Bergelar Doktor, kalau Peragu Tetap Percuma Mbah Tardjo soal Syarat Capres Harus Sarjana
JAKARTA- Presiden punya gelar pendidikan, bukan jaminan menyejahterakan rakyat. Menurut Wakil Ketua DPR Soetardjo Soerjogoeritno (Mbah Tardjo), percuma saja kalau presiden bergelar doktor tapi peragu. "Saya kira masyarakat sudah mengerti mana pemimpin yang bisa menyejahterakan, mana yang tidak. Yang penting masih sehat. Pemimpin harus bisa diterima masyarakat. Mau doktor, kalau nggak berani, ya percuma, terus ragu-ragu, ya percuma," ungkapnya. Hal ini disampaikan Mbah Tardjo di Gedung DPR, Kamis (15/3) menanggapi draf RUU Pilpres yang mensyaratkan capres 2009 harus berpendidikan sarjana. "Wah itu nggak bener, nggak paham politik. Politik itu lain. Siapa yang didukung oleh rakyat, dia yang dipilih dalam politik. Kalau mau menjadi rektor atau profesor, baru ada syarat-syarat itu," ujarnya. Politikus senior PDI-P ini melihat syarat yang ditetapkan Depdagri dinilai untuk menjegal Megawati Soekarnoputri sebagai capres. "Mendagri mikir yang lain saja, masih jauh. Kita akan melihat apakah usulan itu sampai ke DPR atau tidak. Intinya beda antara politik dan yang lain," tandasnya. Terlalu Tinggi Draf RUU Pilpres yang diajukan pemerintah yang mensyaratkan pendidikan formal agar calon presiden (capres) harus berpendidikan sarjana strata 1 (S1), diperkirakan akan menjadi masalah krusial yang akan diperdebatkan di DPR. ''Hal itu akan menimbulkan perdebatan di DPR, bukan di pemerintah. Praktik jegal-menjegal terkait standar pendidikan akan terjadi di DPR, terkait dengan kepentingan partai politik,'' kata Sekjen Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Sebastian Salang di Gedung DPR RI Jakarta (15/3). Dirinya justru mempertanyakan, apakah memang pemerintah sudah secara sadar dan dengan komitmen tinggi mengevaluasi, syarat minimal S1 untuk menjadi capres sudah merepresentasikan realitas pendidikan secara keseluruhan. ''Pemerintah masih menerapkan program pendidikan minimal sembilan tahun. Di mana kemampuan bangsa kita ini baru membebaskan biaya pendidikan hanya sampai tingkat SMP. Jadi, masih terlalu tinggi untuk mensyaratkan minimal pendidikan S1 sebagai standar,'' katanya. Pengamat politik dari Lembaga Studi Pembangunan dan Etika Usaha Indonesia (LSPEUI) Fachry Ali menilai, rencana tersebut mengada-ada dan tidak substantif. ''Banyak intelektual tidak memiliki ijazah sarjana. Yang penting adalah kemampuan seseorang untuk memimpin,'' katanya usai menjadi pembedah buku ''Jalan Damai Nanggroe Endatu'' karya anggota DPR dari Fraksi Partai Amanat Nasional Ahmad Farhan Hamid. Fachri berharap, draft RUU Pilpres itu jangan terkesan mencari-cari alasan yang bersifat resmi. ''Dulu, persyaratan seperti itu untuk menjegal seseorang. Sekarang sebaiknya difokuskan bagaimana penyelenggaran Pilpres agar lebih baik,'' tambahnya. Tidak Perlu Anggota Komisi II DPR (bidang pemerintahan dalam negeri) Ferry Mursidan Baldan menilai, pendidikan S1 sebaiknya tidak perlu dicantumkan sebagai pasal persyaratan. ''Saya merasa agak aneh saja, karena revisi UU Pilpres ini bukan berarti membuat RUU baru, tapi hanya menyempurnakan,'' ujarnya. Dia mengakui, draft itu bukan harga mati dan masih bisa dicarikan komprominya. Karena apa yang diusulkan pemerintah itu belum tentu disetujui semuanya oleh fraksi-fraksi di DPR. ''Seharusnya penyempurnaan itu tidak merembet ke mana-mana.'' Menurutnya, yang perlu dikhawatirkan justru berlarut-larutnya pembahasan revisi UU Pilpres dan molor serta tidak sesuai target. ''Kita berharap, pada April 2007 draft itu sudah bisa dibahas di DPR, sehingga Oktober - November 2007 nanti bisa selesai,'' jelasnya. (H28,di,dtc-49) http://www.suaramerdeka.com --------------------------------- Copy addresses and emails from any email account to Yahoo! Mail - quick, easy and free. Do it now...