KOMPAS - Rabu, 14 Maret 2007
Diskriminasi dan Kesadaran Multikultural Tomy Su Apa yang diharapkan dalam seremoni kadang tak terjadi dalam realitas sehari-hari. Bagi korban diskriminasi, ini bisa mengundang apatisme, keputusasaan, bahkan ketidakpercayaan kepada penyelenggara pemerintahan. Dalam perayaan Imlek nasional, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengajak seluruh bangsa Indonesia untuk tidak lagi berlaku diskriminatif (Kompas, 22/2). Dalam peringatan 50 tahun hubungan kebudayaan RRC- RI, Presiden kembali menegaskan dikotomi "pri dan non-pri" tak relevan lagi (Kompas, 1/3). Ada kesenjangan Apa yang diharapkan Presiden ternyata tidak terimplementasi dalam realita sehari-hari. Andrianto dari Pemalang masih harus memiliki surat bukti kewarganegaraan Republik Indonesia (SBKRI, Kompas, 23/2). Meski Undang-Undang Kewarganegaraan Nomor 12 Tahun 2006 tidak lagi menyekat-nyekat warga dalam kategori asli atau bukan, toh Tio Hok Tjwan (24) dan Tio Hok Seng (22), warga Krembangan Baru, Surabaya, hingga kini tak bisa membuat kartu keluarga. Pasalnya, ayah kakak-beradik ini warga negara China dan ibunya—The Jam Hun—adalah WNI. Orangtua mereka bercerai saat keduanya masih kecil (Kompas, 5/3). Berbagai kasus itu makin membenarkan pendapat Prof Eko Sugitario, betapa birokrasi kita masih berwatak rasis. Kasus-kasus itu juga kian membuktikan ada kesenjangan besar antara law in books (seperti UU Kewarganegaraan No 12/2006) dan law in practice. Yang paling menyedihkan, diskriminasi terhadap etnis Tionghoa tetap dipraktikkan, justru oleh tangan-tangan birokrat mulai dari kantor kelurahan, kantor kecamatan, hingga Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil. Satu persyaratan dipenuhi, muncul persyaratan lain yang sulit dipenuhi. Misalnya, SBKRI yang sudah lama dihapuskan, surat ganti nama, dan keharusan mencantumkan nama marga. Harapan Presiden tidak dijalankan sendiri oleh penyelenggara di daerah. Diskriminasi orang mati Kalaupun persyaratan dipenuhi, bukan berarti urusan beres untuk mendapat status warga negara Indonesia (WNI) dan berbagai dokumen kependudukan. Ada saja hal-hal kecil yang diperumit dan dipersulit. Kasus menggelikan terjadi di Sumatera Utara. DPRD dan Pemerintah Kabupaten Deli Serdang menggodok rancangan peraturan daerah pajak kuburan mewah yang dinilai mendiskriminasi etnis Tionghoa. Jadi selagi hidup sudah didiskriminasi, ketika mati pun etnis Tionghoa masih didiskriminasi. Media Medan terus mengekspos isu ini. Kasus-kasus diskriminasi itu bukan kasuistis, karena di banyak tempat lain di negeri ini juga terjadi. Semua kasus makin menunjukkan betapa tidak solidnya bangsa ini (Tajuk Kompas, 17/2). Dalam retorika undang-undang diskriminasi sudah dihapus, tetapi dalam praktik hidup berbangsa, para birokrat, para penguasa bahkan wakil rakyat seperti di Deli Serdang malah melegitimasi atau coba melanggengkan diskriminasi. Karena itu, upaya melawan diskriminasi perlu senantiasa digaungkan sepanjang waktu. Dalam konteks seperti ini, rasanya RUU Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis yang sedang digodok DPR perlu mendapat dukungan agar para pelaku rasisme dan diskriminasi bisa dihukum. Namun, perlawanan terhadap diskriminasi tak cukup hanya dari sisi regulasi. Di negeri ini sudah banyak undang-undang bagus yang tidak jalan karena lemahnya penegakan hukum. Kesadaran multikultural Maka perjuangan melawan diskriminasi juga perlu terus disuarakan lewat jalur nonregulasi, seperti terus mencoba menanamkan benih kesadaran multikultural di media massa. Wacana multikulturalisme yang marak ditampilkan di media selama satu dekade terakhir merupakan sebuah faham yang mengakui adanya perbedaan sekaligus kesetaraan baik secara individual maupun kelompok dalam kerangka kebudayaan. Multikulturalisme di Indonesia dapat digambarkan sebagai sebuah mozaik yang amat besar yang terdiri dari semua peradaban dari semua komponen bangsa ini. Sebagai sebuah konsep, multikulturalisme menjadi dasar tumbuhnya masyarakat sipil yang demokratis demi terwujudnya keteraturan sosial dan berakhirnya segala praktik diskriminasi atau segala bentuk marginalisasi suatu kelompok tertentu. Bethany Bryson (2006), profesor dari Universitas Virginia, mengungkapkan, dalam sebuah masyarakat multibudaya (seperti masyarakat kita), masing-masing elemen atau komponen tidak bisa saling mengecualikan (mutually exclusive), tetapi harus saling mengisi dan mengapresiasi. Kita memang harus terus membangun kesadaran multikultural yang berdimensi etis: ia menuntut tanggung jawab moral berupa pengakuan, rasa hormat dan belas kasih pada keberadaan dan kehadiran orang lain. Karena yang ditekankan sebuah kesadaran, ini jelas bukan paksaan. Diharapkan ketika kesadaran ini sudah tertanam dalam sanubari, maka birokrat, penguasa, wakil rakyat, atau kita semua akan merasa terusik jika masih mempraktikkan diskriminasi. Tomy Su Koordinator Masyarakat Pelangi Pencinta Indonesia