Gerakan Copyleft Pertanyakan Copyright

Jakarta, 20 Maret 2007 11:28
Gerakan copyleft semakin mempertanyakan hak-hak kekayaan intelektual 
(copyright) karena dianggap memperlebar jurang kesenjangan kaya-miskin di dunia.

"Pelopor copyleft bermula dari gerakan open-source software dan 
open-course-ware dari kampus MIT (Massachusetts Institute of Technology), 
Amerika Serikat. Meraka didukung para profesor hukum dan konsumen," kata 
anggota Majelis Wali Amanat ITB Iskandar Alisjahbana di Jakarta, Selasa.

Sedangkan pihak yang ingin mempertahankan copyright adalah industri hiburan 
seperti Hollywood, industri penerbitan, konsultan hukum yang penghasilannya 
tergantung pada Hak Kekayaan Intelektual (HKI).

Menurut anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI) itu, perkembangan 
internet dan web yang pesat membuat informasi dan pengkopian film, musik, 
tulisan semakin bebas dan menyebar tanpa terkendali dan membuat takut industri 
hiburan.

Pada 1998 Hollywood bergerak dan memenangkan legislasi dari Kongres AS berupa 
Digital Millenium copyright Act (DMCA) yang kontroversial karena selain 
menganggap pengkopian copyright sebagai kriminal, juga membuat para produsen 
hardware dan software yang membantu membuka "encryption" suatu karya copyright 
sebagai kriminal.

Kini pertentangan juga terjadi antara perusahaan software raksasa yang menjual 
programnya sangat mahal dengan sumber kode tertutup/rahasia dan dilindungi HKI 
(proprietary semacam Microsoft) dengan komunitas "open source software" yang 
sumber kodenya terbuka dan dapat diakses gratis.

Ia mencontohkan Brazil yang telah menggunakan anggaran belanjanya untuk 
membayar ongkos lisensi proprietary software lebih besar daripada anggaran 
belanja untuk menghapus kelaparan di negerinya.

Itulah mengapa menurut Presiden Brazil Luiz Inacio Lula da Silva, kebijakan 
open source masuk akal bagi suatu negara yang hanya 10 persen dari 182 juta 
penduduknya menggunakan komputer dan pengguna komputer terbesar hanya 
kantor-kantor pemerintah.

"Pemerintah Brazil memperkirakan bisa menghemat 120 juta dolar AS per tahun 
jika mereka mengimplementasikan open source policy," katanya.

Disebutkannya, hampir semua karya kreatif budaya dan intelektual yang baru 
selalu menggunakan karya kreatif yang sudah ada di masyarakat, sehingga 
memblokirnya melalui copyright akan menghancurkan semua potensi kreativitas.

Ia juga menyebutkan, keseimbangan antara copyright dan copyleft terjadi di 
bidang kesehatan setelah peristiwa 11 September 2001 ketika AS yang sedang 
krisis membutuhkan vaksin anthrax.

Pemerintah AS saat itu meminta paten kepunyaan perusahaan Jerman, Bayer, dapat 
diproduksi di AS dengan menerapkan compulsary license sehingga lebih murah 
karena tak usah membayar ongkos lisensi patennya.

"Setelah kejadian ini berkembang pertanyaan: Bukankah negara-negara berkembang 
dari daerah tropika sejak lama mengalami krisis anthrax dan berbagai penyakit 
tropik lainnya? Namun mengapa masyarakat itu tak mendapat kesempatan sejenis 
juga?" katanya. [TMA, Ant] 

http://www.gatra.com/artikel.php?id=103148


Kemajuan mustahil terjadi tanpa perubahan. Dan, mereka yang tak bisa mengubah 
pemikirannya tak bisa mengubah apa pun. (George Bernard Shaw, 1856-1950)
pustaka tani
 prohumasi
 nuraulia

 
---------------------------------
Never miss an email again!
Yahoo! Toolbar alerts you the instant new Mail arrives. Check it out.

Kirim email ke