Nyleneh, Gus Dur Ingin Jadi   Penyeimbang                      
Surabaya, www.gusdur.net
Pemikiran   mantan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang sering terlihat 
aneh, menurut   Rektor Universitas Muhammadiyah Muhadjir Effendy, bukanlah 
sesuatu yang asal   beda. Namun, itu adalah upaya Gus Dur untuk menciptakan 
perimbangan di   tengah-tengah masyarakat.
  ’’Seperti dalam membela Inul (ratu ngebor Inul   Daratista, Red), saya pikir 
Gus Dur bukan setuju dengan goyangnya Inul. Tapi,   lebih dimaksudkan untuk 
memberikan perimbangan,’’ ujarnya.
  Muhadjir menyampaikan itu ketika tampil sebagai   pembicara dalam bedah buku 
Islam Ku Islam Anda Islam Kita yang digelar   Komunitas Tabayun di Graha Pena 
Jawa Pos, Surabaya, Selasa (6/3/2007).   Selain Muhadjir, tampil sebagai 
pembicara tokoh muda NU yang juga wakil wali   kota Surabaya, Arif Afandi, dan 
Direktur Eksekutif The Wahid Institute Ahmad   Suaedy.
  Sekitar 200 orang menghadiri bedah buku tersebut.   Di antara hadirin, ada 
seorang profesor ilmu politik dari Amerika Serikat,   Michael Steven Fish. Dia 
sedang melakukan penelitian soal Islam di Indonesia.   Hadir pula Pembantu 
Rektor II IAIN Sunan Ampel Surabaya Prof Dr Nursyam.
  Dalam diskusi yang dipandu Direktur Pemberitaan   J-TV Imam Syafii itu, 
Muhadjir menuturkan, Gus Dur berani mengambil posisi   seperti itu karena dia 
sadar bahwa dirinya memiliki modal yang cukup besar.   Yakni, sebagai cucu 
Hadratussyech KH Hasyim Asy’ari, sebagai mantan   ketua umum PB NU, dan sebagai 
intelektual. 
  ’’Dengan kelebihan seperti itu, Gus Dur akhirnya   bisa memosisikan diri 
sebagai pengimbang. Ini adalah kelebihan Gus Dur yang   tidak dimiliki tokoh 
lain,’’ jelas tokoh Muhammadiyah yang mengaku cukup dekat   dengan pemikiran 
Gus Dur tersebut.
  Muhadjir lalu menegaskan, se-nyleneh apa   pun pemikiran Gus Dur, tapi mantan 
presiden itu masih dalam rel Islam. ’’Sejauh   yang saya amati, Gus Dur tidak 
pernah menyamakan Islam dengan agama lain. Bagi   Gus Dur, Islam tetap sebuah 
agama yang dia yakini kebenarannya.’’ 
  Namun, lanjut Muhadjir, sikap Gus Dur yang               nyleneh dan melawan 
itu, tidak menguntungkan ketika diterapkan dalam   bidang politik. Lawan-lawan 
politiknya, bisa menggunakan hal itu sebagai   amunisi. 
  Selain itu, menurut Muhadjir, Gus Dur terlalu   berbicara sesuai dengan kata 
hatinya. Dia tidak mau berkompromi dengan   lawan-lawan politiknya. ‘’Mungkin 
ini karena kecerdasan yang dia miliki.   Sepanjang yang saya ketahui, 
orang-orang yang cerdas memang kurang berhasil   ketika terjun ke dunia 
politik.’’ 
  Arif Afandi yang tampil sebelum Muhadjir   menuturkan, di tengah 
ke-nyleneh-an Gus Dur, ada satu hal yang bisa   digarisbawahi. Yakni, ideologi 
pembelaan yang dipegang Gus Dur. Dia selalu   memberikan pembelaan kepada 
pihak-pihak yang teranianya. 
  Dalam kasus itu, Arif mencontohkan sikap Gus Dur   terhadap intelektual muda 
NU Ulil Absar Abdalla. Dalam banyak kesempatan, Gus   Dur semestinya mengkritik 
sikap Ulil yang liberal. Namun, ketika Ulil dihujat   sekelompok umat Islam dan 
akan dibunuh, Gus Dur dengan lantang membelanya. 
  ’’Jadi, intinya, Gus Dur itu tidak mau ada   pihak-pihak yang dominan, lalu 
mendiskreditkan pihak yang lemah,’’ ujarnya. 
  Sama halnya dengan Muhadjir, dalam berpolitik,   kelemahan Gus Dur adalah 
terlalu berbicara sesuai dengan kata hatinya. Padahal,   dalam berpolitik, 
konsisus atau kompromi sangat diperlukan. ‘’Ini yang tidak   dilakukan Gus Dur. 
Dia mewujudkan semua yang diyakininya sebagai kebenaran.’’               
  Arif menambahkan, dalam masalah beragama, Gus Dur   menampilkan Islam secara 
sebagai agama yang rileks dan santai. Arif lalu   menuturkan, ketika menghadapi 
kritik kepada dirinya, Gus Dur senantiasa   menghadapinya dengan rileks. Dia 
lalu mencontohkan, ketika dalam sebuah seminar   mendapatkan kritik pedas soal 
perilaku keagamaan yang dijalankan, Gus Dur hanya   mengatakan kalau yang 
mengkritik itu adalah orang yang baru mengenal Islam. 
  ‘’Karena baru mengenal yang semangatnya seperti   itu (berlebihan, Red). Lain 
dengan kita yang sudah Islam sejak lahir,’’ ujarnya   santai. 
  Suaedy menambahkan, untuk membuat perimbangan, Gus   Dur sering melawan arus 
yang berkembang. ’’Contohnya, ketika Gus Dur diusir oleh   FPI di Purwakarta. 
Ketika reaksi yang mengecam pengusiran itu begitu besar, Gus   Dur malah dengan 
enteng mengatakan bahwa dirinya tidak diusir.’’ 
  Dengan pernyataan Gus Dur itu, maka kemarahan   pendukungnya bisa diredam. 
‘’Jadi, jangan berlebihan membela Gus Dur. Dia itu   orangnya tidak mau terbawa 
arus,’’ tandas alumnus IAIN Sunan Kalijaga Jogjakarta   ini. 
  Suaedy juga menceritakan, suatu ketika ada seorang   anggota Banser Ansor 
yang dengan semangat mengutarakan keinginannya membela Gus   Dur. Menanggapi 
itu, Gus Dur dengan enteng mengatakan, dirinya sudah sangat   senang bila 
anggota Banser itu bisa makan dengan   kenyang.
         
 Send instant messages to your online friends http://uk.messenger.yahoo.com 

Kirim email ke