BERITA PERS : 
   
  Kepada yth, 
  moderator, rekan-rekan wartawan seni budaya, serta para pemerhati seni dan 
budaya, berikut adalah berita pers PERGELARAN TARI DIRODO METO yang terakhir 
kali dipentaskan sekitar seratus tahun silam. Kali ini, bertepatan dengan 
momentum 250 tahun usia Puro Mangkunegaran pada 17 Maret 2007, Tari Dirodo 
Meto, kembali dipentaskan di Puro Mangkunegaran - Solo. 
   
   
  MEMPERINGATI 250 tahun usia Puro Mangkunegaran, Solo, para kerabat, pecinta 
dan insan pemerhati Puro Mangkunegaran yang tergabung dalam Yayasan Pemerhati 
Puro Mangkunegaran (YPPM), Yayasan Mangadeg, Yayasan Soeryosumirat, beserta 
Himpunan Kerabat Mangkunegaran Soeryosumirat, akan menggelar Selamatan 
Perjanjian Salatiga dan Pergelaran Tari Dirodometo pada 17 Maret 2007, besok. 
Dilaksanakan di dua lokasi berbeda, acara selamatan diadakan di alun-alun Desa 
Kalicacing, Salatiga, Jawa Tengah, sedangkan Pergelaran Tari Dirodo Meto akan 
berlangsung di Puro Mangkunegaran, Solo, Jawa Tengah. 
   
  Mangkunegaran pada 17 Maret 1757 diakui kedaulatannya dari hasil sebuah 
Perjanjian Salatiga. Perjanjian tersebut terjadi di Desa Kalicacing, Salatiga, 
berupa perjanjian perdamaian RM Mas Said dan Sunan Pukubuwono III atas 
permintaannya sendiri, dengan saksi utusan Sultan Hamengkubuwono I dan VOC 
Belanda. Secara politik, hal itu merupakan bukti kemenangan mutlak rakyat 
Mataram di bawah kepemimpinan RM Said. Bersama-sama rakyat Mataram, RM Said 
bergerilya selama 16 tahun di wilayah Surakarta, Yogyakarta, sebagian wilayah 
Jawa Tengah hingga Jawa Timur, dan melakukan 250 kali pertempuran, serta sangat 
sulit ditaklukkan oleh VOC Belanda. 
   
  Untuk itulah, segenap kerabat dan insan pemerhati Puro Mangkunegaran tergerak 
hati menggelar Selamatan Perjanjian Salatiga. Secara sederhana namun khidmat, 
acara ini akan dilaksanakan di lokasi kejadian, Desa Kalicacing. Yakni, prosesi 
doa dan hening cipta untuk bersama mengenang perjuangan dan jasa-jasa RM Said 
yang memang selalu melekat pada sejarah berdirinya Puro Mangkunegaran dan 
eksistensinya hingga hari ini. 
   
  Sementara itu, akan dilangsungkannya Pergelaran Tari Bedhoyo Mataram 
Senopaten Dirodo Meto pun erat kaitannya dengan peristiwa bersejarah tersebut. 
Dirodo Meto merupakan satu dari tiga mahakarya tari ciptaan RM Said. 
Rencananya, tarian ini akan menjadi acara malam dana bagi awal gerak langkah 
pelestarian peninggalan budaya Mangkunegaran. "Di usianya yang kini 250 tahun 
mestinya kita tidak bisa tinggal diam begitu saja melihat kondisi Puro 
Mangkunegaran yang butuh uluran banyak tangan untuk memugarnya kembali," ujar 
Pia Alisjahbana, Pemerhati Budaya Puro Mangkunegaran. Menurut Pia, yang hari 
itu mendampingi Iwan Tirta sebagai pembicara konferensi pers pada Rabu, minggu 
lalu (7 Maret 2007, kiranya momentum 250 tahun merupakan saat paling tepat 
mewujudkan hal tersebut setelah sekian lama terbengkalai. 
   
  Seratus Tahun Gajah Itu Tak Mengamuk 
  TAHUN ini memang tahun istimewa, khususnya bagi Puro Mangkunegaran beserta 
para pecinta dan pemerhatinya. Tepat di tahun inilah, Puro Mangkunegaran 
memasuki usianya yang ke-250. Sementara umumnya bagi masyarakat Solo, hal itu 
pun akan menjadi keistimewaan tersendiri. 
   
  Peringatan hari jadi ke-250 tahun akan dirayakan oleh kerabat Puro 
Mangkunegaran dengan tajuk "250th Puro Mangkunegaran: Reviving Moment. Tak 
lain, merupakan rangkaian acara meriah terkait sejarah berdirinya Puro 
Mangkunegaran dan Kota Solo. 
   
   
  Lewat seni budaya dan hiburan, dari seminar sampai perjalanan napak tilas 
perjuangan RM Said hingga berdirinya Puro Mangkunegaran, acara akbar ini bakal 
digelar oleh kerabat istana dan melibatkan masyarakat untuk ikut meramaikan 
peringatan hari jadi Puro Mangkunegaran tersebut. 
   
  Menurut GRAy.R.Satuti Yamin, Gray.R.Rosakti.K.N, dan Agus Haryo .S, sebagai 
kerabat Puro Mangkunegaran yang juga Ketua Pelaksana Harian panitia acara 
"250th Puro Mangkunegaran: Reviving Moment", acara selamatan dan Pergelaran 
Tari Bedhoyo Mataram Senopaten Dirodo Meto akan menjadi pembuka rentetan acara 
tersebut diatas. Namun yang paling patut diistimewakan menurut Haryo adalah 
Pergelaran Tari Dirodo Meto. 
   
  Haryo mengatakan, Dirodo Meto merupakan satu dari tiga buah karya tari 
ciptaan RM Said, yakni : 
  1. Badhaya Mataram-Senopaten Anglirmendung (7 penari wanita, pesinden, dan 
penabuh wanita), sebagai monumen perjuangan perang Kesatrian Ponorogo. (Sudah 
dipergelarkan tiap acara "Jumenengan"). 
  2. Badhaya Mataram-Senopaten Dirodometo (7 penari pria, pesinden, dan penabuh 
pria), sebagai monumen perjuangan perang di Hutan Sitakepyak. (Telah selesai 
diteliti dan digali). 
  3. Badhaya Mataram-Senopaten Sukopratomo (7 penari pria, pesinden, dan 
penabuh pria), monumen perjuangan perang bedah benteng Kumpeni 
Yogyakarta.(Belum diteliti dan digali kembali). 
   
  "Dan sudah lebih dari seratus tahun Dirodo Meto tidak lagi dipergelarkan," 
kata Haryo, ketua panitia perayaan. 
   
  Itulah kiranya, demi menjaga dari "kepunahan", para kerabat berinisiatif 
menggelar pentas Dirodo Meto, yang merupakan hasil sebuah kajian sejarah dan 
penelitian mendalam oleh Institut Seni Indonesia (ISI), Surakarta, Group Tari 
Soeryosumirat, dan Yayasan Pemerhati Puro Mangkunegaran (YPPM). Momentum ini 
pun datang di saat tepat, yaitu di saat Puro Mangkunegaran berusia 250 tahun. 
   
  Ditarikan oleh tujuh penari pria dan tujuh pesinden pria, Dirodo Meto 
terlihat berbeda dari bedhoyo sebelumnya, yaitu Bedhoyo Anglir Mendung yang 
ditarikan oleh tujuh wanita dan tujuh pesinden wanita. Haryo berharap, konsep 
angka tujuh yang didasari oleh filosofi Jawa yang bermakna "Pitulungan", serta 
merupakan jumlah tingkatan pelajaran ilmu tasauf dalam Islam ini, akan menjadi 
daya tarik tersendiri di samping telah seratus tahun lamanya Dirodo Meto tidak 
dipertontonkan di depan umum. 
   
  Haryo menuturkan, Dirodo Meto adalah bentuk kreatifitas seni RM Said untuk 
mengenang perlawanan dan jasa-jasa kelimabelas prajurit andalannya yang gugur 
di medan laga di hutan Sitokepyak, Rembang. Syahdan, di sebuah pertempuran, RM 
Said bersama prajuritnya dikepung oleh dua detasemen VOC Belanda, 400 pasukan 
Hamengkubuwono, dan sekitar 400 pasukan Pakubuwono. (Kejadian itu terjadi pada 
Senin, bulan Syuro, tahun Wawu 1681 atau tahun 1756; tercatat dalam diary 
pribadinya "Babad Lelampahan"). 
   
  "Tak ada jalan lain untuk menembus kepungan itu selain menyerang dengan 
mengamuk dan membabibuta," kisah Haryo. Bak seekor gajah liar, RM Said dan bala 
prajuritnya memang mengamuk. Dus, dari situlah makna tari Dirodo Meto. Nama 
Dirodo Meto diambil oleh RM Said dari kata Dirodo (gajah) dan Meto (mengamuk). 
   
  Ya, Dirodo Meto adalah tarian Si Gajah Ngamuk, sebuah gerak tari simbolis 
mengenang perjuangan dalam mempertahankan bukan saja nyawa, melainkan juga 
harga diri RM Said dan rakyat Mataram terhadap penindasan VOC Belanda dan 
kroninya ketika itu. 
   
  Dan tentunya, lewat Dirodo Meto ini pula, peringatan 250th Puro Mangkunegaran 
mulai dipergelarkan pada Sabtu, 17 Maret, 2007. Sebuah langkah awal 
penggalangan dana bagi perbaikan kondisi Puro Mangkunegaran itu pun resmi 
dilaksanakan. 
   
  Selanjutnya, untuk menyaksikan gelaran akbar dengan serangkaian acara 
memperingati 250 tahun Puro Mangkunegaran, sangat mungkin kita bisa 
menyaksikannya hanya akan sekali dalam hidup. Mengenang usia 250 tahun tentu 
hanya sekali, karena tidak mungkin akan ada 250 tahun yang kedua bagi generasi 
penonton yang sama. 
   
  Menurut Ricky H. Sujtipto, Presdir Idekami Communication, yang kini tengah 
sibuk menyiapkan puncak perayaan pada November mendatang itu, perhelatan akbar 
tersebut akan dilaksanakan pada Minggu, 11 November tahun 2007, dengan tajuk 
"Once in a Life time Event", di Puro Mangkunegaran. Tak lain, pergelaran tari 
kolosal melibatkan 250 - 300 orang penari, serta pasukan berkuda dan gajah. 
   
  "Ini adalah proyek idealis yang bukan saja akan merangkul segenap kerabat dan 
insan pemerhati Puro Mangkunegaran, melainkan juga seluruh lapisan masyarakat 
Solo khususnya dan Indonesia umumnya. Dengan ini kami ingin membuat masyarakat 
menoleh kembali kepada Solo dengan segala warisan peninggalan seni dan 
budayanya," kata Ricky, yang menjadi komandan bidang Marketing Communication 
perhelatan akbar ini. 
   
   
  Public Relations Division - Idekami Communications 
  Phone : 021 759 04551 – 021 766 9870 
  Fax : 021 759 04 530 
  Email : [EMAIL PROTECTED] 

 
---------------------------------
It's here! Your new message!
Get new email alerts with the free Yahoo! Toolbar.

Kirim email ke