Menanggapi pak Leo Tobing,

Saya rasa, masalahnya bukan menolak pendidikan atau mengurangi biaya
pendidikan, akan tetapi poin terpenting ada pada sisi mencerdaskan bangsa,
seperti yang Bapak utarakan juga.

Bila kesempatan kedua (sebelumnya STPDN, kemudian menjadi IPDN) ternyata
tidak membuahkan hasil yang maksimal, maka apakah tidak lebih cerdas untuk
menggantikannya saja? Atau seperti yang Bapak Edi Santosa katakan,
sebenarnya kebutuhan yang diisi oleh lulusan IPDN sudah bisa dicover oleh
lulusan FISIP dari Perguruan Tinggu Umum. Jika memang seperti ini, siapa
yang lebih dahulu dicerdaskan?

regards,
yudie




On 4/6/07, Leo TOBING <[EMAIL PROTECTED]> wrote:

   apakah kita membutuhkan IPDN atau lain-lainnya?
bagaimana kalau pertanyaannya begini, "apakah kita memerlukan pendidikan?"
...
kok pendidikan ditolak?

kalau ada korban, akankah kita langsung menyatakan bahwa kita tidak
memerlukan pendidikan?

soal penggunaan APBN untuk IPDN sebesar 150milyar dirasa berat, ... ya ...
dikurangi saja ...

tetapi ...
ketika negerin ini memerlukan pendidikan ... kok pendidikan dilarang?
mbo yg dirubah itu mungkin cara-cara perploncoannya ... tetapi, kalau IPDN
ditutup ... bagaimana cara negara ini mencerdaskan bangsa?


Regards,
*LEO TOBING*


-------------------
NO PEACE WITHOUT JUSTICE!


 ------------------------------
*From:* mediacare@yahoogroups.com [mailto:[EMAIL PROTECTED] *On
Behalf Of *angga gardantara
*Sent:* Thursday, April 05, 2007 10:55 PM
*To:* mediacare@yahoogroups.com
*Subject:* [mediacare] apakah kita masih butuhkan IPDN, STPDN, ATAU LAIN2
SEJENIS?



aku mau sumbang saran.
apakah kita masih butuhkan sekolah2 khusus seperti ini?
belum juga selesai masalah kematian praja sebelumnya,kita sudah
disentakkan oleh kematian praja berikutnya.
dan penyelesaiannya tidaklah tuntas.
saya rasa supaya tidak ada korban berimutnya,sebaiknyalah sekolah ini
ditutup saja.
tokh untuk gubernur,sepertinya belum ada yang berasal dari alumni stpdn
atau apa gitu.
apalagi walikota atau bupati atau camat dan sejenisnya..saya rasa bisa
dicukupi oleh rakyat biasa.
tokh gelar itu tidaklah menjadi jaminan bahwa negara kita akan dipimpin
dengan baik.

banyak contoh pemimpin dengan gelar yang berderet seperti gerbong kereta
api, tokh tidak dapat memimpin dengan baik.
jadi sebaiknya tidak dibutuhkan sekolah2 khusus seperti itu.apalagi hanya
akan membentuk kelompok eksklusif saja.
lebih baik uang yang digunakan disalurkan untuk kebutuhan lainnya.

katanya sih untuk itu, negara membutuhkan dana untuk dapat mensejahterakan
masyarakat...

semoga ini menjadi korban terakhir dari calon pemimpin yang belum2 sudah
gila kekuasaan....



*Kadarsah <[EMAIL PROTECTED]>* wrote:

 Bung Ade, bagus nih tulisannya Sdr.Edi Santosa,
jadi
siapa saja nih yang memiliki posisi berikut:

[EMAIL PROTECTED] praja
caporegima =praja tingkat I
capodecina =praja tingkat II
sotto capo =praja tingkat III
capofamiglia =.....?
Capo di Tutti Capi=Rektor IPDN

Setuju kah?

-kadarsah--

--- Ade <[EMAIL PROTECTED] <inonu2000%40yahoo.com>> wrote:

> 05/04/2007 11:44 WIB
> Kolom
> Capofamiglia IPDN
> Eddi Santosa - detikcom
> Den Haag - Dalam kultur mereka, menyiksa diiringi caci-maki itu identik
dengan
> disiplin. Jika berujung pada kematian, maka semua memberlakukan omerta.
IPDN sudah
> mirip keluarga mafia.
>
> Cliff pasti menderita sekali. Nyawanya harus lepas karena tidak kuat
lagi memikul
> beban sakit nan tak terperi. Nyawa Cliff juga pasti sangat bersedih. Ia
harus mati
> membawa sisa cacian, bentakan atau bahkan mungkin kata-kata penghinaan
yang masih
> terngiang-ngiang... Sebuah proses keji yang dilegalkan dengan bungkus
"tindakan
> disiplin."
>
> Dan tubuh gagah Cliff tidak bisa melindungi dirinya sendiri. Ia bukan
berduel
> menghadapi ksatria jantan, pria sejati, melainkan gerombolan lelaki
pengecut yang cuma
> berani keroyokan.
>
> Para pengecut yang tak punya harga diri ini berlindung di balik atribut
praja senior.
> Masih ada satu lagi belenggu yang membuat Cliff semakin tidak berdaya:
sebagai bawahan,
> praja junior, dia harus patuh secara absolut kepada praja senior.
>
> Cliff bukan korban pertama dan bukan akan menjadi korban yang terakhir,
selama rakyat
> pembayar pajak dan parpol-parpol di DPR tumpul merespons tradisi bengis,
tidak
> memanusiakan manusia, dalam sistem pendidikan untuk mencetak Camat ini.
>
> Kultur dan sistem dalam IPDN sudah rusak dan tidak sesuai dengan
kebutuhan dan norma
> zaman. Dalam kurun 16 tahun, sejak 1990-an, sudah 35 praja tewas
mengenaskan. Itu
> artinya rata-rata lebih dari 2 nyawa tewas per tahun.
>
> Hanya bangsa kita saja yang masih memelihara serta membanggakan kultur
dan sistem
> mirip mafia itu. Memukul, menendang, menyiksa, membentak-bentak, dan
memaki-maki, dalam
> kultur ini menjadi instrumen untuk menegakkan disiplin.
>
> Pelajar baru masuk sudah dibentuk dan dikategorikan sebagai level
rendahan yang harus
> patuh pada level di atasnya. Praja baru ini mirip sgarrista, anggota
dalam mafia yang
> disejajarkan dengan prajurit. Mereka ini punya atasan langsung, yakni
caporegima,
> komandan yang membawahi kumpulan sgarrista.
>
> Di atas mereka ada capodecina, atasan grup dari level sgarrista, yang
mempunyai
> kewenangan dan previlese lebih luas di atas para kroco sgarrista. Level
ini punya
> atasan lagi yakni sotto capo, semacam bos kecil. Kemudian di atasnya
lagi ada level
> capofamiglia yang punya kekuasaaan besar dan harus dipatuhi mutlak oleh
level-level di
> bawahnya.
>
> Di ujung puncak hirarki masih ada Capo di Tutti Capi, sang mahaketua,
bos di atas
> segala bos dari segala hirarki itu. Siapa dia?
>
> Jika ada kasus besar yang mereka lakukan, misalnya pembunuhan, dan itu
gagal mereka
> tutupi sehingga tercium polisi, maka mereka kompak menjunjung tinggi
omerta, yakni
> semacam code of silence: tutup mulut rapat-rapat, tidak kooperatif
dengan polisi atau
> menghalang-halangi kepentingan penyelidikan.
>
> Sikap mirip omerta dalam mafia itu ditunjukkan oleh seorang pengajar
berinisial Prof
> Dr LG yang berusaha menghalang-halangi upaya polisi saat akan mengotopsi
jenazah
> korban. Dia bahkan berbohong dengan mengatasnamakan pihak keluarga demi
menolak
> permintaan polisi untuk otopsi jenazah. Bukankah kebobrokan lembaga yang
dibiayai pajak
> ini sudah sempurna?
>
> Rakyat sudah cukup memberi kesempatan IPDN untuk memperbaiki diri, kini
saatnya
> bersikap untuk mendesak supaya ditutup. Tutup saja sekaligus mengurangi
beban anggaran.
> Para senator dan wakil rakyat, terutama dari daerah Sulawesi Utara,
berhutang untuk
> menyuarakan hal ini, bukan saja pada Cliff, tetapi juga pada anak-anak
Indonesia
> lainnya agar tidak menjadi korban empuk berikutnya.
>
> Untuk sekadar posisi camat bisa diisi oleh sarjana FISIP dan sejenisnya
dari perguruan
> tinggi umum. Apa yang bisa diharapkan dari produk lulusan yang menyimpan
trauma
> psikologis dan fisik, di mana bahasa kekerasan, main siksa dan bentak,
menjadi bahasa
> pengantar sehari-hari? (es/es)
>
>

http://www.detiknews.com/index.php/detik.read/tahun/2007/bulan/04/tgl/05/time/150139/idnews/763612/idkanal/10
>
>
>
> ---------------------------------
> We won't tell. Get more on shows you hate to love
> (and love to hate): Yahoo! TV's Guilty Pleasures list.

__________________________________________________________
It's here! Your new message!
Get new email alerts with the free Yahoo! Toolbar.
http://tools.search.yahoo.com/toolbar/features/mail/



Send instant messages to your online friends http://au.messenger.yahoo.com





--
yudie matta
Student of Life
+628563069841
[EMAIL PROTECTED]

Kirim email ke