Ada keraguan pada diri saya, atau semacam pertanyaan kemana tu 
larinya postingan saya bbr wkt yg lalau. nah kali ini uji coba untuk 
kedua kalinya!!

-- In mediacare@yahoogroups.com, Dyah Retnowulan <[EMAIL PROTECTED]> 
wrote:
>
> Wah, Bung Chandra, saya tidak hanya tersenyum, tapi ngakak sampai 
keluar gas dari perut. Maaf!.
> 
>   Sangat mengherankan, kok masih ada kelompok intelektual yang 
masih akan membangunkan perjuangan klas di Indonesia. Apa sudah lupa 
jaman perjuangan klas di Indonesia yang dikobar-kobarkan oleh PKI 
(baik secara terus terang manupun secara dia-diam) telah menuai 
bencana 3 juta manusia menjadi tulang-tulang berserakan di segala 
penjuru.
>    
>   Tentu orang-orang yang mengalami hidup pada masa menjelang G30S 
merasakan bagaimana panasnya udara perjuangan klas, sehingga 
menimbulkan reaksi hebat dan dendam kesumat dari golongan anti-
komunis. Maka setelah pecah peristiwa G30S, situasi itu digunakan 
mereka untuk menghabisi para "pejuang klas" tersebut, apalagi dibantu 
militer. Padahal mereka itu kebanyakan adalah manusia-manusia tidak 
berdosa, hanya karena termakan propaganda perjuangan klas yang tidak 
bertanggung jawab dan keblinger = tidak mau tahu (tidak tahu?) 
situasi dan kondisi Indonesia yang memerlukan PERSATUAN NASIONAL 
untuk membina negara/bangsa Indonesia menuju masyarakat adil dan 
makmur (Jangan alergi ya!).
>    
>   Sangat jenial, arif dan bijak, Bung Karno selalu 
memperingatkan "Jangan mengobar-ngobarkan perjuangan klas". Sebab hal 
itu akan memperlemah persatuan nasional dan hanya menguntungkan kaum 
nekolim, yang mengincer Indonesia. Bung Karno sendiri tidak 
menegasikan adanya klas-klas, tapi dalam tahap perjuangan Indonesia 
(Revolusi Nasional Demokratik), tidak boleh dipertajam pertentangan  
klas tersebut. 
>    
>   Tetapi kalau hal itu tidak disadari, ya silahkan ngorok terus 
sambil mimpi indah tentang kemenangan perjuangan klas buruh, dan 
tidak perlu bangun dari tidurnya supaya tidak melihat kenyataan di 
mayapada runtuhnya sistem sosialis/komunis produk perjuangan klas 
buruh di dunia. 
>    
>   Dewasa ini klas buruh sendiri sudah menemukan bentuk 
perjuangannya, yang berbeda dengan ajaran Marxisme/Komunisme. Jadi 
jawaban saya Perjuangan Kelas (seperti yang diajar Marx, bukan?): 
tidak relevan, terutama di Indonesia.
>    
>   Salam,  Dyah RW
>   
>  
>    
>   --- In [EMAIL PROTECTED], T Chandra <tchandra04@> 
wrote:
> 
> Tulisan yang menggelitik banget tapi juga membuat beberapa orang 
pasti tersenyum simpul. Apalagi akhir atao kesimpulannya. Kite ngorok 
aje yuk (tentu lebih baik sama bini), biar kapitalis gak punya buruh! 
Hihihi, di Indonesia aja ada katanya 40 juta menganggur. 
> Terserah deh apa namanya tapi perjuangan kelas enggak usah dong 
dijadikan momok "kiri".
> Tapi biar begitu esai ini lucuu banget deh, juga ada paedahnya 
untuk mulai bicara lagi sekait diskursus class straggle kan 30 tahun 
dilarang Suharto, lama-lama bisa ketemu
> hakikatnya apa sih PK itu?
> 
> Mbak May, tolong dong kirim salam buat bung Shohib,
> dan seringanlah kirim postingan begini untuk umpan diskusi
> TCh
> 
> May Teo subang@ wrote:
> 
> Perjuangan Kelas, Masihkah relevan?
> 
> Oleh: Shohib Masykur 
> (Mahasiswa Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, FISIPOL, UGM, salah 
satu anggota Tim Kerja Lafadl)
> 
> Maret 16th, 2007 - Dalam tulisannya yang termuat dalam buku Ilmu 
Sosial dan Kekuasaan di Indonesia (Vedi R. Hadiz dan Daniel Dhakidae, 
ed.: 2006) dengan judul Masalah Kelas dalam Ilmu Sosial Indonesia, 
Hilman Farid mengatakan bahwa selama ini analisis berbasis kelas 
tidak mendapatkan tempat dalam diskursus ilmu-ilmu sosial di 
Indonesia. Dia menyebut tiga alasan untuk ini. Pertama, adanya 
sentimen anti-komunisme yang amat kuat pada diri para intelektual 
Orde Baru. Kedua, adanya pembagian ilmu sosial ke dalam berbagai 
disiplin yang berbeda di mana masing-masing memiliki garis-garis 
pembatas yang jelas dan pasti (ekonomi, sosiologi, ilmu politik, 
hukum, dan lain-lain). Ketiga, adanya embedded statism dalam ilmu 
sosial yang mengasumsikan negara-bangsa sebagai unit analisis 
sehingga terdapat kecenderungan untuk mengarahkan pembahasan pada 
kebijakan nasional ketimbang kenyataan sosial konkret yang tidak 
terpaku secara rigid dalam garis-garis batas administratif.
> 
> 
> 
> Pengabaian kelas ini tentu saja patut disayangkan mengingat dalam 
sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia isu kelas menjadi salah satu 
motor penggerak bagi perlawanan yang muncul dari kaum pribumi 
terhadap pemerintah kolonial. Mengutip Sjahrir, Dita Indah Sari dalam 
Prisma (No. 7-1995) mengatakan bahwa `Â…gerakan buruh yang berwatak 
kelas telah memberikan watak kelas dalam perjuangan pembebasan 
nasional di Indonesia.' Namun, lanjutnya dengan mengutip Vedi R. 
Hadiz, gerakan buruh itu tidak memungkinkan untuk menjadi kekuatan 
pokok karena kurangnya `basis material'. Pasalnya, mayoritas rakyat 
Indonesia waktu itu masih hidup di sektor pertanian dan terbelakang. 
Lebih jauh dari sekedar persoalan kondisi obyektif sebagaimana 
dipahami Hadiz, Dita mengatakan bahwa kegagalan dari gerakan buruh 
tersebut juga terutama disebabkan oleh adanya kesalahan pokok kaum 
kiri saat itu dalam melihat tahapan perjuangan kelas buruh negeri-
negeri jajahan. Menurutnya, kelas buruh di Indonesia
> waktu itu terlalu bersifat kekiri-kirian karena terlalau banyak 
dipengaruhi oleh ide-ide sosialisme. Watak yang terlampu kiri ini 
membuat `mereka tidak sadar bahwa tahapan perlawanan pembebasan 
nasional adalah muara dari perjuangan pembebasan nasional Indonesia.' 
Dalam programnya, PKI menempatkan perjuangan menuju sosialisme 
sebagai esensi dari perjuangan pembebasan nasional. Akibatnya, mereka 
gagal menggalang dukungan yang lebih luas dari masa di luar buruh. 
Inilah yang menurut Dita menjadi penyebab utama gagalnya gerakan 
buruh pada waktu itu.
> 
> Saat ini, dengan munculnya jargon-jargon semacam the end of history 
dan the end of ideology, agaknya banyak orang beranggapan bahwa 
analisis kelas tidak lagi relevan untuk membaca fenomena ekonomi-
politik kontemporer. Kemenangan neo-liberalisme dalam sebuah proses 
globalisasi neo-liberal membuat buruh semakin tidak memiliki daya 
tawar di hadapan pemilik modal. Pasalnya, pemilik modal bisa dengan 
mudah memindahkan lokasi produksinya guna mencari buruh yang lebih 
sesuai dengan keinginan mereka, yakni buruh yang apolitis dan mudah 
ditundukkan. Di samping itu, kemenangan demokrasi liberal juga 
dipandang membuat diskursus mengenai kelas tidak lagi menarik hati. 
Alih-alih melalui konflik, perjuangan kepentingan saat ini lebih 
menggairahkan jika dilakukan melalui proses dialog. Munculnya gerakan 
sosial baru (new social movement) juga mengiringi peminggiran politik 
kelas. Gerakan sosial baru ini tidak lagi memelandaskan perjuangannya 
pada sentimen kelas, tetapi lebih kepada isu-isu
> yang sifatnya spesifik: gerakan lingkungan, gender, kaum 
homosexual/lesbian, difabel, dan lain-lain. Rangkaian beberapa hal di 
atas membuat politik kelas menjadi `barang antik di masa lampau', 
seperti museum. Orang yang membicarakannya pun dianggap `orang aneh'.
> 
> 
> 
> Pada kenyataanya memang sentimen kelas ini tidak pernah mewujud 
dalam demonstrasi-demonstrasi kaum buruh selama ini. Hal ini nampak 
dari isu-isu yang diusung oleh para buruh tersebut: kenaikan upah, 
perbaikan kondisi kerja, pemberian ganti rugi, kenaikan tunjangan, 
pemberian gaji yang tertunda, dan lain-lain. Juga, tidak terdapat 
persatuan antar kaum buruh sebagaimana yang diteriakkan dengan berapi-
api oleh Marx, "Kaum buruh di dunia, bersatulah!". Jika demikian, 
apakah memang politik perjuangan kelas tidak lagi relevan?
> Dengan modifikasi pemahaman tentang class struggle, saya termasuk 
orang yang percaya bahwa politik kelas masih relevan, dan perjuangan 
kelas sampai saat ini masih terus terjadi. Bahkan bisa jadi tanpa 
sadar kita sendiri juga sering melakukannya.
> Toward another (new) understanding of class struggle
> Untuk pemahaman kelas yang saya katakan modified tadi, saya merujuk 
pada John Holloway dalam tulisannya Where is Class Struggle?. Dia 
memberikan pemahaman yang `menggelitik' tentang makna perjuangan 
kelas kontemporer.
> Mengutip Marx, dia mengatakan bahwa hakikat manusia adalah 
sebagai `subjek yang melakukan' (doer) dan bukan melulu `subjek yang 
ada' (being). Berbicara soal melakukan sesuatu (doing), berarti juga 
berbicara soal orang lain atau orang banyak, alias social. Apapun 
yang kita lakukan tidak akan pernah terpisah dari apa yang dilakukan 
oleh orang lain. "Our doing is always part of a social flow of 
doing". Misalnya, saya bisa menulis karena ada orang lain yang sudah 
terlebih dahulu membuat komputer, menulis buku-buku bacaan yang saya 
jadikan acuan, membangun kamar yang saya tempati, membuat meja yang 
saya guanakan, dan lain-lain. Jadi, untuk memahami masyarakat 
(society), kita harus memahami bagaimana perilaku manusia (human 
doing) diorganisasikan.
> Selain bersifat sosial, perilaku manusia juga bersifat projective 
(memiliki bayangan akan masa depan). Menurut Marx, inilah yang 
membedakan perilaku manusai dengan perilaku hewan. Seorang arsitek 
dan seekor lebah sama-sama membuat rumah. Lalu apa bedanya? Yang 
membedakan seorang arsitek terburuk dari seekor lebah terbaik, dan 
karenanya membuat arsitek bagaimanapun tetap lebih baik ketimbang 
lebah, adalah bahwa arsitek membangun rumah dengan berbekal bayangan 
tentang akan seperti apa rumah yang nanti dihasilkannya. Jadi dalam 
akhir tahap setiap proses doing-nya, manusia menghasilkan sesuatu 
yang sebelumnya sudah berada dalam imajinasinya. Itu berarti dalam 
proses doing-nya dia sedang merealisasikan apa yang sudah menjadi 
tujuannya.
> Dengan munculnya kapitalisme, masalah mulai timbul. Seorang 
kapitalis pemegang modal dengan seenaknya mengatakan kepada para 
manusia yang bekerja bahwa hasil pekerjaan mereka adalah miliknya. 
Secara tiba-tiba, hasil doing manusia berubah menjadi labor yang 
sepenuhnya berada di bawah kendali kapitalis. Mau diapakan hasil 
pekerjaan itu? Mau dijual alias diuangkan. Jadi doing manusia 
kemudian hanya direduksi menjadi uang. Maka, saat itu pula doing 
manusia mengalami keterputusan dengan social flow of doing. Demikian 
pula, karakter projective dari doing manusia menjadi hilang. Apa yang 
akan dihasilkannya tergantung pada permintaan orang lain, para 
kapitalis. Manusia kemudian menjadi mirip dengan lebah. Manusia 
teralienasi dari pekerjaannya.
> 
> 
> Bagaimana proses itu terjai? Melalu struggle. Setiap saat kapitalis 
selalu mengatakan kepada kita: lihatlah di sekeliling mu, lihatlah 
semua benda yang menakjubkan itu. Itu semua adalah milikku. Jika kau 
ingin menikmatinya, maka carilah uang untuk membelinya. Tapi untuk 
mencari uang, kau harus menjadi pekerjaku, menuruti segala 
perintahku, dan hentikan bayangan tentang berbuat sesuatu sesuai 
dengan yang kau kehendaki. Maka kau akan kuberi uang untuk menikmati 
semua yang menjadi milikku.
> Untuk memastikan bahwa `Itu semua adalah milikku', kapitalis juga 
harus berjuang. Setiap saat mereka membujuk dan memaksa kita untuk 
menjadi pekerjanya. Setiap hari mereka harus membuat kita bangun 
pagi, memaksa kita bekerja, mengatur segenap aktivitas hidup kita 
sehari-hari. Mereka juga harus menghadapi persaingan dari para 
kapitalis lainnya. Dan ini tidak mudah. Setiap saat setiap waktu, 
selalu ada kesempatan bagi kita untuk melakukan sesuatu yang tidak 
menyenangkan bagi kapitalis.
> 
> 
> 
> Di sinilah letak perjuangan kelas kontemporer. Perjuangan tentang 
apa yang kita pikirkan, tentang bagaimana kita bertindak, tentang 
kapan kita harus tidur dan kapan kita harus bangun. Perjuangan antara 
dua pola perilaku (two ways of doing), antara dua bentuk hubungan 
sosial (two forms of social relation). Wujud perjuangan kita adalah 
dengan tidur larut malam dan bangun kesiangan, dengan lebih memilih 
bermain bersama anak-anak ketimbang bekerja menghasilkan untung, 
dengan melakukan doing tanpa tendensi keuntungan, dan lain-lain. Hal-
hal semacam ini memang tidak nampak seperti perjuangan kelas karena 
sifat alami dari perjuangan itu sendiri.
> Pemahaman termodifikasi dari perjuangan kelas ini membuat 
spektrumnya menjadi lebih luas. Saya bisa jadi sudah melakukan 
perjuangan kelas tanpa saya sengaja maupun sadari. Dengan demikian, 
untuk melakukan perjuangan kelas tidak harus menjadi kiri.
> 
> Sumber Sirus online : http://lafadl.wordpress.com
> Penulis : Shohib Masykur 
> http://lafadl.wordpress.com/2007/03/16/perjuangan-kelas-masihkah-
relevan/#more-112
> 
> 
> 
> 
> 
> ---------------------------------
> New Yahoo! Mail is the ultimate force in competitive emailing. Find 
out more at the Yahoo! Mail Championships. Plus: play games and win 
prizes.
> 
> [Non-text portions of this message have been removed]
> 
> 
> 
> 
> 
> 
> 
>  
> ---------------------------------
> Finding fabulous fares is fun.
> Let Yahoo! FareChase search your favorite travel sites to find 
flight and hotel bargains.
>


Kirim email ke