http://www.sinarharapan.co.id/berita/0703/22/nas11.html

SOROTAN HUKUM
UU No 12 Tahun 2006 Saja Tak Cukup



Oleh
Lamria Siagian

Masalah kewarganegaraan merupakan isu sangat sensitif. Isu ini tetap menjadi 
topik yang hangat untuk didiskusikan karena berkaitan dengan identitas 
kebangsaan seseorang. Pengaturan soal kewarganegaraan ini untuk pertama 
kali, yaitu UU No.3/1946. Aturan ini menyebutkan, yang menjadi warga negara 
RI adalah mereka yang sudah bertempat tinggal di Indonesia sejak tahun 1940, 
yaitu 5 tahun sebelum kemerdekaan RI.
Beberapa tahun kemudian, pada tahun 1949 diadakan Konfrensi Meja Bundar di 
Den Haag, dengan topik mengenai persetujuan pembagian warga negara serta 
perjanjian dwikewarganegaraan RI-RRT tahun 1958, maka dibentuklah UU 
Kewarganegaraan No.62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.
UU ini didasarkan pada UUDS 1950 dalam sistem pemerintahan parlementer 
sebelum terjadinya dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menyatakan kembali 
kepada Undang-Undang Dasar 1945.
Dalam praktiknya, tidak dapat disangkal bahwa UU No. 62 Tahun 1958 bersifat 
diskriminatif baik gender dan etnis. Belakangan, 1 Agustus 2006, UU 
kewarganegaraan yang baru disahkan, yaitu UU N0. 12 Tahun 2006 tentang 
Kewarganegaraan Republik Indonesia. Namun, timbul pertanyaan, apakah UU No. 
12 Tahun 2006 dapat menjawab dan melindungi warga negara dari tindakan 
diskriminatif?
Pemberitaan belakangan menyebutkan bahwa WNI keturunan Tionghoa masih kerap 
diminta untuk melampirkan Surat Bukti Kewarganegaraan Republik Indonesia 
(SBKRI) saat mengurus paspor. Dalih pihak imigrasi adalah Surat Edaran 
Direktur Jenderal Imigrasi No. F-IZ.02.07-1025 tertanggal 3 Agustus 1998 
perihal Keraguan Status Kewarganegaraan RI terhadap seseorang yang mempunyai 
ciri/profil seperti orang asing tetapi tidak memiliki SBKRI.
Memang, Keputusan Presiden No. 56 Tahun 1996 dan Instruksi Presiden No. 4 
Tahun 1999 secara tegas menyatakan tidak berlakunya SBKRI untuk mereka yang 
sudah menjadi WNI sejak lahirnya. Namun, faktanya, tetap saja masih ada 
aparat birokrasi di lapangan yang melakukan praktek diskriminatif.
Selain itu, pengaturan pencatatan di Indonesia masih mendasarkan diri pada 
reglemen Hindia Belanda-staatsblad 1849 (untuk golongan Eropa), staatsblad 
1917 (untuk golongan Timur Asing, seperti Tionghoa, India dan Arab), 
staatsblad 1920 (untuk golongan Bumiputera non-Kristen) dan staatsblad 1933 
(untuk golongan bumiputera Kristen).
Dalam praktik, aparat di jajaran birokrasi seringkali masih mempergunakan 
Peraturan Daerah (Perda) No. 4/2004 Provinsi DKI Jakarta tentang Pendaftaran 
Penduduk. Selama Perda tidak direvisi Dewan perwakilan Rakyat Daerah DKI 
Jakarta, maka staatsblad-pun masih tetap berlaku.
Ini memperlihatkan bahwa pelaksanaan dari UU Kewarganegaraan yang baru 
kemungkinan mengalami kesulitan di dalam pelaksanaannya. UU No. 12 Tahun 
2006 saja tidak cukup untuk menjawab dan melindungi warga negara dari 
tindakan diskriminatif. Pada dasarnya segala bentuk diskriminasi adalah 
bertetangan dengan hak asasi manusia.

Penulis adalah Peneliti pada
Yayasan Pengkajian Hukum Indonesia (YPHI).

Reply via email to