Makin tampak PDI-P dan PKB sebagai fraksi yang paling konsisten di DPR dalam 
memihak HAM dan berbagai persoalan sekait pengentasan penderitaan wong cilik. 
Tentu saja dalam sistem gado-gado pemerintahan presidensiil dan parlementer 
sekarang ini kedua fraksi tsb, bersama beberapa anggpta Dewan dari fraksi lain 
seperti PAN selalu kalah suara dalm interpelasi, hak angket atau voting dan 
semua manuver melawan kelompok berkuasa yaitu Golkar, PKS, PD dll. Namun inilah 
"nasib" oposisi dalam sikon seperti ini.. Betul sekali, yang penting ialah 
konsistensi, tekad sinambung untuk terus men check and balance kekuasaan yang 
ada. Apa pula yang sangat giat memiskinkan wong cilik seperti kini.
   
  Sangat bisa dimengerti bahwa Ibu Maria C Sumarsih terus berupaya mencari 
keadilan bagi putranya yang tertembak. Telah terjadi ekspektasi terlalu tinggi 
dan tidak riil pada Megawati ketika menjadi Presiden RI. Berbeda dengan SBY dan 
MJK, Mega tidak didukung (tentu saja) oleh segala kekuatan Orba yang masih 
sangat kuat disemua bidang kekuasaan. Hingga ketika itu Mega sangat terbatas 
ruang geraknya dalam menjalankan kekuasaan. Ingat ketika beliau marah pada 
birokrasi yang dikatakannya sebagai "keranjang sampah"! Sangat identik bahwa
  meskipun begitu berkuasanya kabinet kini, namun hasilnya bagi bangsa dan 
rakyat adalah nihil. Disini memang yang memimpin sekarang adalah kepentingan 
khusus, "particular interests", bukan kepentingan umum yang luas.
   
  Ibu Sumarsih sangat benar. Tidak ada yang dapat diharapkan dari Golkar dan 
semua sekutunya di DPR, dan yang sedang memerintah, sekait dengan supremasi 
HAM. Juga dalam banyak sekali bidang lain, seperti upaya anti korupsi, 
supremasi hukum, pengentasan kemiskinan dan sebagainya.
   
  Pemilu dan pilpres 2009 adalah kesempatan bagi rakyat untuk mengubah ini 
semua. Akan kita gapaikah kesempatan ini? Atau kita akan terbuai dantertipu 
lagi?
  DM
  

HKSIS <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
            SUARA PEMBARUAN DAILY 
    
---------------------------------
  
  Golkar Dinilai Tak Dukung Penuntasan Kasus HAM Berat     Sekretaris FPDI-P 
DPR, Jacobus Mayong Padang (kanan) bersama mantan anggota Komnas HAM, Asmara 
Nababan (kiri) dan Sumarsih saat berdiskusi tentang "Komitmen Parpol Atas 
Penuntasan Kasus Tragedi Trisakti, Semanggi I dan II" di Gedung MPR/DPR 
Senayan, Jakarta, Jumat (9/3). [Pembaruan/Charles Ulag]   [JAKARTA] Dalam 
pemilihan umum 2009, rakyat diharapkan tidak memilih partai politik (parpol) 
yang alergi terhadap penuntasan persoalan hak asasi manusia (HAM). Demikian 
seruan Maria Catarina Sumarsih, ibunda Realino Norma Irawan, mahasiswa Atma 
Jaya yang tewas ditembak aparat dalam tragedi Semanggi I (1998). "Golkar adalah 
kunci penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat," ujarnya dalam diskusi 
yang diadakan koordinatoriat wartawan DPR, Jumat (9/3).   Selain Golkar, 
sedikitnya ada 13 parpol lain yang juga dinilai anti-HAM. Daftar parpol 
anti-HAM itu dibuatnya berdasarkan sikap parpol-parpol itu melalui Pansus DPR 
yang
 menyatakan bahwa tragedi Trisaksi, serta Semanggi I dan Semanggi II (TSS) 
bukan kasus pelanggaran HAM berat.   Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan 
(PDIP) dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), tidak dimasukkannya dalam daftar 
hitam dengan alasan masih ada kader-kader parpolnya yang tulus memperjuangkan 
kasus HAM di DPR. Meski demikian, hal itu tetap tidak menghapus kekecewaannya 
pada mantan Presiden Megawati Soekarnoputri.   Ketua Umum DPP PDI-P itu dinilai 
mengecewakan karena tidak sejalan dengan perjuangan para kadernya di DPR saat 
berada di pucuk kekuasaan sebagai Presiden. Namun hal itu dibantah Sekretaris 
Fraksi PDI-P DPR, Jacobus Kamarlo Mayong Padang.     Sikap Tegas   Menurut 
Jacobus, PDIP konsisten memperjuangkan kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi 
selama ini. Pada diskusi itu sendiri, dipertanyakan mengapa PDIP tidak 
menggunakan hak interpelasi atau angket. "Saya yakin fraksi (FPDI-P) punya 
hitung-hitungan politis. Beberapa kali hak angket yang diajukan
 FPDI-P kandas," ucap Jacobus.   Sementara itu, aktivis HAM Asmara Nababan 
menyatakan yang paling penting adalah adanya pernyataan sikap yang tegas dalam 
pembelaan kasus-kasus HAM itu sendiri. "Kekhawatiran kandasnya hak angket atau 
interpelasi yang diajukan, dan ada pihak yang diuntungkan dalam rangka 
menggagalkan pengajuan hak DPR itu, merupakan persoalan lain," katanya.   
Asmara menegaskan dalam rapat-rapat Komisi III DPR dengan Jaksa Agung mengenai 
kasus TSS, Kerusuhan Mei 1998, serta penghilangan paksa aktivis 1997-1998, para 
anggota Komisi III itu telah dilecehkan kecerdasannya dengan alasan-alasan yang 
dikemukakan Jaksa Agung.   Jaksa Agung selalu mengelak dari tanggung jawabnya 
melakukan penyidikan, dengan alasan tidak bisa mengeluarkan perintah penyidikan 
tanpa perintah Pengadilan HAM Ad Hoc, yang hanya bisa dibentuk Presiden atas 
usul DPR. Jaksa Agung menyatakan tidak bisa melakukan penyidikan tanpa adanya 
tempat dan waktu terjadinya tindak pidana.  
 "Pertanyaannya, DPR bisa apa? Kalau Jaksa Agung sesat secara hukum, tidak mau 
menjalankan perintah undang-undang, Komisi III mau ngapain?" tanya Asmara. 
Seperti halnya Sumarsih, Asmara menyatakan pesimismenya terhadap DPR.   
Berdasarkan catatan Pembaruan, rekomendasi Komisi III agar Pimpinan DPR 
mengirim surat rekomendasi kepada Presiden untuk membentuk Pengadilan HAM Ad 
Hoc, ditolak melalui rapat pimpinan (rapim) DPR, dan mengalihkan agar 
rekomendasi itu diputuskan melalui rapat paripurna. Namun, dalam rapat Badan 
Musyawarah (Bamus), Selasa (6/3), delapan fraksi menolak rekomendasi Komisi III 
dibawa ke rapat paripurna. Dalam perekmbangannya, Dalam perkembangnnya, terjadi 
perubahan komposisi, yakni lima fraksi mendukung dan lima fraksi menolak. 
[B-14]       
---------------------------------
  
  Last modified: 9/3/07 
   
  SUARA PEMBARUAN DAILY   
---------------------------------
    Euforia Demokrasi Melupakan Kemiskinan Masyarakat  [DepOK] Dalam konteks 
pengalaman berdemokrasi, euforia telah menempatkan demokrasi di Indonesia dalam 
ruang mimpi menyesatkan. Demokrasi dianggap identik dengan kesejahteraan, 
termasuk di dalamnya rasa keadilan, pemerataan dan kebahagiaan. "Kita perlu 
menyadari, bahwa demokrasi adalah utopi positif yang harus dikonstruksi. 
Demokrasi adalah alat untuk mencapai kesejahteraan, bukanlah kesejahteraan itu 
sendiri.   Cita-cita masyarakat adil makmur seolah akan hadir seketika proyek 
demokrasi dilaksanakan. Namun ternyata jauh panggang dari api. Praktik 
demokrasi mengharuskan kita belajar lebih keras untuk 'menghela napas', ketika 
aktor dan agensi yang terlibat di dalamnya tidak jua kunjung mendekatkan 
kekuasaan kepada pemiliknya," kata Dekan FISIP Universitas Indonesia Prof Dr 
Gumilar Sumantri dalam orasi pengukuhannya sebagai guru besar fakultas tersebut 
di Kampus UI, Depok, Jawa Barat, baru-baru ini.   Menurut Gumilar,
 demikian pula halnya dengan cita-cita kesejahteraan dan masyarakat adil makmur 
adalah jargon kosong yang terbungkus rapi di laci-laci politisi. Data terakhir 
yang dilansir Bank Dunia dengan menggunakan indikator kemiskinan moderat 
(pendapatan kurang dari US$ 2 per hari), mencatat penduduk miskin Indonesia 
mencapai 49 persen dari total penduduk Indonesia atau separuh penduduk 
Indonesia, miskin. Dengan kata lain, separuh penduduk Indonesia memiliki 
pendapatan di bawah Rp 18.000 (kurs US$ 1 = Rp 9.000) per hari.   Dikatakan, 
angka kemiskinan di atas bukanlah tanpa ikutan yang mengenaskan bagi bangsa 
yang dijuluki sebagai negeri thousands impossibilities ini. Pada 2004, 
misalnya, dalam angka sangat konservatif, sekitar 1,5 juta balita di Indonesia 
menderita busung lapar dan 3,6 juta balita menderita kurang gizi.   Di tahun 
2005, 1,67 juta anak balita (8 persen) menderita busung lapar dan 5,7 juta 
balita (27,3 persen) kurang gizi. Juga tercatat 2 sampai 4 dari 10 anak di 72
 persen kabupaten di Indonesia menderita kurang gizi.   Titik Gelap   Lalu, apa 
yang terjadi dengan hak kultural, seperti hak atas pendidikan-sekolah? Hanya 
46,8 persen dari anak usia sekolah yang menyelesaikan 9 tahun pendidikan dasar 
dan 4,2 juta anak umur 7-15 tahun tidak pernah menikmati pendidikan sekolah.   
Tentu, lanjutnya masalah ini hanya merupakan salah satu titik gelap dalam 
rantai masalah kemiskinan yang mencakup titik-titik gelap lain, seperti angka 
kemiskinan di perkotaan sekitar 39 persen dan tingkat kemiskinan di pedesaan 
sekitar 53 persen. "Bagaimana memahami kedua dimensi kemiskinan tersebut?" 
tanyanya.   Dijelaskan Gumilar, terdapat suatu sikap psikologis sebagai "bangsa 
besar" yang enggan mengakui fakta kemiskinan di atas. Sebagai contoh, data 
kemiskinan yang disampaikan World Bank pada 2006 kepada publik direspons dengan 
pendapat yang berbeda-beda. Sebagian di antara pandangan tersebut menyatakan 
skeptis dan ragu atas indikator, ambang batas, dan
 metodologi penghitungan angka kemiskinan. Padahal semestinya, ada kesadaran 
bahwa secara eksplisit maupun implisit, data tersebut menunjukkan satu pesan 
penting yang sangat berarti: betapa besarnya populasi penduduk yang rentan 
untuk jatuh ke dalam kemiskinan.   Upaya pengentasan kemiskinan sendiri 
merupakan upaya yang tak pernah putus dilakukan pemerintah maupun masyarakat 
sipil. Kebijakan antikemiskinan pemerintah Orde Baru misalnya, tertuang dalam 
kebijakan Inpres Desa Tertinggal (IDT) dan Tabungan Keluarga Kesejahteraan 
(Takesra). Di daerah perkotaan khususnya Jakarta, kebijakan antikemiskinan juga 
tercermin dalam berbagai program intervensi dan pemberdayaan masyarakat.   
Ditambah, program terbaru yang diimplementasikan pemerintah adalah bantuan 
langsung tunai (BLT) sebagai kebijakan intervensi pemerintah untuk mengurangi 
dampak ekonomi kenaikan harga BBM bagi keluarga miskin.   Namun, 
program-program itu tidak mampu secara efektif mengurangi kemiskinan, apalagi
 memberdayakan masyarakat miskin untuk berdikari.   Pendekatan pembangunan dan 
bantuan yang memberi "ikan" dan tidak memberi instrumen pemberdaya, kerap hanya 
akan melanggengkan struktur kemiskinan masyarakat. Masyarakat miskin tidak 
didorong untuk menolong dirinya sendiri.   Dalam konteks ini, diperlukan sebuah 
pendekatan yang lebih komprehensif dalam penanganan masalah kemiskinan; 
terdapat transisi yang perlu diatasi.   Pada era ini, pembangunan masyarakat 
perkotaan perlu diprioritaskan pada tiga dimensi, yakni legalisasi hak tanah 
dan tempat tinggal warga; pemberdayaan ekonomi rumah tangga dan komunitas; 
kanalisasi politik warga. Jika sukses menjalankan tiga strategi di atas, ritme 
napas masyarakat akan produktif dalam ruang negara yang nyaman. Agenda 
antikemiskinan selayaknya terfokus pada penguatan perekonomian rakyat secara 
riil dan berkelanjutan, memutus lingkaran setan kemiskinan dan pengangguran.   
Prakarsa pemberdayaan masyarakat melalui lembaga keuangan mikro,
 kata Gumilar, dapat dikembangkan secara konsisten. Pemberian kredit mikro 
kepada para pengusaha informal akan membuka akses mereka pada pasar, sekaligus 
membuka ruang pengembangan usaha dan lapangan kerja. Ketidakpercayaan dan 
kekhawatiran lembaga-lembaga keuangan dan perbankan di Tanah Air untuk 
memberikan kucuran kredit kepada kelompok masyarakat yang marjinal (petani, 
nelayan, buruh, dan sebagainya) harus memicu tekad pemerintah untuk membangun 
jembatan melalui pembentukan lembaga-lembaga keuangan agar rakyat dapat 
mengakses kredit secara mudah. [E-5]     
---------------------------------
  Last modified: 9/3/07 
  

         


































 
---------------------------------
Expecting? Get great news right away with email Auto-Check.
Try the Yahoo! Mail Beta.

Kirim email ke