Ada Kelompok tertentu Jadikan Masjid Basis   Politik
8 Maret 2007 15:24:17 www.gusmus.net
  
    Dengan dalih "memakmurkan masjid", ada kelompok-kelompok   Islam tertentu 
menjadikan masjid sebagai basis politik.  Di berbagai daerah,   terutama 
kota-kota besar seperti Jakarta, sejumlah masjid berkultur NU terancam   
dijadikan basis politik oleh kelompok Islam tersebut.


    Demikian fenomena yang terungkap dalam perbincangan antara KH   Mukhlas 
Syarkun, MA (Wakil Ketua Lembaga Takmirul Masjid Indonesia / LTMI - NU) dan 
Ahmad Baso (pengurus Lajnatut Ta’lif wan Nasyr / LTN - NU), Kamis   (22/2) lalu 
dengan Jaringan Islam Liberal (JIL)

Pak Mukhlas,   beberapa media Islam beberapa waktu lalu merilis keresahan NU 
dan Muhammadiyah   karena beberapa masjid dan sarananya sudah direbut kelompok 
tertentu. Apakah   keprihatinan itu berdasarkan fakta? 

Mukhlas Syarkun:   Kekhawatiran itu berangkat dari realita. Kenyataanya, masjid 
yang dulu dikelola   NU secara kultural, kini mulai terancam oleh pihak luar 
yang sengaja menggunakan   masjid sebagai basis komunikasi sosial, terutama 
politik. Karena itu, di NU ada   kekhawatiran kalau orientasi masjid yang 
mestinya ussisa alat taqwâ (dibangun   atas landasan takwa) seperti disebutkan 
Alquran, berubah menjadi arah menjadi   ussisa alas siyâsah (dijadikan basis 
perpolitikan). 

Selama ini, masjid   selalu diasumsikan sebagai tempat pertemuan ruang batin 
masyarakat, selain   fungsi sebagai baitullah. Otomatis, tujuannya untuk 
meningkatkan ketakwaan   kepada Allah. Namun belakangan, masjid cenderung 
ussisa alas siyasah (dijadikan   lahan berpolitik). Nah, itu yang 
mengkhawatirkan, karena telah keluar dari   format dan koridor fungsi masjid 
itu sendiri. 

Apakah masjid NU   selama ini tidak memainkan peranan politik? 

Selama ini,   masjid-masjid NU lebih pure dalam menjalankan fungsi-fungsi 
ussisa alat taqwa.   Itu platform utamanya. Karena itu, dalam rekrutmen 
kepengurusan dan lain   sebagainya, prosesnya cenderung alamiah dan tidak 
didasarkan pada pertimbangan   kepentingan politis. Bahkan, tidak jarang banyak 
orang yang saling lempar   kesempatan untuk jadi pengurus. ”Kamu sajalah yang 
jadi, kamu sajalah yang   jadi...!” Tapi fenomena belakangan ini sudah berubah. 
Susunan kepengurusan malah   jadi ajang perebutan dan target, sehingga ada 
upaya-upaya sengaja untuk   menguasai masjid. Itulah yang tadi saya sebut 
gejala bergesernya orientasi   ussisa alat taqwa menjadi ussisa alas siyasah. 
Ketika berhasil menguasai suatu   masjid, kelompok ini akan mengeliminasi 
pengurus lama yang dianggap tak   sehaluan, tak sepemikiran, dan tak 
seubudiyah. Tema-tema khutbah pun mulai   berubah. Karena itulah muncul 
kekhawatiran-kekhawatiran di kalangan NU. Semangat   ussisa alas siyasah itu 
sekarang
 lebih dominan daripada ussisa alat taqwa-nya.   

Berapa banyak masjid di bawah LTMI-NU yang sudah berubah   orientasi seperti 
itu? 

Kita belum punya data validnya. Namun   gejala-gejala ini sudah terlihat makin 
meluas. Sekarang sudah ada beberapa   laporan soal berubah-fungsinya beberapa 
masjid yang dulunya kita kelola. Ada   yang full, separo-separo, dan ada yang 
masih dalam perencanaan. Karena itu,   tugas kita adalah mengembalikan fungsi 
masjid seperti semula; berorientasi   ussisa alat taqwa. Itu saja yang ingin 
kita pertahankan. Selama ini, kita   bukannya lengah. Masjid memang selalu jadi 
milik masyarakat. Jadi kalau ada yang   ingin memakmurkan, ya monggo, silakan. 
Bagi kita, siapa saja yang mau   mengurus masjid, silakan, asal pada rel ussisa 
alat taqwa. Jangan dibelokkan.   Nah, pembelokan-pembelokan ini rupanya punya 
modus operandi macam-macam. Pada   awalnya, sang oknum jadi tukang sapu masjid 
dulu. Lama-lama, dia mulai   menyodorkan nama-nama khatib. Dia lalu mulai jadi 
muadzin. Lama-kelamaan,   tugasnya jadi lain sama sekali. 

Ada juga kasus pengerahan massa dari   luar ketika pemilihan Dewan Kepengurusan 
Masjid (DKM). Biar suaranya banyak.   Padahal, pemilihan DKM sebuah masjid, 
lazimnya ditentukan jamaah sekitar. Tapi   karena ingin merebut masjid, mereka 
mengerahkan massa dari luar. Karena   ketidaklaziman ini, maka banyak yang 
sudah mengkhawatiran. Masjid yang dulu   dikelola secara alamiah kok kini jadi 
rebutan?! Karena itu, wajar kalau Ketua   Umum PBNU, Bapak KH Hasyim Muzadi 
mulai warning. Sebab mulai ada gejala-gejala   yang tidak sehat. 

Masjid di bawah LTMI-NU kadang memang dinilai   kurang semarak. Karena itu 
direbut. Tanggapan Anda? 

Faktanya,   selama ini memang ada masjid-masjid yang masih dikelola kalangan 
tua, sehingga   paradigmanya masih pemikiran tua dan tidak ikut pemikiran 
sekarang. Tapi sudah   banyak juga yang berbenah dan mulai mengakomodasi 
aspirasi tua-muda.   Persoalannya kan masjid tidak hanya untuk 
semarak-semarakan, tapi bagaimana ia   tetap jadi ruang batin masyarakat. 
Dengan begitu, ketika ke masjid, selain bisa   melaksanakan hablun minallah, 
hablun minannas seseorang juga jadi baik. Kalau   datang dengan keresahan dan 
eliminasi terhadap pihak-pihak yang dulu sudah   nongkrong di situ, itu tidak 
semarak namanya. Semaraknya sebuah masjid itu   tergantung bagaimana ia 
meningkatkan hablun minallah dan hablun minannas.   

Apa yang dilakukan LTMI-NU untuk membenahi persoalan itu?   

Sekarang, LTMI merencanakan program masjid sebagai pusat   peradaban dan 
kesejahteraan masyarakat. Sebab masjid adalah ruang yang sangat   potensial 
kalau dimaksimalkan potensinya. Menurut catatan statistik, desa di   Indonesia 
itu berjumlah 800-an, tapi masjidnya berjumlah 800.000-an. Kami pernah   
melakukan kalkulasi kemiskinan di Indonesia yang berjumlah sekitar 80 juta 
jiwa.   Kalau masjid mau diberdayakan untuk program pengentasan kemiskinan, 
setiap   masjid akan kebagian seribu orang miskin. 

Nah, masjid-masjid ini kan   sarana yang sudah ada dan tiap Jumat ada banyak 
orang yang berkumpul.   Sebenarnya, kalau dilakukan program-program yang 
positif, itu akan sangat   membantu. Bagi kita, silakan masjid digunakan 
sebaik-baiknya untuk kebajikan.   Namun harus berfondasikan takwa, bukan 
siyasah. Fondasi takwa akan menelurkan   program-program yang positif. Itulah 
yang sedang diupayakan LTMI. Sekarang kita   sedang mengembangkan pendidikan 
berbasis masjid lewat kerjasama dengan Diknas,   terutama di daerah terpencil. 
Itulah yang pernah diteladankan Rasulullah.   Ketika Rasulullah hijrah ke 
Madinah, beliau segera mendirikan masjid, lalu   pasar. Masjid berfungsi untuk 
mengokohkan hubungan dengan Allah dan silaturrahmi   antara Muhajirin dan 
Anshar. Dari situlah lahir kekuatan ukhuwah, toleransi, dan   keragaman, 
sehingga melahirkan Madinah baru. Kita berharap masjid juga bisa   menjadi 
kekuatan seperti yang pernah dicontohkan Rasulullah, tentu dengan   konteks dan 
dinamika yang berubah dan berbeda. Tapi semangat dan rohnya tidak   boleh 
berubah. 

Bung Baso, apa makna strategis masjid dalam   konteks sosial-politik Indonesia 
mutakhir sehingga diperebutkan?   

Ahmad Baso: Sebetulnya dari dulunya masjid merupakan benteng   pertahanan umat 
Islam terhadap derasnya proses perubahan-perubahan di luar.   Secara kultural, 
masjid juga terikat dengan masyarakat sebagai lembaga   pendidikan, madrasah, 
pesantren, dan juga pasar. Namun kini, masjid   beralih-fungsi sebagai benteng 
pertahanan kelompok tertentu untuk menjaga   identitas kelompoknya. Dan itu 
muncul beriringan dengan menguatnya   kelompok-kelompok Wahabi dan puritan 
Timur Tengah. Salah satu agenda mereka   adalah bagaimana menguasai masjid, 
madrasah, atau sekolah agama. Dan masjid yang   mereka danai selama ini adalah 
tempat strategis untuk menyuburkan ajaran-ajaran   mereka. 

Kita tahu, di tahun 1980-an banyak sekali aliran dana dari Arab   Saudi untuk 
pembangunan masjid di Indonesia. Alasan pertama adalah untuk syiar.   Tapi 
setelah masjid dibangun, mereka mulai menginginkan orang-orang mereka untuk   
masuk kepengurusan, atau minimal memasukkan ajarannya untuk didakwahkan kepada  
 jamaah. Belakangan, masjid juga menjadi tempat kaderisasi kelompok-kelompok   
militan Islam. Bahkan beberapa masjid di negara-negara Barat yang dulu dibangun 
  bersama-sama oleh para imigran dari berbagai ragam etnis dan ras, kini 
menjadi   basis baru bagi kelompok militan. 

Apa implikasi perebutan ruang   masjid itu? 

Masjid akhirnya terlepas dari dinamika masyarakat   di sekitarnya. Apalagi 
kalau yang merebut masjid sudah tinggal di dalam masjid   tersebut. Dulu, 
gejala yang meresahkan orang adalah munculnya kelompok Jamaah   Tabligh yang 
terkadang datang merebut masjid dan tinggal di situ. Karena   meresahkan 
masyarakat, cara-cara itu lalu mereka tinggalkan. Mereka bukan lagi   merebut 
masjid dengan cara tinggal di situ, tapi dengan cara merebut   kepengurusannya. 
Setelah itu barulah mereka membangun pengaruh kepada masyarakat   sekitarnya. 

Dengan begitu, mereka tidak diganggu lagi dan ternyata   hasilnya lebih 
efektif. Dengan aliran duit Timur Tengah, mereka bisa   mengembangkan jaringan 
dan mensyiarkan majid. Misalnya dengan menyediakan   Alquran dan bacaan-bacaan 
Islam. Dulunya, banyak masjid yang tidak punya   bacaan-bacaan agama. Nah, 
mereka juga mensuplai bacaan-bacaan itu.   

Adakah yang dirugikan dari proses infiltrasi semacama itu?   

Yang jelas, masyarakat banyak yang dirugikan. Terutama   komunitas keagamaan 
seperti NU dan Muhamadiyah yang selama ini sudah mengelola   masjid. Secara 
kultural, praktek keagamaan masyarakat dalam bentuk zikir dan   tahlil, ketika 
direbut kelompok itu, mulai ditinggalkan. Masyarakat kecewa   dengan perubahan 
tersebut. Ada juga kerugian pada aspek materil.   

Biasanya, sebuah masjid dibangun secara swadaya oleh masyarakat. Bahkan   di 
beberapa daerah seperti Cirebon dan Makasar, masjid yang megah dibangun   
secara maksimal oleh masyarakat melalui bantuan dan swadaya. Tapi sayang, 
dengan   mudah kelompok tertentu datang untuk merebut dan dengan sepele 
menyatakan bahwa   ini masjidnya umat Islam, bukan masjid kelompok tertentu. 
Ketika mereka berhasil   merebutnya, secara ekslusif mereka mengklaim 
kepemilikan dan tidak lagi mewadahi   komunitas yang selama ini mentakmirkan 
masjid tersebut. Mereka menguasai masjid   itu sesuai dengan faham mereka. 
Akhirnya masyarakat juga dirugikan secara   material. 

Apakah peranan masjid masih cukup vital dalam   kontestasi politik di Indonesia 
saat ini? 

O, masih sangat   penting. NU itu dari dulu adalah bagian dari bangsa ini. Dan 
peranannya makin   kuat karena masih mengandalkan basis kultural yang ada 
selama ini, yaitu masjid,   surau, dan pesantren. Tapi sekarang, banyak 
generasi muda NU yang meninggalkan   masjid untuk masuk ke dalam 
gerakan-gerakan demokrasi yang bicara di café-café   dan hotel-hotel. 
Akibatnya, masjid terbengkalai. Padahal, masjid merupakan   eleman vital untuk 
membangun pergerakan bangsa ini. Kalau semuanya berantakan,   bangsa ini akan 
kehilangan jatidiri dan ruhnya. 

NU kini sudah mulai   konsen dengan isu itu. Karena ternyata, masjid yang mulai 
ditinggalkan NU ikut   juga merugikan bangsa ini. Buktinya, banyak kasus-kasus 
kekerasan dan terorisme   belakangan ini. Itu jelas-jelas merugikan bangsa 
kita. Bangsa kita diseret ke   dalam pertarungan yang sebetulnya bukan milik 
mereka, seperti konflik agama.   Terkadang, itu muncul dari masjid-masjid 
politis yang yang ikut memanas-manasi   situasi itu. Dan yang runyam adalah 
ketika ada orang luar yang datang dan   merebut masjid, lalu memanas-manasi 
masyarakat untuk melakukan jihad dan   seterusnya. Jadi jelaslah kalau 
pertaruhannya sangat besar ketika masjid sudah   direbut oleh orang-orang yang 
tidak tahu kondisi masyarakat sekitarnya.   

Adakah langkah-langkah yang disiapkan PBNU untuk mengantisipasi   makin 
meluasnya politik perebutan masjid ini? 

Sebenarnya sudah   ada pembagian tugas untuk itu. LTN-NU selama ini bertugas 
menyediakan strategi   dan materinya. Misalnya lewat pendekatan kiai-kiai. 
Masjid-masjid itu kan masih   banyak yang mengandalkan peranan ketokohan kiai. 
Masyarakat juga masih   mengharapkan beberapa kiai untuk berceramah. Nah, 
itulah yang kita manfaatkan;   agar kiai NU juga tahu bahwa ada masjid NU yang 
direbut oleh kelompok luar.   

Kedua, lewat distribusi bahan-bahan atau materi dakwah seperti buletin   Jumat. 
Kita sudah melakukan itu. Selama ini sudah ada 50 masjid sekitar Jakarta   yang 
kita masuki. Dan sekarang perkembangannya makin bagus. Masyarakat makin   tahu 
bahwa alternatif Islam yang dibawa kelompok-kelompok semacam itu lebih   banyak 
meresahkan daripada mengajak kedamaian. Dan itulah yang kita manfaatkan.
  
 Send instant messages to your online friends http://uk.messenger.yahoo.com 

Kirim email ke