Paradigma dan kegiatan berpolitik Ormas/Parpol yang mengatas-namakan Etnis, 
cuma menunjukan 2 kemungkinan:
* Wawasan politik (sebagian) elite Tionghoa masih pada tingkat yang 
primitive.
* Bertujuan memperjuangkan kepentingan politik etnis, justru memperkuat 
sikap yang eksklusif, bahkan cenderung mengarah menjadi separatis.

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

----- Original Message ----- 
From: Daniel Pramono
To: [EMAIL PROTECTED]
Sent: Sunday, March 18, 2007 11:53 PM
Subject: Republik Mimpi dan Protes Tionghoa


Karena debat soal Rep. Mimpi di Tionghoa-net saya jadi penasaran pingin 
lihat seperti apa sebenarnya acara ini. Maka malem ini saya nyalakan TV 
(yang biasanya jarang nyala) untuk melihat acara ini dari awal sampai akhir.

Ternyata episode Rep Mimpi kali ini adalah episode yang selama ini 
diributkan karena memuat artikel koran berjudul "Republik Mimpi diprotes 
Tionghoa". Jadi amat kebetulan karena saya bisa melihat langsung konteks 
ditayangkannya artikel tersebut dalam keseluruhan acara ini.

Episode ini di awali selentingan bahwa Rep. Mimpi disomasi Menkominfo. 
Kemudian ditayangkan hasil poling detik.com dan perspektif.com yang 
mengungkapkan banyaknya dukungan publik pada Rep. Mimpi. Lalu ditayangkan 
liputan TV Perancis Arte France TV yang mengulas Rep. Mimpi dan peran parodi 
politik bagi pertumbuhan demokrasi di Indonesia.

Segmen penayangan artikel yang menyebut kata "Tionghoa" diawali dengan 
pengantar dari Anya Dwinov (moderator ?) yang kata-katanya adalah sebagai 
berikut : "Terima kasih atas dukungan rekan-rekan pers cetak kepada Rep. 
Mimpi seperti yang akan kita lihat dalam tayangan berikut ini". Kemudian 
ditayangkan kurang lebih tujuh kliping artikel koran yang masing-masing 
muncul empat detik. Artikel-artikel tersebut diantaranya berjudul :

- "Rep. Mimpi diprotes Tionghoa"
- "Rep. Mimpi dibela DPR"
- "Rep. Mimpi dibela Mega dan Gus Dur"
- "Somasi Menkominfo kepada Rep. Mimpi" (saya lupa tepatnya, tapi nadanya 
mengkritik somasi Menkominfo tersebut"
- yang lain saya lupa karena cepet sekali, hanya empat detik, tapi lebih 
banyak tentang somasi dari Menkominfo.

Tayangan ini diakhiri dengan komentar dari Anya Dwinov : "Kami tidak akan 
memberi komentar pada tayangan tadi, anda bisa membacanya sendiri".

Kemudian tayangan dilanjutkan dengan potongan video ketika Habudi (Habibie 
palsu) dan Efendi Gazhali ngobrol santai sambil tertawa-tawa dengan 
Menkominfo Sofyan Jalil. Habudi bicara dengan menirukan gaya Habibi, lalu 
Sofyan Jalil berkomentar supaya Habudi memperkaya vokabulari gaya Habibi 
yang ditirukannya, "Jangan hanya hi-tech melulu, ditambah dong, misalnya 
soal ICMI begitu". Effendi Gazhali ikut menimpali mengolok Habudi yang 
tampak kewalahan menjawab Sofyan Jalil yang tampaknya lebih hafal vokabulari 
gaya Habibie.

Keseluruhan acara Rep. berlangsung lebih dari satu jam, dan tayangan artikel 
"Rep. Mimpi diprotes Tionghoa" hanya empat detik.

Saya menulis ringkasan episode ini supaya dapat dilihat konteks tayangan 
artikel "Rep. Mimpi diprotes Tionghoa" yang diributkan oleh beberapa 
kalangan Tionghoa. Ada tiga hal yang jadi sorotan saya :

Pertama, artikel "Rep. Mimpi diprotes Tionghoa" itu bukanlah opini milik 
Rep. Mimpi sendiri melainkan dari "rekan-rekan pers cetak", dan Rep. Mimpi 
tidak memberikan komentar tambahan apapun terhadap artikel tersebut. Artikel 
itu sendiri hanyalah salah satu dari tujuh artikel yang ditayangkan yang 
menggambarkan dukungan pers cetak kepada Rep. Mimpi. Jadi konteks dari 
tayangan itu adalah menggambarkan dukungan pers terhadap Rep. Mimpi, 
bukannya serangan balik terhadap pihak yang mensomasi Rep. Mimpi.

Dari konteks ini tampaknya jadi rancu bila protes diarahkan ke Rep. Mimpi 
dengan tuduhan mengeluarkan pernyataan provokatif yang menyerang Tionghoa 
karena pernyataan tersebut dirilis oleh koran yang memberikan dukungan 
kepada Rep. Mimpi. Tuduhan yang diarahkan kepada Rep. Mimpi akan menunjukan 
bahwa si penuduh tidak mengerti konteks penayangan pernyataan "Rep. Mimpi 
diprotes Tionghoa" tersebut.


Kedua, pembicaraan dan artikel yang ditayangkan lebih banyak tentang somasi 
dari Menkominfo. Perubahan dari "Republik" Mimpi menjadi "Kerajaan" Mimpi 
adalah sebuah sinisme bahwa tindakan pemerintah yang ingin membungkam suara 
parodi politik ini adalah tindakan otoriter seperti dalam sebuah "kerajaan". 
Jadi bobot dalam memparodikan somasi dari Menkominfo jauh lebih berat 
daripada somasi dari PARTI yang bahkan tidak disebut satu kalipun. (rupanya 
PARTI gagal "numpang beken" di Rep. Mimpi).

Paradoksnya dalam tayangan video justru terlihat Menkominfo Sofyan Jalil 
tertawa-tawa dengan Habudi dan Effendi Gazhali. Malahan ditambah beliau 
mengajari vokabulari gaya Habibie yang bisa ditirukan Habudi.

Bukankah menggelikan bila Sofyan Jalil yang somasinya diparodikan begitu 
panjang saja tertawa-tawa akrab dengan personil Rep. Mimpi.... nah Tionghoa 
yang cuma muncul empat detik kok malah mau mencak-mencak protes.

Acara ini sendiri durasinya lebih dari satu jam, dan kata "Tionghoa" hanya 
muncul empat detik, bila Tionghoa mencak-mencak apakah tidak terkesan bahwa 
para Tionghoa menderita paranoia patologik ? Padahal acara ini juga memuat 
isu-isu penting seperti pembajakan karya musik (tokoh-tokoh musik ikut 
bicara di situ), dan juga isu tentang perempuan yang menghadirkan Ibu Sinta 
Nuriyah Wahid (istri Gus Dur) yang duduk di sebelah Gus Pur (Gus Dur palsu). 
Ibu Nuriyah Wahid tampak mampu mengalir dalam suasana parodi penuh canda, 
yang menunjukkan kedewasaan beliau memahami konteks sebuah parodi. Sangat 
kontras dengan niat sebagian Tionghoa yang langsung sakit hati hanya 
gara-gara kata Tionghoa dimunculkan empat detik dalam acara ini.


Ketiga, tayangan ini lebih bisa dipegang sebagai sikap Rep. Mimpi pada 
somasi dari Menkominfo, PARTI dan AWAM daripada komentar Iwel yang cuma 
sepotong dalam sebuah laporan media online. Bisa saja penulis media tersebut 
hanya mengutip bagian yang kontroversial dan membuang penjelasan lainnya 
yang lebih bisa melukiskan konteks dari potongan komentar itu.

Apalagi episode Rep. Mimpi ini pastinya disaksikan publik jauh lebih luas 
dari artikel yang memuat komentar Iwel. Jadi bila para Tionghoa menuduh Rep. 
Mimpi provokatif rasialis lalu publik meng-komparasikan dengan sikap Rep. 
Mimpi dalam episodenya di televisi, maka Tionghoa akan kelihatan paranoid 
dan kekanak-kanakan dalam mencerna sebuah konteks parodi.

Dari uraian saya di atas bisa dilihat nilai strategis dari niatan protes 
beberapa Tionghoa pada Rep. Mimpi yang dituduh rasialis. Setelah somasi dari 
Pergerakan Reformasi TIONGHOA Indonesia (PARTI) yang dicap "numpang beken", 
lalu ada beberapa TIONGHOA mengajukan protes lagi yang berkesan paranoid dan 
kekanak-kanakan. Bukankah niatan untuk mengedukasi publik bahwa Tionghoa itu 
"beragam" justru akan ditangkap publik sebagai "keberagaman dalam 
kekonyolan"....?


Daniel Pramono Rahardjo
(Republik Tionghoa Mimpi) 


Kirim email ke