Internasional itu, antara lain Serikat Pererempuan
Indonesia (Seruni), Aliansi Gerakan Reforma Agraria
(AGRA), dan Komunitas Mahasiswa untuk Demokrasi (KMD).

Dalam aksi simpati ini, pengunjuk rasa menekankan
upaya persamaan jender, terutama untuk tenaga kerja.
Bunga Erwita, aktivis perempuan, mengungkapkan,
munculnya bentuk penindasan baru di era kemerdekaan.
Penindasan tersebut, antara lain diskriminasi dan
kecenderungan eksploitasi kerja terhadap perempuan.

”Hingga saat ini, kami masih turun ke jalan karena
semata-mata ingin menunjukkan adanya diskriminasi itu.
Semestinya, sudah sepatutnya kami mendapatkan kesamaan
hak-hak dalam sosial, budaya, maupun ekonomi. Jangan
selamanya kami tersisihkan secara budaya,” kata Bunga
dalam orasinya.

Menurut Bunga, diskriminasi jender yang terjadi telah
melembaga dan sistemis. Ranahnya pun meluas, mulai
dari aspek sosial hingga politik. Dari sekian banyak
hal, diskriminasi dalam ekonomi yang paling krusial.

Bunga mengatakan, kebijakan regional misalnya,
sedikitnya ditengarai ada 41 peraturan daerah Jabar
yang dianggap tidak berpihak pada persamaan jender.

Penghasilan
Sri, aktivis dari Seruni, mengungkapkan praktik
diskriminasi terutama dialami kaum buruh, mulai dari
buruh pabrik hingga petani. 

Di pabrik, misalnya, kata Sri, terjadi perbedaan
tunjangan dan gaji antara buruh laki-laki dan
perempuan. Belum lagi, kesulitan untuk memperoleh izin
cuti hamil atau menstruasi. Padahal, potensi
antarjender itu diyakini Sri tidak jauh berbeda.

”Di pertanian, buruh perempuan hanya dibayar Rp. 6.000
sampai Rp. 8.000. bandingkan dengan laki-laki yang
bisa mendapat Rp. 16.000. Padahal, waktu kerjanya sama
dan bebannya nyaris setara. Inilah mengapa budaya
patriarkis demikian masih kuat dan merasuk,” katanya.

Direktur Eksekutif Institut Perempuan Valentina
Sagala, yang juga merupakan aktivis feminis ini,
mengungkapkan, Indonesia telah memiliki aturan yang
menghapuskan segala bentuk diskriminasi terhadap
perempua, yaitu Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984
tentang Ratifikasi Konvensi Segala Bentuk Diskriminasi
terhadap Perempuan (CEDAW).

Namun, menurut Valentina, ketidakadilan jender masih
saja terjadi hingga sekarang. Hal ini karena ketentuan
CEDAW banyak mengandung kelemahan.

Valentina mengatakan, salah satu kelemahan UU tersebut
adalah memberikan keluwesan pada pelaksanaannya, yaitu
dapat menyesuaikan diri dengan praktik budaya.
Padahal, di lain pihak budaya di Indonesia umumnya
masih bersifat patriarki. Untuk itu, perlu ada
reformasi terhadap aturan tersebut. (JON)



 
____________________________________________________________________________________
We won't tell. Get more on shows you hate to love 
(and love to hate): Yahoo! TV's Guilty Pleasures list.
http://tv.yahoo.com/collections/265 

Kirim email ke