Buletin Elektronik www.Prakarsa-Rakyat.org SADAR
Simpul Untuk Keadilan dan Demokrasi Edisi: 33 Tahun III - 2007 Sumber: www.prakarsa-rakyat.org -------------------------------------------------------------- PERJUANGAN ALTERNATIF PENYELESAIAN KASUS PELANGGARAN HAM Oleh: Ari Yurino[1] Pada tanggal 13 Maret 1998, rapat Badan Musyawarah DPR memutuskan untuk menolak surat keputusan Komisi III agar hasil kajian Komisi III tentang kasus Trisakti, Semanggi I dan II (TSS) dibawa ke paripurna DPR. Dengan adanya penolakan itu, maka usulan Komisi III tidak bisa diagendakan ke paripurna DPR. Yang menarik adalah kajian Komisi III menyatakan bahwa adanya pelanggaran HAM yang berat pada kasus TSS, sehingga Komisi III mengusulkan kepada pimpinan DPR agar menyurati Presiden RI untuk membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc. Dengan adanya penolakan tersebut, maka otomatis usulan Komisi III agar pimpinan DPR menyurati Presiden RI agar membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc juga ditolak oleh anggota DPR. Hal itu tentu saja sangat mengecewakan bagi korban dan keluarga korban kasus TSS. Sudah 9 tahun korban dan keluarga korban, sejak tahun 1998, mereka menunggu keadilan akan mampir ke dalam kehidupan mereka. Namun ternyata dengan adanya rekomendasi dari rapat Bamus DPR, maka mereka harus kembali menunggu keadilan tersebut muncul, entah sampai kapan. Penolakan tersebut dilakukan oleh 6 fraksi di DPR, sedangkan yang mendukung hanya 4 fraksi. Hal ini jelas menunjukkan komitmen DPR untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM sudah tidak ada. Alasan penolakan tersebut dikarenakan Panitia Khusus (Pansus) mengenai kasus TSS pernah dibuat oleh DPR. Dan rekomendasi dari paripurna DPR saat itu menyatakan bahwa kasus TSS bukan merupakan pelanggaran HAM yang berat. Hal ini sangat berbeda dengan laporan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) peristiwa kerusuhan Mei 1998 dan Komnas HAM yang menyatakan kasus TSS terdapat unsur pelanggaran HAM yang berat. Politik Anti HAM Peta politik di DPR sebenarnya sudah lama menunjukkan keengganan untuk mengungkapkan kasus ini secara gamblang. Dalam rapat Badan Musyawarah yang berlangsung tertutup pada tanggal 6 Maret 2007, telah memperlihatkan tidak adanya kemauan yang kuat dari anggota DPR untuk mengungkapkan kasus ini. Mayoritas fraksi di DPR menyatakan menolak untuk membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc dengan berbagai alasan. Pada rapat Bamus tersebut hanya 2 fraksi yang menyatakan perlunya pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc diagendakan pada tanggal 13 Maret 2007. Sebelumnya rapat internal Komisi III yang dihadiri 27 dari 46 anggota Komisi III yang berasal dari semua fraksi menyatakan mendukung pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc. Berdasarkan hasil kajiannya, Komisi III DPR sesungguhnya telah mengusulkan kepada pimpinan DPR pada tanggal 15 Febuari agar mengajukan surat kepada Presiden RI untuk membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc. Bahkan saat itu Ketua DPR Agung Laksono telah menyanggupi untuk menyurati Presiden RI. Namun belakangan, setelah Agung Laksono melakukan pembicaraan informal dengan Presiden dan mengadakan Rapat Pimpinan DPR, Agung Laksono melemparkan permasalahan ini kembali ke Badan Musyawarah (Bamus) DPR. Dengan adanya akrobat politik dari para anggota Komisi III yang berasal dari semua fraksi, yang pada awalnya menyatakan mendukung pembentukan Pengadilan HAM Ad Hoc, lalu kemudian berbalik badan, maka jelas kasus ini tidak lepas dari intervensi politik. Bahkan setelah melakukan pembicaraan informal antara pimpinan DPR dan Presiden kemudian pimpinan DPR pun melemparkan masa lah ini ke Bamus DPR, hal ini juga tidak lepas dari intervensi politik. Sikap Kejaksaan Agung yang menolak melakukan penyidikan terhadap kasus ini, mencerminkan sikap politik anti HAM pemerintah. Alasan Kejaksaan Agung tidak bisa melakukan penyidikan terhadap kasus ini karena rekomendasi DPR periode 1999-2004 telah menyatakan bahwa kasus TSS bukan merupakan pelanggaran HAM yang berat. Bahkan saat ini Kejaksaan Agung mendapatkan alasan baru untuk tidak melakukan penyidikan dengan adanya penolakan anggota DPR melalui keputusan Bamus DPR. Namun sebenarnya kewenangan untuk menyatakan suatu kasus terdapat unsur pelanggaran HAM yang berat atau tidak bukanlah di tangan DPR. Dalam UU No 26 tahun 2000, dinyatakan bahwa penetapan mengenai peristiwa pelanggaran HAM yang berat hanya dapat dilakukan oleh Komnas HAM, yang menjadi penyelidik melalui penyelidikan proyustisia. DPR tidak memiliki kewenangan untuk menetapkan suatu kasus pelanggaran HAM apakah di dalamnya terdapat unsur pelanggaran HAM yang berat atau tidak. Karena jelas DPR merupakan lembaga politik. Rekomendasi DPR dalam kasus pelanggaran HAM yang berat sebenarnya hanya untuk meminta ijin karena prinsip hukum non retro aktif dalam UU No 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM yang harus dilanggar. Hal ini terjadi karena Pengadilan HAM menurut UU No 26 tahun 2000 hanya dapat dibentuk untuk kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi setelah UU tersebut diberlakukan. Artinya DPR bukan diminta untuk menetapkan apakah suatu kasus pelanggaran HAM terdapat unsur pelanggaran HAM yang berat atau tidak. Penolakan anggota DPR untuk membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc semakin menunjukka n bahwa lembaga-lembaga negara tidak memiliki kemauan untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM di Indonesia. Seharusnya penegakkan HAM dapat dilakukan sesuai dengan amanat UUD 1945 dan tanpa intervensi politik dari siapapun. Kesadaran Bersatu Pemerintah dan DPR tentunya sudah sangat sulit bila diharapkan untuk dapat menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM di Indonesia. Dengan sikap DPR dan pemerintah yang anti HAM tentunya akan sangat menghambat perjuangan korban pelanggaran HAM. Namun bila keadaan ini kita biarkan, maka harapan untuk dapat menuntaskan kasus pelanggaran HAM akan benar-benar pupus. Perjuangan yang selama ini digalang oleh korban dan keluarga korban akan sia-sia, ketika melihat sikap politik anti HAM yang diusung oleh pemerintah dan DPR. Jelas bahwa korban dan keluarga korban memerlukan "peluru" baru untuk ditembakkan. Lalu apa yang sangat mungkin untuk saat ini dilakukan oleh korban dan keluarga korban? Tentunya hanya perjuangan melalui persatuan antara organisasi korban dan elemen demokratik lainnya lah yang dapat memenangkan perjuangan korban. Kesadaran bahwa selama ini perjuangan korban dan keluarga korban pelanggaran HAM dengan perjuangan kekuatan demokratik lainnya berbeda haruslah dibuang. Selama ini perjuangan korban dan keluarga korban pelanggaran HAM selalu saja identik dengan perjuangan korban-korban pelanggaran HAM di bidang Sipil dan Politik. Sementara ada anggapan dari korban itu sendiri bahwa buruh yang di-PHK, petani yang diambil alih lahannya, atau kaum miskin kota yang digusur tanahnya, bukanlah bagian dari pelanggaran HAM. Sehingga mereka menganggap bahwa perjuangan mereka dengan perjuangan kaum buruh sangat berbeda. Jelas bahwa cara pandang ini sangat salah. Pelanggaran HAM merupakan pelanggaran terhadap hak dasar seseorang karena adanya penyelewengan atau penyalahgunaan kekuasaan negara. Artinya pelaku pelanggaran HAM adalah selalu aparat negara, seperti polisi, tentara, atau pejabat pemerintah baik itu pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Lalu apa bedanya dengan seorang buruh yang dipecat oleh perusahaan dikarenakan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah tidak melindungi kaum buruh. Atau seorang petani yang harus merelakan lahannya diambil oleh perusahaan karena pemerintah memberikan izin dan bahkan membantu perusahaan itu untuk mengusir petani tersebut. Atau warga miskin yang digusur tanahnya karena tanah tersebut akan dijadikan sebuah pusat perbelanjaan, dan rencana tersebut diijinkan oleh pemerintah. Itu semua jelas merupakan pelanggaran HAM. Maka dari itu, seharusnya mulai ada kesadaran dari seluruh elemen demokratik dan korban pelanggaran HAM untuk mulai bersatu. Karena seluruh elemen ini sebenarnya memiliki lawan yang sama, yaitu sistem kebijakan negara yang tidak berpihak pada rakyat. Karena segala kondisi carut-marutnya sistem hukum, sosial dan politik di Indonesia dikarenakan sistem kebijakan negara yang tidak berpihak kepada rakyat. Perjuangan korban pelanggaran HAM, buruh, petani, mahasiswa, kaum miskin kota harus mulai dibentuk untuk menyelesaikan seluruh keadaan ini. Persatuan gerakan rakyat diperlukan untuk menambah "peluru" agar kekuatan rakyat bertambah besar. Persatuan gerakan rakyat mutlak diperlukan demi terciptanya suatu kehidupan yang adil dan sejahtera. Perjuangan Politik Kesadaran bersatu diantara elemen masyarakat juga harus dibarengi dengan kesadaran untuk melakukan perjuangan politik. Selama ini sistem kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat selalu dilakukan melalui intervensi politik. Bila dipandang secara awam, maka seharusnya setiap pelanggaran HAM pasti ada pelakunya. Dan kebanyakan korban dan keluarga korban pelanggaran HAM telah dapat mengetahui siapa saja pelaku pelanggaran HAM. Tetapi mengapa sampai saat ini pelaku-pelaku pelanggaran HAM tersebut tidak dapat diadili dan dihukum secara setimpal. Apakah selama ini pelaku pelanggaran HAM dilindungi oleh negara? Negara seharusnya bertanggung jawab memenuhi keinginan rakyat untuk mencapai keadilan da kesejahteraan bersama dengan cara-cara yang demokratis. Negara bertanggung jawab untuk memberikan pelayanan publik dan rasa aman bagi warga negaranya. Namun selama ini keadilan dan kesejahteraan bersama tidak pernah dapat dirasakan oleh rakyatnya. Artinya negara telah gagal dalam mensejahterakan dan memberikan keadilan bagi rakyat. Selama intervensi politik dilakukan oleh orang-orang yang memiliki sikap politik anti HAM, maka penyelesaian kasus pelanggaran HAM apapun tidak akan dapat terwujud. Selama negara masih didominasi oleh orang-orang yang melakukan intervensi politik ini maka juga dapat dipastikan keadilan dan kesejahteraan tidak akan terwujud. Maka dari itu, seluruh elemen gerakan rakyat, termasuk gerakan korban pelanggaran HAM, harus mulai memikirkan dan melakukan perjuangan politik. Karena dengan perjuangan politik lah kita d apat mewujudkan keadilan dan kesejahteraan bersama. -------------------------------------------------------------- [1] Penulis adalah Staff Departemen Peningkatan Kapasitas dan Pendataan Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI), sekaligus anggota Forum Belajar Besama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jabodetabek. [EMAIL PROTECTED]