Kalau membicarakan antara zaman doeloe dan zaman
sekarang, tidak relevan dong. Karena menurut Ebiet G
Ade, roda zaman "terus" menggilas kita, hingga-
terseret tertatih-tatih.  Mana mungkin  bisa
menyamakan pesawat buatan tahun 1945 dengan buatan
Boeing sekarang ini?..

Kalau wartawan sekarang dibilang malas, tidak fair.
Karena kebutuhan serta kepentingan wartawan sekarang
ini sangat kompleks. Beda  ketika zaman kuda gigit
besi..

Sekarang bukan zaman "berjuang" lagi, tapi zaman
membangun. Jadi kalau wartawan sekarang tidak digaji
atau gajinya kecil, gimana bung?..

Bagi wartawan, menembus sumber berita itu sesuatu yang
lumrah, apalagi seperti menembus sumber berita dari
bangsa sendiri seperti bapak General Sudirman.
Wartawan menembus sumber itu biasa, contoh : beberapa
wartawan "Jawa" kan berhasil menembus para "Jendral"
GAM, itu  lebih hebat lagi.. sampai tewas segal (Erza
Siregar)

Gak baik kalau terus mengkhayal tentang masa lalu,
Masa lalu ya hanya untuk kenangan saja sih hehehe..

Wassalam
--------


--- Sunny <[EMAIL PROTECTED]> wrote:

>
http://www.jawapos.co.id/index.php?act=detail_c&id=276010
> 
> Kamis, 15 Mar 2007,
> 
> 
> Rosihan Anwar, Berbicara tentang Jurnalis Dulu dan
> Sekarang 
> 
> 
> Diantar Soeharto, Wawancarai Panglima Soedirman
> Rosihan Anwar adalah salah satu saksi hidup
> perkembangan pers di Indonesia. Bagaimana
> pandangannya tentang wartawan saat ini serta
> bagaimana cerita wartawan di era kemerdekaan?
> Rosihan berkisah dalam sebuah diskusi di Jakarta
> kemarin. 
> 
> Di mata Rosihan, wartawan zaman sekarang lebih malas
> dibanding jurnalis era awal kemerdekaan. Untuk
> mengejar berita eksklusif dan aktual bagi pembaca,
> di masa lalu para pemburu berita berani menggadaikan
> nyawa kendati tak mendapat upah yang layak. 
> 
> "Jauh jika dibandingkan yang muda-muda hari ini,"
> ujar Rosihan dalam diskusi bertema Kemerdekaan Pers
> Sebelum dan Sesudah Kemerdekaan Indonesia di gedung
> Habibie Centre, Kemang, Jakarta, kemarin. 
> 
> Rosihan menceritakan gaji wartawan di masa kolonial
> sangat kecil, yakni 15 hingga 50 gulden. "Itu pun
> dicicil," katanya. Untuk level setara pemimpin
> redaksi, gajinya 150 gulden per bulan. 
> 
> Pada saat itu, kata Rosihan, tiras belum mencapai
> 1.000 eksemplar. Misalnya, harian berbahasa Jawa
> Sedyo Tomo di Jogja bertiras 930 eksemplar dan
> harian Darmo Kondo beromzet 700 eksemplar. 
> 
> "Tapi, itu tidak membuat langkah mereka surut," kata
> pria yang Mei mendatang berusia 85 tahun itu. Dia
> mencontohkan beberapa wartawan yang sering disebut
> the colorfull journalist. Misalnya, Rivai, wartawan
> Pewarta Deli sebagai kolumnis pertama di Indonesia.
> Juga ada Sosrokartono, kakak R.A. Kartini, yang
> menjadi kontributor pertama untuk koran asing The
> New York Herald saat meliput perang Eropa. 
> 
> "Ada juga Mustopha, wartawan harian Pemandangan,
> yang menulis feature dengan bersepeda ke seluruh
> dunia. Akhirnya dia hilang saat meliput di padang
> pasir Makkah," kata suami Zuraida itu. 
> 
> Ada satu hal yang membuat Rosihan bangga dalam
> karirnya menjadi jurnalis di era perang kemerdekaan.
> Yakni, saat berhasil mewawancarai Panglima Soedirman
> di hutan pengungsian di kawasan Gunungkidul, Jogja,
> beberapa hari sebelum perundingan Konferensi Meja
> Bundar. "Saya ditemani Soeharto, waktu itu masih
> Letkol. Pak Dirman mengaku baru pertama diwawancarai
> wartawan nasional. Saya haru sekali," ujarnya dengan
> mata menerawang. 
> 
> Karya jurnalistik yang dicapai dengan penuh
> perjuangan itu membuat Rosihan begitu bangga dan
> bahagia. Idealisme sebagai wartawan tidak pernah
> luntur. 
> 
> Namun, Rosihan prihatin dengan mentalitas jurnalis
> saat ini. Menurut dia, tekanan kepentingan pemodal
> dan media yang semata-mata berorientasi bisnis
> menjadi kendala utama bagi jurnalis. Dia
> mencontohkan iklan obituari yang dibisniskan di
> beberapa media. 
> 
> "Wartawan harus objektif dan melindungi kenyataan.
> Fakta itu suci. Jangan gadaikan idealisme meski
> kesejahteraan rendah," kata pendiri Pedoman, yang
> dibredel Soekarno pada 7 Januari 1961 itu. 
> 
> Tokoh Dewan Pers Atmakusumah menambahkan,
> perlindungan terhadap kerja jurnalistik tidak cukup
> dengan hanya Kode Etik Jurnalistik. Diperlukan juga
> revisi hukum dalam Kitab Hukum Undang-Undang Pidana.
> 
> 
> Dia mencontohkan wartawan New York Times Judith
> Miller yang diancam hukum di pengadilan karena
> melindungi nama narasumber anonim. Namun, karena
> integritasnya, Judith berhasil bebas. "Itu harus
> dicontoh. Jangan karena gaji rendah, kode etik
> disepelekan," katanya. (rdl
> 



 
____________________________________________________________________________________
Never miss an email again!
Yahoo! Toolbar alerts you the instant new Mail arrives.
http://tools.search.yahoo.com/toolbar/features/mail/

Kirim email ke