Bravo, bung Heri yth!
Meski lebih menikmati prosa ketimbang puisi, namun saya salut dengan keindahan 
dan rasa yang timbul dari kenyataan disitu.
Seni budaya yang "memihak" mereka yang marginalized mempunyai daya sangat besar 
untuk derapan kedepan. Sajak spt ini punya
"greget" (Jawa), semacam inner feeling yang menimbulkan rasa indah dan 
semangat, mungkin rada pathetis. Generasi saya di Jogja
doeloe merasakannya spt ketika menonton seni tari kiprahnya Raden Gatutkoco, 
yang juga sangat disukai oleh Bung Karno.

Aliran "l'art pour l'art" tentu juga mempunyai tempatnya dalam "konsumsi" seni, 
namun bagi saya "realisme perjuangan" ternyata lebih
"sreg". Dari lukisan Goya, puisi Pablo Neruda, karya Gorky, tentu saja Chairil 
Anwar dan Pram, dan lain-lainnya mempunya "greget" ini.

Masa terkini di Indonesia nampaknya masih eksis sisa-sisa generasi pra-orba dan 
orba sebagai para ideolog dan demagog pencuci otak yang masih banyak atau 
sedikit, blak-blakan atau tersamar, melakukan ritus adorasi pada kekuasaan 
otoriter yang pernah ada
dan barisan pemodal dunia sebagai sentra elit kekuasaan. Dan mendambakan 
comebacknya! Ini termasuk "warisan" yang mungkin masih akan cukup lama ada, 
karena adanya kekuatan ekonomi dan sosial yang melandasinya sebagai semacam 
"unterbau".

Alhasil wong cilik Indonesia yang "tak punya apa-apa kecuali belenggunya" saya 
yakin memerlukan "greget" itu tadi sebagai "pengisian baterei" oleh para 
intelektual yang memihak mereka. Setelah 350 tahun kalah terus dalam interaksi 
dengan Barat dan, menurut WS Rendra, tambahan dijajah 32 tahun, sehingga 
baterei tsb memang jangan-jangan sudah hampir kosong.

Salam dari Praha,
Bismo DG


  ----- Original Message -----
  From: heri latief
  To: SP
  Cc: Kang Becak ; [EMAIL PROTECTED] ; Danoe edan ; ati gustiati ; la luta ; 
setiwan ; Eep Saefulloh Fatah ; ORI Sumut
  Sent: Sunday, March 18, 2007 6:18 PM
  Subject: [nasional-list] Budak Kemiskinan



  Budak Kemiskinan

  tak ada lagi sisa airmata
  bencana sepertinya pesta pora
  burung bangkai menebar bunga kematian

  darah berselimut sejarah bangsa
  mental kuli sifat budak yang terhina
  nasibmu ditentukan kemauan bangsa
  sukarela dijajah diberakin penindas
  atau bangkit melawan penindasan?

  tak ada lagi sisa ketakutan
  mimpi terjebak lumpur kemiskinan
  anak jalanan jualan badan semalaman
  anak koruptor berdandan hasil uang curian
  para birokrat gila pangkat saling bersaing
  menggonggong liar demi sepotong tulang

  tak ada lagi sisa rasa nasionalismenya?
  lupa ingatan pada perjuangan kemerdekaan
  tega banget mengkhianati api revolusi 1945
  terkutuklah para penjilat pantat busuk nekolim!

  kaum muda musti belajar sejarah bangsanya
  nyala api anti penindasan haruslah dijaga
  kerna kita bukan dilahirkan jadi bangsa kuli

  Heri Latief
  Amsterdam, 18 Maret 2007

Kirim email ke